Dia berjalan perlahan mengitari
taman. Di depannya ada kupu-kupu hinggap di salah satu kuncup berwarna merah
darah. Warna favoritnya. Senyumnya terkembang, sehelai benang tipis ditambatkan
pada ranting, membentuk sebuah pola yang tampak terencana. Ada kepuasan saat selesai
mengerjakan tugasnya. Lelaki itu mendekat pelan, bersandar pada bilah pohon
yang mulai lapuk. Sesekali dia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya
perlahan atau kadang membuang napasnya dalam satu kali hentakan.
Dari berbagai
tempat, dia selalu memilih taman bunga sebagai tempat persinggahannya. Karena
di taman itu, dia bisa melihat warna merah lebih banyak lagi. Dari bunga yang
bertebaran, dari orang yang lalu lalang, bahkan dari warna langit sore yang
memodifikasi jingga. Tak ada kegiatan lain yang menarik baginya selain menyulam
jaring, memandangi warna favoritnya, sambil mencuri pandang gerak-gerik kupu-kupu
yang bersayap merah.
“Hey, apa kau tidak
ada kerjaan lain selain memerhatikanku?” tanya kupu-kupu gerah.
Lelaki itu
tertegun. Sial! Dia ketahuan. Kupu-kupu itu bicara padanya, setelah sekian lama mengasingkan
diri dari kenyataan.
“Jangan
mendekat!” teriak lelaki itu, tapi sayang, dia terlambat. Kupu-kupu telah
terperangkap dalam jaringnya.
“Kau yang
menjeratku dengan jaring laba-labamu!”
“Kau baru saja
terlahir dari kepompong, kan? Belajar saja terbang, sayapmu masih belum stabil,”
ucapnya sambil membantu melepas jeratan pada kaki-kakinya.
“Tahu apa kau
tentang terbang? Bahkan tubuhmu pun tak bersayap.”
Lelaki itu
tergeming. Ada sesuatu yang dia lihat dari kupu-kupu. Ia memang cantik. Namun,
satu hal yang disayangkan, umur kupu-kupu tak pernah bertahan lama. Dan dia
menyadari betul akan hal itu. Percuma cantik jika tak bisa hidup lebih
lama!
“Mau
mengajariku terbang?” tanya lelaki itu.
“Lepaskan dulu
aku dari jeratanmu!”
Pertemuan singkat
itu membekas dalam benaknya. Bukan soal jerat pada jaring yang menjadi
persoalan. Tapi lebih rumit dari itu, jatuh cinta. Kesukaannya pada warna merah
memberi celah pada hatinya, sebuah perasaan yang tak seharusnya ada. Cinta kadang
hadir dengan ketidakadilan, memberi secercah harapan lantas kandas di tengah
jalan. Seharusnya pertemuan itu tidak pernah terjadi.
“Mudah saja
bagiku, tapi bagaimana aku bisa lepas dari jeratmu?”
“Maksudmu?”
“Jeratan tanpa
pola, jaring yang tak kasatmata itu lebih rumit daripada jaring laba-labaku.” Mariposa
namanya, dalam sekali pandang getar itu hadir tak terkendali.
“Sini! Ulurkan
tanganmu,” perintahnya.
Mereka terbang
menjelajahi setiap sudut kota, menghabiskan waktu bersama, menjelang langit
berubah jingga. Sayapnya kelelahan, mereka terjatuh dari ketinggian,
berguling-guling hingga sayapnya koyak. Lelaki itu tak bersayap, dia hanya
pintar memintal jaring sutra. Sutra yang akan ia persembahkan untuk Mariposa,
kekasihnya yang hanya hidup sehari, tak lebih.
Peluh
membanjiri tubuh Mariposa, rasa nyeri di sayapnya yang mudah rapuh tak berarti
apa-apa. Dia bahagia. “Terima kasih, telah membuat hidupku yang sehari begitu
istimewa. Entah di kehidupan selanjutnya, aku belum tentu bisa mengajakmu
terbang lagi,” ucap Mariposa.
“Seharusnya
aku tak memintamu untuk mengajakku terbang,” ujarnya menyesal.
Lelaki itu diajari
terbang, tapi lupa bahwa dirinya tak bersayap. Cinta telah mematahkan hatinya. Kini,
dia memintal jaring laba-laba bukan hanya sekadar tempat bernaung. Namun,
memintal asa. Semoga di kelahiran selanjutnya, Mariposa membawakan sayap
untuknya. Sayap yang bisa melambungkan cintanya lebih tinggi.
Mariposa, aku tetap menyulam jaring
laba-laba, berharap engkau hadir dan terjerat lagi di dalamnya.
***
Cianjur, 15 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar