Harum bunga Lily menyeruak di setiap penjuru kamar. Arni masih menata satu–persatu rangkaian bunga lili di dalam vas bunganya. Sambil bersenandung kecil ia memainkan kelenturan jarinya dalam merangkai bunga, tidak sia-sia dulu ia pernah kursus ikebana. Kecintaannya pada bunga selalu meluangkan waktu sibuknya untuk merangkai bunga yang disukai terutama bunga lili. Seperti juga nama putrinya LILY.
“Selamat
ulang tahun sayang.”
Ucapnya
dengan kecupan manja pada seorang anak kecil sekitar usia lima tahun yang
masih menatapnya tanpa berkedip.
“Bagaimana
dekorasinya? Bagus kan? Ruangannya jadi penuh bunga, kamu suka kan?” tanyanya,
namun tak ada jawaban dari bocah itu.
“Hah,
maafkan mama karena hari ini tidak ada balon atau badut untukmu.”
Dia
terus bergumam pada seorang anak yang bahkan tak mau bicara padanya.
“Ayolah
jangan marah sayang, mama janji, lain kali mama bawakan balon dan kado yang
banyak untukmu,” si anak masih membungkam seribu bahasa.
Arni
beranjak dari tempat duduknya. Seperti telah menjadi kebiasaan rutin bagi yang
berulang tahun tak kan sempurna tanpa kue tart
dan juga lilin di atasnya. Ia menyalakan lilinnya, menjaganya agar tidak segera
padam.
Happy birthday to you... Happy birthday to you...
Happy birthday... Happy birthday... Happy birthday dear
Lily...
Tampak
sinar mata bahagia terpancar dari Arni, kebahagiannya bersama Lily putri semata
wayangnya. Akhirnya keduanya meniup lilin bersamaan.
“Maaf,
untuk ulang tahun kali ini mama sengaja gak mengundang teman-teman kamu,
soalnya mama ingin berdua saja merayakan semua ini.”
“Apa
doa kamu tahun ini sayang? Oh iya, ini kado untuk kamu.”
Sebuah
Teddy Bear besar langsung menutupi pandangan wajah mamanya, rasanya biasa saja,
tidak ada yang istimewa, bukan karena tidak ada perayaan spesial atau kado yang
kurang besar, tapi... di sini terlalu sepi. Tidak ada aroma yang bisa menggugah
selera meskipun satu tart kue blackforrest berada di hadapannya.
Padahal aroma dark chocolate tercium
sampai rongga dada. Bagi Lily itu biasa saja, entah karena ia telah kehilangan
indra penciumannya kah? Atau mungkin ia telah mati rasa?
“Ayolah
sayang, jangan diam saja. Atau kamu mau kado lain?” tanya Arni masih mencoba
membaca ekspresi wajah putrinya yang datar.
Kreeekkk...
terdengar suara pintu terbuka, seorang wanita muda berseragam putih memasuki
kamar rawat tersebut.
“Bu
Arni waktunya minum obat.”
“Sssttt...
Lily sedang tidur Suster.”
“Oh,
bagaimana pestanya ulang tahunnya?”
“Kami
banyak ngobrol berdua Suster, tapi kayaknya dia masih marah sama saya.”
Perawat
itu hanya tersenyum, tak terlalu banyak berkomentar.
“Baiklah, Ibu jangan lupa makan juga ya, ini obatnya harus diminum juga.. kalau Ibu sakit
nanti Lily sedih lo Bu”
“Begitukah?
Baiklah Suster.”
***
Satu
tahun yang lalu...
“Mama,
Lily mau balon.”
“Nanti
saja! Sekalian beli kue buat Lily.”
“Tapi
Lily mau sekarang Ma, mau balon! Lily gak mau yang lain!” teriak gadis kecil
itu.
“Jangan
rewel, tadi kan udah janji sama mama kalau ikut belanja gak rewel,” teriak Arni
pada Lily gadis berusia 4 tahun itu. Arni masih anteng dengan tas branded yang berada di hadapannya, sale
40% membuatnya tak kuasa menahan air liur shopaholic-nya.
Tanpa ia sadari Lily menangis, ia kecewa dengan Mamanya. Mamanya lebih peduli
dengan barang-barang mahal di hadapannya. Ia tidak ada artinya dibandingkan
barang-barang itu. Ada sedikit luka dihatinya, ia beringsut dari tempat itu.
Mama gak peduli, padahal katanya hari ini hari ulang
tahun Lily tapi gak ada yang istimewa. Mama gak sayang sama Lily. Kata-kata itu tertanam sudah di hatinya. Lily masih
menatap tukang balon yang berada di seberang toko. Ia memberanikan diri
menghampiri tukang balon, matanya bersinar penuh gairah. Ia ingin memiliki
balon-balon itu.
“Pak
Lily, boleh minta balonnya?” tanya Lily pada penjual balon yang telah letih
tergurat di wajahnya. Bau keringat Bapak tua yang terus menjajakan balonnya
demi penghidupan keluarga tidak ia hiraukan.
“Ibunya
mana Nak?” tanya Bapak tua itu. Lily menunjuk pada satu toko di depannya sambil
menggigit ujung bibirnya, khawatir Bapak ini tak memberinya balon.
“Hari
ini Lily ulang tahun,” tiba-tiba ia berbicara. Si Bapak tua hanya tersenyum, ngenes rasanya anak seorang kaya yang
mampu membeli barang apapun di toko yang ternama tapi anaknya minta sebuah
balon darinya. Terlalu sibukkah ibunya? Lalu ia menyodorkan satu buah balon ke
tangan gadis mungil itu.
“Nama
kamu siapa?”
“Lily...,”
ucapnya.
“Baiklah,
selamat ulang tahun Lily...,” kata Bapak tua itu.
“Terima
kasih Pak!” Lily berjalan lurus ke depan penuh semangat, penuh kebahagiaan, ia
ingin tunjukan kepada Mamanya bahwa bapak itu begitu baik telah memberinya
balon. Ternyata ada yang peduli padanya, masih ada yang sayang padanya, Lily
masih berjalan tanpa memerhatikan jalan. Tiba-tiba...
BRAAAAKKK...
Suara
tabrakan yang memekakkan telinga, jeritan orang sekitar yang melihat kejadian
tepat di hadapan mata mereka. Tak lama, banyak orang telah berkerumun di sana.
Arni sempat teralihkan perhatiaannya pada suara yang cukup nyaring dan jeritan
yang mengganggu konsentrasinya.
“Ada
apa?” tanya Arni pada pelayan toko berseragam hitam putih itu.
“Kecelakaan
Bu, kayaknya ada yang ketabrak.”
“Siapa?”
“Enggak
tahu Bu, katanya anak kecil.”
“Woalah, anak yang malang. Memangnya
kemana orang tuanya? Kok bisa membiarkan anak main sendiri.”
“Mungkin
sibuk belanja kali Bu...,” jawab pelayan itu polos.
“Iya
bisa jadi....”
DEG..
ada perasaan aneh yang tiba-tiba Arni rasakan. Apa ini? Di mana Lily? Dadanya
tiba-tiba sesak.
“Lily?”
“Lily...Lily...,”
Arni terus memanggil dan mencari Lily di beberapa stand baju dan sepatu. Tapi hasilnya nihil. Arni menatap ke luar
toko. Jantungnya berdebar keras. Ia langsung menghambur ke luar dan menyeruak
di antara kerumunan orang banyak. Tiba-tiba dia histeris, melihat Lily masih
memegang balon berwarna merah di tangannya. Tak kuasa hati Arni melihatnya, ia
terjatuh dan pingsan.
***
"Maafkan mama sayang... seharusnya mama lebih memerhatikan kamu,” sendu terpancar di
matanya. Air mata masih tidak berkurang dalam waktu 6 bulan, ia menyesali
kelalaiannya. Ia kecewa sama dirinya sendiri yang tak layak menyandang predikat
sebagai ibu. Ibu macam apa yang tak peduli dan perhatian sama anaknya. Hari telah
berganti minggu, minggu telah digantikan bulan, kondisinya masih tetap sama,
malah semakin parah. Hanya airmata yang membasahi pipinya dan menemani
keresahan hatinya. Kadang tawa kecil, seringai yang terdengar aneh dan
memilukan bagi beberapa perawat dan dokter di sana. Dan sekarang genap satu
tahun semenjak kejadian itu, hari yang sama di mana Lily ulang tahun dan masih
tidak ada balon di sana. Arni menangis, ingin mengulang lagi moment satu tahun yang telah berlalu.
Tak ada yang mengerti dan memahaminya. Sehari yang lalu, ia sempat berteriak
pada perawat di sana.
“Aku
enggak bisa keluar dan meninggalkan Lily! Tidak bisa kah kalian membawakan satu,
satuuuu.. saja balon untuk anakku?!” tidak ada yang menjawab semuanya hening
hanya mencoba merasakan ratapan hati seorang ibu yang telah dijejali dengan rasa
bersalah. Ia pun menangis pilu, lalu terdiam, akhirnya tertawa mengikik...
***
Ia
terkekeh, masih di tatapnya wajah Lily yang hangat dan penuh pancaran. Ekspresi
yang dari dulu tidak berubah. Ia memeluk Lily erat dalam dekapannya, mencium
kening dan matanya. Lily masih tersenyum... air mata mulai bergulir lagi di pipi
Arni, waktu yang telah berlalu tidak mungkin bisa terulang lagi. Penyesalan
tinggallah penyesalan yang kini bisa ia lakukan hanya mendekap Lily dalam
bentuk gambar berfigura...
***