“Katakan... apa yang salah dalam
diriku?” saat itu aku menatap mata Mas Randy dalam, ingin kutemukan jawaban
yang pasti mengapa ia harus lari dan pergi menjauh.
“Aku mencintainya,” jawabnya
dengan nada bersalah.
“Bagaimana denganku? Apakah
cintamu telah menghilang? Mungkin akan lebih tahu diri untuk menyerah jika kau
katakan apa kelebihannya dibanding aku?” aku berbicara dengan bibir bergetar
antara sedih, marah dan kecewa. Tapi, aku masih penasaran dengan perasaannya
yang dulu.
“Aku mencintai dia, bukan berarti
aku ingin kamu pergi dari hidupku. Kumohon beri aku waktu untuk memperbaiki
semua kesalahan ini!” ujar Mas Randy.
Aku ingin kamu kembali seperti
dulu, bahuku memang tak selebar milikmu, tapi bersandarlah agar beban di
pundakmu berkurang. Menangislah jika kau mau, aku yang akan mengusap air matamu
meski kau seorang pria. Tapi sayang, kau ternyata lebih nyaman bercerita
dengannya, aku semakin tersudut sebagai seorang istri yang tak becus.
Aku memang tak secantik dia, tak
sepintar dia, tak semenarik dia, dia begitu sempurna untuk kau bandingkan
denganku. Perasaan ini tak semudah membaca A, B, C, D tapi juga tak serumit
rumus matematika. Perasaan ini hanya membutuhkan hati yang tenang, dan pikiran
yang jernih. Aku hanya ingin bilang cinta tak selamanya harus berakhir bahagia,
tapi bukan berarti juga harus menderita.
***
Terlalu naif memahami arti kata
cinta sejati. Dulu aku begitu percaya dengan semua janji manis, tentang mimpi
untuk merangkai masa depan yang indah. Tentang suka duka dan air mata yang akan
kita ubah menjadi tawa saat bersama. Kau pernah bilang, takkan pernah
membiarkanku menangis. Jika terpaksa harus menangis maka kau akan ada di
sampingku untuk mengusap air mata.
Darimu, aku banyak belajar untuk
mengendalikan diri dan ego karena aku tahu, kamu bukanlah pria sempurna yang
menjadi idaman banyak wanita. Kamu bukan super
hero, bukan juga pangeran dalam drama
Korea atau yang biasa tertulis dalam teenlit.
Tapi bagiku, kamu adalah sosok pria yang kucintai, itu saja! Meski tak
kupungkiri rengekan manja, omelan kecil, cemburu yang berlebihan seringkali
melelahkan hatimu. Iya, kita berdua telah sama-sama belajar untuk saling memahami
dan menerima segalanya.
Di acara akad nikah yang khidmat,
aku berjanji untuk mencintaimu seutuhnya hingga maut memisahkan kita. Tapi baru
kusadari, pernikahan bukanlah akhir dari dongeng yang happy ending, dari sini babak baru telah dimulai, seiring
berjalannya waktu... kamu telah berubah.
“Mas Randy ingin menikah lagi, Naz,” ucapku lirih. Mata Naz sempat
terbelalak kaget mendengar ucapanku, rasanya tidak bisa dipercaya apalagi
olehku.
“Jangan bercanda! Dia takkan
pernah melakukan hal setega itu!” ujarnya dengan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Aku tak mampu berkata lagi, butiran kristal yang meleleh di pipiku
telah menjawab semua keraguannya. Nazwa memelukku erat, kami berbicara dalam
diam. Bagaimana bisa sebuah janji suci diingkari karena cinta semu? Iya, karena
setelah pernikahan yang tersisa hanya rasa jemu. Mungkin saja pasanganmu yang
sekarang ia adalah yang terbaik. Dan di surga nanti kaum pria akan dikelilingi
puluhan bidadari dan istrimu akan menjadi ratunya. Belum cukupkah janji Tuhan
yang satu ini? Masihkah kau inginkan wanita lain?
“Aku tak menyalahkan keputusanmu,
hanya saja sanggupkah kamu menghadapi kehidupan setelahnya? Kamu akan dimadu,
Is!”
Tangisku yang semula hampir
mereda kini bertambah lagi karena pertanyaannya. Aku tak sanggup mengatakan
apapun, dan ia masih terus nyerocos tentang rumah tangga, tentang cinta dan
rasa kecewa. Nazwa adalah sahabatku sejak SMA, beruntungnya aku mendapatkan
teman sebaik dia, karena dia juga yang selalu mengingatkan aku di mana aku
mulai salah melangkah. Tapi untuk masalah hati dan keluarga, ia tak berhak
untuk ikut campur. Ini hidupku! Ini pilihanku!
***
“Bawa wanita itu padaku!”
“Apa?” Mas Randy kaget mendengar
keinginanku.
“Aku hanya ingin tahu, apakah dia
bisa membahagiakanmu?” tanyaku.
Si wanita yang tak ingin aku
sebut namanya, nyalinya besar juga untuk menerima undanganku datang ke rumah.
Entah bagaimana suamiku bisa meyakinkan wanita ini? Bisa saja aku nekat, kalap
lalu kubunuh saja wanita penggoda ini. Ah, aku tak bisa seperti itu, wanita
yang sungguh cantik, memesona dengan tubuh tinggi semampai seperti artis Olla Ramlan,
ramping, sexi, dan tentu saja wanita yang fashionable,
tampak berpendidikan tinggi. Apalah artinya aku dibandingkan dia, pantas
saja suamiku begitu tergila-gila padanya.
“Apa yang kamu suka dari
suamiku?” tanyaku memulai pembicaraan yang terasa canggung antara istri dan
calon madunya.
“Aku menyukai semua yang ada pada
diri Mas Randy. Dia baik, perhatian, dewasa, pintar, bijak apalagi yang kurang
darinya?” jawabnya begitu lugas. Ah, gadis yang polos.
“Yakin, dia begitu sempurna
bagimu?” tanyaku sedikit membuatnya berpikir ulang.
“Bagaimana jika sebenarnya dia
menyebalkan, jorok, nggak bisa diatur, memiliki kebiasaan buruk, selalu
melempar handuk basah di atas kasur sembarangan, menyimpan kaos kaki di mana
saja, meletakkan tas setiap pulang kerja di sofa. Setiap kali dia pulang harus
ada makanan yang tersedia, secangkir kopi hitam dengan dua sendok gula, air
hangat untuk mandi, jika aku lupa salah
satunya dia marah-marah. Dan saat kamu sakit, ia sibuk bekerja dan tak bisa
menemani. Tak selalu berada di sisimu saat kau butuh. Atau seperti sekarang dia
tak bisa setia pada istrinya, bukan hal tidak mungkin jika ia pun akan berpikir
untuk mencari istri ketiga? Dia bukan suami yang setia, kan!?” akhirnya aku
mengucapkan semua hal buruk tentang suamiku pada orang lain, terserah malaikat
akan mengutukku seperti apa. Tapi begitulah keadaannya suamiku.
“Kenapa Mbak berkata seperti itu?
Jika bagi Mbak, Mas Rendy adalah pria yang begitu menyebalkan kenapa masih
bertahan dengannya, lepaskan dia! jika Mbak hanya bisa mencaci maki suami Mbak
sendiri biar aku yang akan memenuhi semuanya.”
“Itu bukan cacian tapi kenyataan,
kamu pikir cinta yang berujung dengan pernikahan hidupnya sudah bahagia? Tidak!
Pernikahan adalah awal sebuah masalah. Apa kamu akan sekuat diriku, jika yang
kau hadapi nanti adalah seorang wanita yang ingin merebut suamimu?” tanyaku
masih dengan nada ramah padanya.
“Apa?” ia tampak berpikir keras.
***
Aku izinkan kamu menikah
dengannya, tapi... Suamiku sayang, aku berharap dia bisa lebih kuat dari aku,
dia bisa lebih baik dari aku, dia bisa memasak lebih enak dari aku, dia bisa
mengaji lebih bagus dari aku, dia bisa mengurus anak-anakmu kelak lebih sabar
dari aku. Jika ada yang seperti itu, bawakan satu untukku! Maka aku akan pergi,
karena aku tetap wanita bernama Indah
yang tak ingin dimadu.
Aku bukan Aisyah...
Sepucuk surat kutinggalkan di
atas bantal, aku tak ingin menatap matanya saat pergi. Mata itu takut
membelengguku. Aku bukan Aisyah... dan kamu pun bukan Nabi yang bisa adil untuk
berbagi. Bukan juga Fahri, sosok suami sempurna.
***
Satu musim telah berganti, sakura
mulai bersemi dan aku masih mencintaimu meski harus menunggu ratusan musim
berganti lagi. Buih ombak datang dan pergi di bibir pantai menyapu setiap kenangan
yang tersisa. Cinta tak pernah memiliki jalan yang mudah. Aku tak bisa menjadi
orang lain untuk memilikimu karena aku ingin diterima sebagai seseorang yang
mencintaimu dengan cara yang sederhana. Mataku tertumbuk, di sana aku melihatmu
berdiri menatap anak kita, Rani. Sebuah nama yang penuh arti bagi kita karena
ia hadir dari cinta.
“Apakah kamu kembali padaku, Mas?”
***
Maaf Mas aku telah salah menilai istrimu. Setelah perbincangan kami
waktu itu, aku sadar aku takkan sekuat Mbak Indah. Dia memang istri terbaik,
dan aku takkan mampu menggantikan posisinya. Kembalilah padanya Mas, aku ingin
kalian berdua bahagia. Tak ada yang sempurna dalam pernikahan, tapi aku yakin
kalian bisa saling melengkapi untuk menyempurnakan hidup itu. Aku janji takkan
mengganggu kehidupan rumah tangga kalian lagi. Aku bukan Maria yang bisa mengharapkan suami orang lain untuk
kebahagiaanku sendiri.
Salam sayang,
Tiara
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar