Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang
jatuh cinta, lalu tetap menjaga kesucian dirinya, menyembunyikan rasa cintanya dan
bersabar hingga mati maka dia mati syahid” (H.R. Hakim, Khatib, Ibnu Asakir)
Setiap orang di dunia
ini pasti pernah mengalami jatuh cinta, bahagia, kecewa, sakit, dikhianati.
Pernahkah saat kalian sakit hati karena ditolak atau dikhianati, lantas membuat
kalian jera bahkan trauma untuk jatuh cinta lagi? Rasanya tidak! mungkin ada saat
di mana kita cenderung menutup diri dan hati kita, tapi sebagai manusia biasa yang
diberikan kodrat untuk saling mencintai rasa itu akan kembali. Mungkin hadirnya
orang baru akan membuka lembaran baru bahkan menemukan masalah baru. Tapi saat kita
jatuh cinta, nikmati saja setiap rasa yang ada.
Huuuffth.. aku ingin
menikmati setiap kesempatan itu, tapi aku bukanlah wanita yang dengan mudah
mengungkapkan perasaannya. Mudah jatuh cinta lalu mudah melupakan. Ribuan kali
berpikir bahwa aku nggak pernah layak untuk siapapun, keadaan aku, latar
belakang, bibit bebet bobot arrrggghhhh... semuanya membuatku merasa minder. Lalu
kamu yang tiba-tiba hadir dalam kehidupanku, memberi warna di setiap hariku. Aku
nggak pernah sesemangat ini sebelumnya, merasa bahwa cinta harus diperjuangkan,
bahwa setiap insan di dunia ini telah diciptakan berpasangan. Hellow... mengutip
sedikit iklan “Truk aja gandengan masa gue kagak”! Yups... meski kamu terlalu jauh
untuk kurengkuh. Oh, God! Berkali-kali memohon jangan biarkan aku terjatuh ke
dalam jurang kenistaan yang paling Engkau benci! Salahkah jika aku jatuh cinta?
“Ana uhibbuki fillah”
Berulang kali juga
kuucapkan kata itu saat aku merindukannya, aku belajar mencintainya karena-Mu ya
Allah. Jika memang dia jodohku maka aku yakin Engkau akan mempertemukan kami dengan
cara-Mu. Iya, padanya sosok pemuda yang pernah kutemui 6 bulan yang lalu.
Pertama kali aku mengenalnya
melalui media sosial yang terkadang tak pernah kuanggap serius. Tapi, kali ini dia
berbeda, tak seperti kebanyakan pemuda pada umumnya. Aku melihat kejujuran dari
setiap perkataannya, aku melihat sisi kedewasaan dari setiap nasihatnya, aku melihat
hal-hal konyol dari setiap gurauannya. Entah mengapa semua itu membuatku merasa
nyaman dengan orang asing ini. Hingga saat itu kami bertemu, bisa jadi
pertemuan pertama dan terakhir. Meski silaturahmi itu tak pernah berhenti, aku mencoba
membuang jauh-jauh perasaan yang belum pasti. Ada rasa takut jika terluka lagi.
Tapi, bukankah cinta itu anugerah? Ini tuh hati bukan batu karang yang keras, tapi
juga bukan coklat yang mudah meleleh, hati yang telah Allah ciptakan dengan
beribu rasa. Apa salahnya jika wanita bisa selangkah lebih maju, bukankah
sekarang zamannya emansipasi wanita? Bukankah Siti Khadijah juga menyatakan
perasaannya terlebih dahulu agar Rasul meminangnya? Cinta yang paling
menyakitkan adalah cinta diam-diam, dan aku merasakan itu!
“Apakah kamu
menyukaiku? Apa yang kamu tahu tentang aku? Yakin kamu dan keluarga bisa terima
aku setelah mengetahui siapa aku?” tanyanya pada suatu hari. “Kita berbeda keyakinan!”
ucapnya tegas.
What??? Belum
satupun pertanyaan yang sempat aku jawab, rasanya seperti terhempas ke dasar
laut terdalam, ketika cinta berbenturan dengan akidah apa masih bisa disatukan?
Kenapa rasa cinta itu harus ada? Jika Engkau tak menghendaki sesuatu yang tidakk bisa
Kau ridhoi. Mungkin benar, saatnya cinta dalam diam, bukan untuk menyerah, tapi
untuk berserah pada Sang Pemilik hati, meski aku belum bisa melupakannya.
Biarkan aku seperti Fatimah yang diam-diam mencintai Ali, tanpa ada satu orang pun
yang tahu. Konon begitu rahasianya setan pun tak pernah tahu cinta mereka. Hanya
Allah tempat pertolongan yang mengetahui setiap inci sudut hati seseorang,
akhirnya dengan kesabaran Allah pun menyatukan mereka dalam cinta selamanya. Begitupun
aku akan sabar menanti hingga suatu saat nanti, Engkau mempertemukan dengan
sosok imam yang akan membimbing untuk lebih mencintai-Mu. Aku tak punya kekuatan
apapun untuk mengubah hati seseorang apalagi keimanan seseorang. Jika dengan
diam adalah jalan terbaik aku ikhlas menjalaninya. Biarlah akhirnya cinta ini Allah
yang menentukan.
“Ma fi qalbi ghairullah”
***