By : Nanae Zha
Engkau melihat gadis itu dengan
tatapan jijik. Mukamu memerah saat mendengar desahan napasnya mulai tak
beraturan, liuk tubuh seirama dengan erangan penuh napsu. Gadis itu masih
belia, bahkan belum cukup umur untuk memiliki KTP. Namun, permainannya di atas
ranjang sudah sangat profesional.
Seorang bapak
gendut terengah-engah di bawah tubuhnya. Terimpit. Umurnya sudah lebih dari
setengah abad. Engkau datang di saat yang tidak tepat, semestinya bisa lebih
tahu waktu. Biarkan dia menyelesaikan tugasnya, mungkin setelah mendapat
bayaran atas kerja kerasnya malam ini. Namun, engkau terlalu gerah sedang titah
telah diterima.
Dalam
hentakkan terakhir yang seharusnya menjadi puncak kenikmatan, engkau menariknya
paksa. Tanpa memberinya aba-aba atau kesempatan merapikan diri sejenak. Gadis
itu kaget. Berontak, menolak untuk ikut denganmu. Engkau tak peduli, bahkan tak
memberinya kesempatan untuk berpakaian. Percuma! Bagimu berpakaian atau
telanjang sama saja.
“Lepaskan!”
“Kau telah
lama bersenang-senang bukan?” tanyamu sinis.
“Lantas? Kau
tak pernah bisa menikmati kesenangan ini, jadi untuk apa mengganggu kami? Apa
kau ingin bercinta denganku? Huh! Kau memang tak punya rasa cinta!”
Engkau berang,
memasang wajah garang, tak ada kompromi bagimu. Malas beradu argumen apalagi
mendengar segala racaunya tanpa tahu malu. Sekali bubut, gadis itu lunglai tak
bernyawa. Si Om-om cuma bisa bengong, lalu kalut setelah ditinggalkan gadisnya dalam
keadaan telanjang di dalam sebuah hotel berbintang.
***
Engkau datang sendiri, dengan
jubah hitam yang membungkus hampir seluruh tubuhmu. Ada senjata khas kau pegang
di tangan. Mulut komat-kamit seolah membaca mantra. Mungkin mantra penenang
jiwa, agar jiwa-jiwa rapuh itu pasrah menghadap. Tak ada yang bisa melihat
sorot matamu. Terlalu gelap, cekung ke dalam atau bahkan mungkin membulat.
Siapa yang tahu di balik tabirmu?
“Sudah saatnya
kita melawan!”
“Siapa yang
bisa melawan kehadirannya?”
“Kita! Makanya
kita harus bersatu!”
Suara-suara
itu cukup jelas kau dengar. Engkau diam tanpa reaksi, tetap tenang meski tak
ada yang melihat raut ketenangan atau ketegangan di wajahmu. Tertutup tirai
kelabu. Entah apa yang kau tunggu. Kemudian orang-orang berkata bahwa kau tak
punya hati, tiada cinta pun rasa manusiawi.
Demo
orang-orang yang menolak kehadiranmu semakin besar. Suara-suara semakin
terdengar panas di telinga. Pagi, siang, malam engkau belum juga bosan, membiarkan
ocehan itu mengendap seiring waktu.
“Bubarkan!
Bubarkan! Bubarkan!”
Ternyata kau
salah. Lihatlah! Jajaran tubuh-tubuh tangguh yang rela kedinginan saat hujan,
kepanasan di tengah terik matahari. Malah jumlahnya semakin bertambah. Setiap
hari teriakan mereka semakin lantang.
“Apakah dia
akan mendengar kita?” tanya salah seorang pendemo.
“Dia pasti
dengar.”
“Bagaimana
kalau dia tidak mendengar?”
“Dia harus
dengar!”
“Bagaimana
kalau tidak?” Si pendemo keukeuh.
“Tuhan pasti
mendengar.”
“Tapi dia
kaki-tangan Tuhan.” Keduanya terdiam.
Inilah zaman
ketika tabir mulai menipis. Tak ada sekat antara dua dunia, ketika manusia
semakin lantang dalam bicara dan bertindak. Namun, mengindahkan adat, agama,
dan logika. Mereka lebih suka menyebutmu pelebaya. Makhluk tak punya hati kata
mereka. Mengapa engkau dibenci? Atas dasar apa mereka memintamu pergi?
***
Engkau selalu hadir tak terduga.
Di pagi buta, terang benderang, bahkan gelap gulita tak ada waktu dan tempat
yang membuat langkahmu surut. Seperti malam itu, engkau datang, lelaki tua sedang
menggelar sajadah.
Hanya terpaku memerhatikan
ritualnya sampai selesai, tak mengganggu. Selama itu menunggu dengan sabar. Wajahmu
begitu teduh menatap lelaki tua, seperti wajah seorang anak yang merindukan
ayahnya. Engkau ingin mendekapnya dalam pelukmu, hangat memberinya ketenangan
dan kenyamanan di dada. Biji-biji tasbih bergulir di tangannya. Engkau masih berdiri
di sudut kamar.
Seperti telah
melihat kedatanganmu, dia menoleh lantas melambaikan tangan. “Aku sudah
menunggumu. Kemarilah!” ucap lelaki tua.
Engkau beringsut
mendekati. Tak banyak bicara, namun sinar matamu menjanjikan sebuah kedamaian
di sana. Lelaki tua tersenyum. Kali ini engkau hadir dengan ribuan cahaya di
tubuhmu. Berpendar mengisi ruangan. Malam yang sekiranya bisa disaksikan ribuan
mata, maka akan menjadi malam terindah tanpa perlu sinar lampu.
Dia merebah
pasrah. Kau membimbingnya, bahkan membiarkan dia untuk membersihkan diri
terlebih dahulu. Perlahan dia menyeka keringat di dahinya, mungkin tampak gugup
berhadapan denganmu.
“Apa kau
takut?” tanyamu.
“Bagaimana aku
bisa takut setelah melihat sinar di matamu?”
“Aku hanya
akan membawamu ke tempat yang lebih baik. Dunia ini terlalu sumpek untukmu, bukan?”
tanyamu lagi.
Lelaki tua
mengangguk setuju, dia terlalu baik untuk terus menghadapi kerasnya dunia. Engkau
pernah mendengar bahwa kebanyakan dari manusia ingin abadi, bahkan sempat
menyalahkan leluhurnya karena begitu mudah terkena bujuk rayu. Kini mereka
meminta hak, setelah terusir dari surga setidaknya berikan keabadian di dunia.
Mungkin itu sebabnya mereka membencimu, karena kehadiranmu hanya menggagalkan
keinginan. Sialnya! Engkau tak mudah goyah oleh uang dan wanita.
Bukan rahasia,
engkau lebih senang mengajak orang-orang baik terlebih dahulu daripada orang
jahat. Tak ada yang bisa mengalahkan karena tugasmu bukan sebagai pelebaya
semata. Makhluk suci yang dimuliakan, terbuat dari cahaya kemilau. Kemunculanmu
bisa begitu anggun, namun di lain waktu engkau datang dengan wajah garang. Tergantung
seberapa banyak kadar iman seseorang. Tak peduli orang memanggilmu apa, yang
pasti namamu bersembunyi di balik tabir Tuhan.
“Kumohon cabut
nyawaku segera!” ujar lelaki tua.
***
Catatan Mei, 2016