Gemericik
suara air hujan yang terjatuh dari dahan pohon tempat berteduh menemani sepi.
Setetes air terjatuh dari dahan tepat di pelipisku. Aku masih menggenggam
semangkuk es krim dari tadi siang yang sudah hampir meleleh.
“Sungguh
aku benci es krim!!!” teriakku di tengah kegaduhan suara guntur. Sembari
menyuapkan satu sekop es krim ke mulut. Iya, es krim di bawah rinai hujan.
Teringat
satu tahun lalu saat aku berteriak penuh emosi padanya.
“Pokoknya
aku mau es krim!!” teriakku pada Juno yang akhirnya membuat hari itu menjadi
hari terburuk yang kuingat. Ia menatap dengan perasaan bersalah karena hanya
bisa datang dengan tangan kosong. Sementara ia mengembuskan napasnya, meminta pengertian dari sorot matanya. Tapi,
aku enggan menatap mata sayu itu, aku tak ingin luluh melihatnya. Ia memegang
pundakku, lalu berkata.
“Maaf,
aku tak sempat mampir ke toko,” ucapnya masih dengan nada menyesal, kutepiskan
tangannya dan nggak mau mendengar alasan klisenya.
“Bisakah
tidak marah-marah padaku? Aku bingung dengan kaum wanita yang membuat kaum kami
selalu salah dimata kalian.”
“Kamu
memang salah!” seruku lebih sewot.
“Jika
aku datang terlambat kamu pasti marah, sekarang aku datang tepat waktu pun kamu
masih marah, aku sudah minta maaf, lalu apa yang harus aku lakukan?” tanyanya sedikit
membuatku tergelitik benarkah wanita serumit ini bagi pria?
“Pokoknya
mending kamu datang terlambat, tapi membawa es krim dari pada tidak membawa
apapun!” seruku lagi. Wanita memang selalu seperti itu, bagaimana caranya
mencari perhatian dari seseorang yang disayangi. Sayang? Benarkah aku
menyayanginya? Entahlah rasanya aku membutuhkan banyak alasan untuk mengartikan
apa yang aku rasakan saat itu.
“Padahal
cinta tak butuh alasan sayang,” bisik Juno lirih di telingaku suatu saat.
“Mulai
dari titik ini aku menyukaimu, maka aku berharap bisa berhenti di titik ini
saat aku menyukaimu agar rasaku tak berubah padamu.” Juno melanjutkan lagi
perkataannya, aku terdiam menatap wajah sendunya.
“Kamu
menyukaiku, kan?” tanyanya.
“Jangan
berharap!” seruku tak ingin salah mengartikan candaannya.
“Jika
cinta katakan saja,” ujarnya lagi.
Aku
terdiam, jantungku terasa berdetak lebih cepat, ada apa dengannya, kenapa dia
bertingkah seperti itu. Ingin berteriak dan memuku-mukul bahunya yang cukup
kekar. Tak lama terdengar gelak tawanya. Aku membenci kelakuannya saat itu.
“Kena
kau!!!” ucapnya masih dengan menahan tawanya, membuatku speechless dengan kelakuannya.
***
“Kamu
suka Juno?” tanya Fara tiba-tiba, ia adalah teman kuliahku kebetulan kami satu
fakultas, sebenarnya tidak begitu dekat hanya kenal saja.
“Ya
enggaklah Juno itu cuma sahabatku” terangku dengan senyum pasti.
“Cuma
sahabat?” tanyanya lagi seolah-olah ia tidak percaya dengan apa yang kukatakan.
“Iya,
kenapa? Lu suka sama Juno?” tanyaku tiba-tiba entah bagaimana pertanyaan itu
yang melintas dibenakku. Fara tersenyum malu, wajahnya merona tanpa harus ia
jawab aku pun telah mengetahui jawabannya. Fara gadis yang cantik, banyak cowok
yang sebenarnya suka sama dia. Tapi, kenapa justru ia malah menyukai Juno? Aku
terdiam, mungkin karena Juno anak yang luar biasa menarik dan juga supel. Banyak
cewek dan cowok yang menyukainya, termasuk aku, benarkah aku menyukainya?
Di
bawah hujan ini aku bisa mengingat semua kenangan dengannya, saat itu selepas
pulang kuliah Juno berjanji akan menemuiku di taman. Katanya ada hal yang ingin
ia bicarakan. Aku memaksanya untuk mengatakan hal yang ingin ia katakan di
telepon saja. Tapi Juno bersikeras untuk bertemu denganku langsung. Telah lama
aku menunggunya di taman itu, lebih dari jam yang kita sepakati bersama. 15
menit bukan waktu yang mudah ditolelir, dan aku pasti akan mengutuk dia
habis-habisan setelah kami bertemu.
“Maaf,
aku terlambat!” aku tak menoleh padanya sedikit pun, aku masih memainkan layar
Hp ku.
“Ini
untukmu!” ia menyodorkan satu mangkuk es krim Vanila kesukaanku, di atasnya
taburan cochochips yang menggugah
selera, saat itu terik matahari begitu membakar kulit. Dadaku berdebar melihat
semangkuk es krim itu, tapi demi menjaga gengsi yang sedang marah, aku bahkan
tak menghiraukannya.
“Ayolah
jangan marah ini untukmu,” ulangnya sekali lagi. Tapi, entah bagaimana
tiba-tiba refleks saja tanganku menepis mangkuk es krim itu hingga tumpah ke
tanah. Juno menatap lama es krim yang terjatuh, aku sungguh menyesal telah
melakukan itu. Mata Juno begitu sendu, terlihat kekecewaan yang jelas disorot
matanya. Sebelum aku sempat meminta maaf, Juno telah meninggalkanku, aku
berlari mengejarnya. Tapi, dengan mengendarai motornya, dia telah cepat menghilang
di tikungan jalan itu.
“Juno!!!” aku berteriak.
Aku
kembali ke tempat semula, semangkuk es krim telah mencair. Tak seharusnya aku
lakukan itu padanya, ia telah merasakan kecewa yang begitu dalam. Aku mengangkat
mangkuk es krim lalu kumasukan ke dalam kantong plastik agar tak menyisakan
sampah di taman ini. Tapi tunggu dulu,
ini apa? Aku menemukan sesuatu yang berkilau di atasnya.
“Cincin?”
aku memastikan dugaanku seolah tak percaya dengan penglihatanku. Cincin yang
berhiaskan batu permata, untuk apa dia memberikan cincin ini? Apakah memang ini
cincin darinya atau hanya suatu kebetulan saja.
***
“Juno,cincin
itu darimu bukan?” tanyaku keesokan harinya setelah seharian ia me-reject semua panggilanku, dan enggak
membalas smsku.
“Bukan!”
jawabnya asal.
“Ayolah
Juno jangan kayak anak kecil, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Tapi, aku
menemukan ini diatasnya. Benar dari kamu, kan?” Aku masih terus nyerocos tanpa
memperhatikan ekspresi wajahnya secara detail. Aku hanya penasaran dengan semua
yang ia berikan.
“Aku
mau menikah...,” tiba-tiba Juno bergumam, tapi begitu jelas ditelingaku yang
jaraknya tak begitu jauh denganku.
“Menikah?”
tanyaku, ia begitu serius kali ini bukan seperti Juno yang aku kenal.
“Iya,”
ia jawab singkat.
“Terus...?”
aku mengharapkan dia menjelaskan semuanya secara detail.
“Mama
berharap aku segera berumah tangga, karena Tiara telah dilamar oleh pacarnya,”
terang Juno. Ah, Tiara rasanya anak itu baru kemarin merengek-rengek minta
dibeliin boneka ternyata sekarang sudah mau menikah.
“Sebenarnya
yang mau nikah itu, lu atau Tiara sih Jun?” tanyaku tak habis pikir dengan
tujuan pembicaraan ini.
“Karena
Tiara mau nikah, Mama berharap Tiara tak melangkahiku. Makanya aku akan segera
menikah.” Dadaku berdebar keras, secepat ini dia akan menikah.
“Dengan
siapa?” tanyaku to the point tak
ingin mencoba menebak-nebak hal yang belum pasti.
“Itu
dia masalahnya dengan siapa aku akan menikah?”
“Hahaha...”
aku tertawa terbahak-bahak diikuti olehnya yang juga tertawa lebar. Padahal
dalam hati aku berteriak.“Aku saja! Aku
mau menikah denganmu Juno!” tapi tentu saja aku takkan sebodoh itu
menjatuhkan harga diriku sendiri.
“Kamu
mau?” tanyanya setelah tawa kami reda. Aku terkesiap sekali lagi.
“Maksudnya,
mau?” tanyaku tak bisa mengartikan pertanyaannya yang gak pernah tuntas dalam
satu kalimat.
“Menikah
denganku?” akhirnya ahh.. serasa dibawa terbang melayang.
Lalu
teringat kembali kejadian beberapa bulan lalu, ia pernah menggodaku dan untuk
kali ini aku tak kan terjebak begitu saja dalam permainannya.
“No way! Lu harus cuci otak lu dulu
sebelum mengatakan itu padaku!” aku berteriak ditelinganya.
“Haha,
tentu saja aku harus mengistall otak jika ada sedikit aja dalam otakku pikiran
seperti itu denganmu!”
Ah,
Juno pandai sekali dia menyakiti hatiku. Dan ia tak pernah mengakui cincin itu
darinya. Kami akhiri pembicaraan kali itu dengan tawa, iya tawa kami berdua
yang cukup getir dalam hati.
***
“Apa
kamu tidak pernah menyukaiku?” tanya Juno disuatu senja.
“Nup!” jawabku
“Baiklah
gadis manja, aku berharap akan ada pria yang tahan dengan kelakuan busukmu!”
jawabnya sambil melingkarkan tangannya ke bahuku. Aku ingin seperti ini
selamanya, dalam kehangatan dada Juno.
“Dan
jangan menyesal jika suatu hari nanti aku tak berada lagi disisimu,” terangnya
lagi.
“Kenapa?”
tanyaku masih bersandar di dadanya yang cukup bidang.
“Karena
aku akan segera menikah dengan Fara.”
Tiba-tiba
warna senja memudar kini yang bersisa hanya gelap, butiran air jatuh dari atas
langit, aku tak rasakan apapun, aku tak mendengar apapun, jantungku tak berpacu
sedikit pun, termangu aku dalam basah.
“Ngapain
lu bengong sendiri? Enggak kerasa ya badan basah kuyup?” teriak Juno sambil
berlari ke arahku yang masih berdiri mematung di bawah pohon ini. Entah itu
kabar baik atau kabar buruk bagiku tak ada artinya. Juno mendekapku dalam basah
kami berdiri berdua mematung di bawah hujan.
“Maaf,”
ucapnya di telingaku, entah maaf untuk apa yang pasti saat itu aku menangis
terguguk dan ia takkan pernah tahu itu.
***
Dan
kini, di bawah rinai hujan yang sama aku sendiri dengan semangkuk es krim. Jika
saja saat itu aku tak egois, jika saja
saat itu aku tak menumpahkannya, mungkin hari ini aku yang akan bersanding di pelaminan
itu dengannya. Karena aku masih yakin cincin itu pemberian darinya. Tapi, kini
tak ada artinya karena besok adalah hari pernikahannya dengan Fara. Dan aku di
sini masih dengan semangkuk es krim yang kubenci.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar