Dalam hidupmu pernahkah sekali saja kamu berpikir, tentang sisi lain dari kehidupan? Jika di sini, saat ini, kau bisa tertawa dan bahagia. Mungkin saja di waktu yang sama dan menit yang sama ada yang berduka dan menangis penuh ratapan kemalangan. Lalu apa itu bahagia?
5 tahun lalu kau tanyakan hal itu padaku, dan aku hanya duduk termangu, menunggu kau sendiri yang akan mejawabnya. Tapi, semua hening, aku, kamu, kita berdua terdiam dan masih belum mengerti apa arti kebahagiaan. Saat itu yang terpikir olehku adalah uang, iya karena uang bisa membeli apapun termasuk kebahagiaan, kan? Tapi, kuurungkan niat untuk mengatakan itu karena akhirnya kau akan mengira bahwa aku gadis yang materialistis. Meskipun kenyataannya iya! Aku gadis matre.
“Hap, lu free kan
malam ini?” tanya Desi sambil melongokan kepalanya ke kamar kosan.
“Yups! Ada
apa?”
“Hang out yuk!
Dah lama nih kita gak jalan bareng” bujuk Desi dengan senyum yang dibuat paling
manis saat itu. Ah, bukan senyum manis, senyum licik dan penuh akal bulus.
“Ok!” jawabku singkat.
Seperti janjiku pada Desi pukul 19.00 wib. Aku telah
bersiap-siap menghabiskan malam minggu yang panjang tanpa kekasih. Kekasih?
Apakah aku memang punya kekasih? Rasanya iya, tapi mungkin juga tidak! Ah,
entahlah aku nggak peduli toh tanpa
mereka aku masih bisa hidup, bisa tersenyum bahagia.
“Raka, mana?” tanya Desi.
“Hmmm.. Raka?” siapa yang peduli sama anak mami itu, baru
jalan 10 menit pasti udah ada yang nelepon. Raka
kamu di mana? Sama siapa? Jangan pulang malam-malam! dan sialnya uang saku
Raka dibatasi sama mamanya. Mana bisa aku manfaatin dia untuk membeli semua
kebutuhan make up ku! Hanya bertahan
dua jam akhirnya aku memutuskannya. Anak yang malang!
“Jadi, siapa sekarang cowok inceran lu?” pertanyaan Desi
membuatku bergidik, seakan-akan aku seperti kupu-kupu malam profesional dalam
merekrut pelanggan. Tidak! Kalian jangan salah paham menilaiku. Aku hanya gadis
biasa, hanya saja aku memiliki kelebihan yang luar biasa. Aku cantik, pipi
mulus, kulit halus, leher jenjang, rambut wangi dan lembut, ah, bukan soal
fisik saja, tapi pada dasarnya aku memang menyenangkan dan itu semua bukan
salahku! Jika pria-pria itu membutuhkan kehangatan dan kenyamanan dariku, aku
hanya memanfaatkan anugerah yang ada dalam diriku. Tunggu! Sekali lagi kukatakan
aku bukan seperti apa yang kalian pikirkan. Aku hanya menemani mereka ngobrol,
makan, jalan-jalan, dan reward-nya
mereka memberi apapun yang kuminta. Dan aku bukan pelacur! Apa aku masih
dianggap salah juga? Hanya ini caraku berbagi kebahagiaan.
“Hmmm.. terus kabar Radit gimana?” tanya Desi pada
akhirnya, jelas sudah maksudnya mengajakku jalan selalu ada tujuan.
“Entahlah, aku udah lama loose contact sama dia.”
“Ah, jangan bohong kalian kan sahabat masa sih enggak
pernah chat atau apa kek gitu?!”
“Dia marah padaku, jadi sepertinya dia mulai
menghindariku,” tegasku.
“Marah kenapa?”
“Entahlah, itu juga yang aku tanyakan padanya dan nggak
pernah ada balasan sampai sekarang.”
Radit sahabatku, pria yang memiliki daya tarik luar
biasa. Bukan karena fisiknya, jika soal fisik cowok yang mendekatiku banyak
yang lebih sempurna dari Radit. Mereka cakep sampai ke isi dompetnya pun luar
biasa cakep. Ah, lagi-lagi ngelantur ke isi dompet! Mungkin karena hal itu juga
yang membuat Radit menghindariku. Radit tidak pernah menyukai caraku mencari
uang, padahal ini halal. Aku tidak menjual tubuh, aku hanya memaksimalkan
kelebihanku, dan satu-satunya kelebihan hanya pada tubuhku.
“Berhenti bermain-main! Dan buatlah harga dirimu tak
serendah yang orang kira!”
Itu e-mail terakhir
yang aku terima darinya. Puluhan kali aku bertanya, dan meminta kejelasan soal
harga diri mana yang dia maksud? Tapi, tetap nggak ada balasan. Dan sejak saat
itu pun aku berhenti bertanya.
***
“Kamu bersedia menikah denganku?” tanya Angga malam itu,
malam dengan suasana yang romantis, iringan musik, lampu yang dibuat redup,
seorang pangeran tampan di hadapanku. Kurang sempurna apalagi coba? Soal duit?
Jangan khawatir! Dia bisa menyewa restoran semewah ini cuma untuk berdua bisa
dibayangkan berapa tumpuk uang di brangkasnya? Apa lagi yang di tunggu? Hey,
kesempatan enggak datang dua kali. Jerit hatiku. Tapi, rasanya ada yang aneh,
apa cuma itu ukuran untuk menentukan kebahagiaan seseorang? Cinta? Aku lupa
dengan rasanya cinta? Entah kapan aku merasakan degup jantung yang berdebar
keras, keringat dingin yang mengucur saat kumenatap sorot mata itu, wajah yang
tersipu malu, cinta yang polos tapi tulus. Sudah lama, lama sekali, saat
punggung Radit meninggalkanku semakin jauh, dia cinta pertamaku yang hanya
menganggapku sebagai adik dan tak lebih. Padahal aku berharap kita lebih, Dit!
“Happy, are you ok?”
tanya Angga menatapku dengan mengharap jawaban yang masih terus mengawang dalam
kenangan. Ia merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari sana. Cincin
bermahkotakan permata, indah! Lamaran yang sempurna.
“Would you marry
me?”
Lidahku kelu, mulut membisu, butiran air mata menetes di
pipi. Entah seperti apa rasanya, bahagiakah ini? Angga meraih tanganku lembut,
jemari tangannya hangat meski tak kurasakan kehangatan itu menembus dadaku. Ia
mencoba meyakinkanku. Apa lagi yang kurang darinya, bukankah ini yang aku
harapkan. Bertahun-tahun hidup di panti, membuatku banyak bermimpi tentang
keluarga, cinta dan kebahagiaan. Mungkin dari Angga akan kutemukan apa itu
bahagia. Maafkan aku Radit...
***
Happy, bahagia
itu saat aku bersamamu! Sederhana kan?
Tapi kamu terlalu naif, atau mungkin kamu terlalu
realistis melihat arti hidup. Bahwa seeorang hanya akan hidup jika ia memiliki
uang. Bahwa uang memiliki segalanya? Dan aku tak memiliki apa yang kamu cari.
Jika yang kamu cari hanya uang, maka aku menjadi bagian yang salah dalam
hidupmu. Aku tak pernah tahu seberapa besar kamu mengerti tentang arti
kehidupan, dan aku benci mengakui apa yang kamu suka adalah sebuah kenyataan.
Tapi, aku hanya akan bekerja untuk kamu dan masa depan kita. Setiap hari aku
kerja keras dan banting tulang untuk memenuhi apa yang kamu inginkan. Aku
seperti robot, pulang malam, lembur selalu jadi santapan. Aku sisihkan
uang makan untuk menabung, toh aku pun sering lupa kapan seharusnya aku makan. Aku lupa kapan
waktunya aku tidur, aku sedang bekerja keras Hap. Bisakah kamu bersabar barang
sejenak? Berhentilah bertingkah seperti itu, karena kita tak selayaknya seperti
kacang lupa pada kulitnya. Dari mana kita berasal, siapa dan apa kita
dahulunya.
Rumah Panti Asuhan Budi Dharma telah menjadi saksi, bahwa
kita pernah mengikat janji, sebagai adik kakak. Benarkah? Tapi hatiku dulu tidak
berkata demikian. Aku takkan menganggapmu adik sampai kapanpun tidak akan
pernah! Karena kamu lebih dari sekedar adik.
“Aku mencintaimu Happy!”
***
Radit masih terbatuk-batuk, saputangan di tangannya
meningggalkan bercak darah. Sesuai dugaan, rasa sakit yang ia tahan selama ini
bukan hal yang wajar. Kerja kerasnya selama ini, membuatnya lupa dengan
kesehatan dirinya sendiri. Tiba-tiba tubuhnya limbung. Semua yang ada di
hadapannya kian memudar, ia mencoba meraih gelas di atas meja makan, namun tak
berhasil yang ada gelas itu terjatuh dan Praaaannggg... seiring dengan jatuhnya
gelas, ia pun terjatuh. Gambaran tentang kenangan di panti berseliweran dalam
benaknya. Happy, senyumnya yang riang selalu membuatnya bahagia, itu juga yang
membuat dirinya berjanji akan selalu mengukir senyum itu di wajah Happy,
bagaimana pun caranya! Radit, merasakan sesak di dadanya, pandangannya semakin
kabur, tubuhnya melemah, ia meregang penuh penderitaan...
Tanpa ia tahu di sisi lain, ada yang sedang
berbahagia...
***