“Mulai dari titik ini aku menyukaimu, maka aku berharap
bisa berhenti di titik ini agar rasaku tak berubah padamu.”
Bodoh!!!
Saat aku menyatakan hal itu padamu artinya adalah aku rela mati untukmu detik
ini juga. Tapi apalah arti kata itu, karena Rania enggak pernah memahami
perasaanku.
“Juno,
mama tadi ketemu sama Tante Sari lho!” tiba-tiba Mama menyela saat acara makan
malam.
“Tante
Sari mana, Ma?” tanyaku sedikit mengerutkan kening untuk mengingat seseorang
yang rasanya belum aku kenal.
“Itu
lho, mamanya Fara yang satu fakultas juga sama Rania, Fara pernah cerita soal
Rania, masa kamu enggak kenal Fara, sih?” tanya Mama dengan nada kecewa.
“Ah,
Ma, kan banyak kali yang namanya Fara di dunia ini. Lagian aku ke kampus untuk
belajar bukan cari cewek,” terangku sambil memasukan satu sendok penuh makanan
ke mulutku.
“Fara
itu anaknya baik lho, dia juga cantik, rajin, ramah, cewek mana lagi yang bisa
jadi istri yang sempurna buatmu.” Ah, Mama lagi-lagi ia berbicara tentang pernikahan, jika Tiara
memang mau menikah aku takkan menentangnya, dia perempuan wajar saja kalau dia
menikah terlebih dahulu. Mama mencoba
menggambarkan sosok Fara yang kelihatannya menjadi istimewa baginya akhir-akhir
ini. Padahal tentu saja aku mengenal Fara, secara dia termasuk cewek populer di
kampus, banyak juga anak-anak cowok yang kelepek-kelepek melihatnya. Sejujurnya
sebagai pria normal, secara fisik aku memang suka dengan bodinya yang tinggi
semampai, kulit putih, matanya yang bulat indah itu membuat semua mata terjerat
dalam tatapannya.
Teringat
beberapa bulan lalu, saat Fara mendekati mejaku di kantin.
“Juno,
ya?” tanyanya tiba-tiba.
“Iya,”
jawabku masih dengan memasang tampang heran, seorang Fara yang menjadi bahan
rebutan di kampus malah mendekatiku.
“Kamu
temannya Rania, ya?” tanyanya lagi.
“Iya,”
lagi-lagi aku hanya bisa menjawab singkat.
“Aku
Fara, temannya kebetulan kita satu kelas,” ia masih mencoba menjawab seramah
mungkin.
“Terus...?”
tanyaku dengan nada datar.
“Ehhmmm...
Mama aku sering cerita tentang kamu, katanya Mama kamu temenan sama Mama aku
lo!” ceritanya lagi, dan sumpah banget aku nggak peduli sebenarnya tentang
emak-emak yang suka banget bergosip itu.
“Kamu
sama Rania punya hubungan, ya?” tanyanya lagi membuatku tiba-tiba mengalihkan
perhatian padanya. Aku rada heran juga sejak kapan dia mulai kepo sama hubungan orang lain. Bukannya
selama ini lebih banyak orang yang kepo-in
dia.
Aku
hanya tersenyum, tak ingin terlalu mengumbar sebenarnya ada hubungan apa antara
aku dan Rania. Biarkan semua mengalir apa adanya.
Rania
sahabatku sampai kini dan entah sampai kapan status itu akan berubah, anak
manja itu selalu membuat mati kutu dan tak pernah bisa menjadikan aku sosok
pria sejati di hadapannya. Dia sungguh keras kepala, dia tak kan bisa jujur
dengan perasaannya semudah itu, begitupun aku. Tapi, apakah dia tidak bisa
melihat gelagatku selama ini?
Aku
ingat satu tahun lalu, satu tahun yang merupakan awal perubahan hidupku. Saat
itu tiba-tiba ia berteriak padaku, “pokoknya aku mau es krim!!”
Dengan
perasaan bersalah aku sungguh menyesal telah datang ke tempat itu dengan tangan
kosong, aku lupa dengan permintaannya untuk membawakan semangkuk es krim hari
itu. Sebenarnya aku enggak begitu suka es krim, tapi aku berusaha menyukai es
krim karena aku menyukai Rania. Saat itu aku hanya bisa minta maaf, entahlah
kaum wanita begitu rumit. Jika aku datang terlambat pasti ia ngomel-ngomel,
kali ini aku berlari tak karuan agar bisa datang tepat waktu sesuai
keinginannya. Tapi bodohnya, aku lupa dengan pesanan es krimnya.
“Kamu
memang salah!” dia berteriak lagi padaku, saat aku mencoba menjelaskan dan
mencari alibi saat itu. Dan kami lebih sering beradu argument setiap kali
bertemu.
***
Mama
terus membujukku sampai sebulan lalu aku putuskan mengikuti kemauan Mama.
Setelah aku mengalami putus asa, dan rasa kepercayaan diriku berkurang, sudah
saatnya aku menjadi anak yang berbakti untuk Mama. Entah ini sebagai tanda
bakti atau ini hanya alasan atas ketidak mampuanku sebagai pria untuk menyatakan
cintanya pada wanita yang aku cintai. Tapi tunggu, aku pernah berusaha
melakukannya, saat itu setelah pulang kuliah aku mengajak Rania bertemu di
taman. Dia begitu bersikeras untuk berbicara di telepon saja, tapi untuk hal
ini aku akan lebih keras kepala darinya. Aku melajukan motorku menuju taman
dengan semangkuk es krim vanilla kesukaannya, tiba-tiba tengah jalan aku
melihat anak kecil menyeberang jalan sendirian, dan Braaakkkk!!! Tanpa terkendali
motorku menabraknya tepat di waktu yang tak seharusnya terjadi.
Aku
berlari menghampiri anak kecil ini yang mulai dikerumuni orang-orang. Banyak
wajah-wajah dengan ekspresi kasihan dan getir menatap anak tanpa nama, bahkan
mungkin tanpa keluarga. Akhirnya dengan mengedepankan rasa kemanusiaanku dan tentu
saja rasa bersalahku, akhirnya aku membawanya ke Rumah Sakit terdekat.
Beruntungnya ternyata anak itu baik-baik saja, tak terbayang jika hal buruk
terjadi padanya. Iya, karena kejadian itu, akhirnya aku kehilangan moment yang mungkin takkan pernah kudapatkan
lagi, mengingat Rania bukan tipe gadis yang bisa dengan mudah mentolelir sebuah
keterlambatan.
Dengan
sisa waktu yang tersisa aku segera berlari ke taman, dengan semangkuk es krim
yang mulai mencair. Aku berlari tak karuan menuju taman, dengan napas
terengah-engah akhirnya aku menemui dia.
“Maaf,
aku terlambat!” masih dengan mengatur napasku yang masih terbatuk-batuk. “Ini
untukmu!” tapi Rania seperti dugaanku, dia marah. Aku berusaha menjelaskan,
tapi sepertinya ia nggak peduli. Aku benar-benar berusaha saat itu, hingga
akhirnya ia menepis tanganku, dan satu mangkuk es krim yang kubawa tumplak di atas
tanah.
Perasaanku
hancur saat itu, andai dia tahu apa yang ingin aku katakan dengan es krim itu,
andai dia bisa mengerti keadaanku mungkin aku pun takkan seegois itu meninggalkannya di sana seolah-olah aku tidak
peduli padahal kenyataannya aku sangat peduli. Aku berlari menuju parkiran dan
mendapatkan motorku di sana, masih kudengar suaranya memanggil, tapi emosi
telah menguasai egoku. Aku pun pergi meninggalkannya. Semangkuk es krim diwaktu
yang salah!
Setelah
kejadian siang itu, semalaman dia menelepon, tapi aku tak mengindahkannya, sms
darinya masih kuabaikan. Aku tertidur, mataku terpejam, tapi pikiran dan hatiku
masih terus menerawang tentang yang
terjadi hari ini. Keesokan harinya ia menghampiriku, dasar gadis bodoh bahkan
dia enggak minta maaf atas kejadian kemarin. Malah dia menanyakan cincin, dan
aku kehilangan mood untuk
membahasnya.
“Aku
mau menikah” akhirnya kata-kata itu terlontar dari mulutku juga. Dia sempat
terdiam, lalu bertanya aku akan menikah dengan siapa? Tentu saja aku telah
berteriak ribuan kali kalau aku ingin menikah denganmu Rania. Tapi, kamu
terlalu jauh untuk kurengkuh, hingga akhirnya aku harus tahu diri untuk tak
berani mengharapkanmu lagi. Oke! Untuk hal ini aku memang seorang pecundang.
***
“Juno!!!
Ayo dong besok hari pernikahanmu kok malah malas-malasan gitu?” gerutu Mama
saat melihatku masih berbalut selimut pagi ini.
“Teruuss??
Aku harus jungkir balik dari menara Eifell gitu?” tanyaku dengan nada datar,
tanpa sadar yang aku ajak bicara adalah ibuku.
“Serius
Juno!!!” Mama tampak sewot menatapku.
Akhirnya
aku terbangun dan kulihat langit hari ini mulai gelap, tak berapa lama hujan
pun turun. Saat hujan, aku selalu ingat Rania, gadis bodoh itu entah sedang apa
sekarang. Karena biasanya dia akan terpaku di bawah hujan tanpa peduli badan
telah basah kuyup. Ah, rasanya tugas hidupku di dunia ini masih belum selesai
sebelum kuungkapkan perasaanku padanya.
Kuputar
sebuah playlist dari Hp ku.
Coz I was born to tell you I love you...
And I am torn to do what I have to..
To make you mine stay with me tonight..
Spontan
aku beranjak dari tempat tidurku, aku
hanya mencuci muka, kuambil jaket yang menggantung di pintu. Dan aku masih
dengan tidak karuan berlari menuju taman. Hari ini hujan akan lebat dan entah
darimana aku yakin pasti hari ini ia ada di taman itu.
“Rania”
lirihku, dia masih berdiri mematung di sana, dengan basah kuyup. Aku
menghampirinya. Kulingkarkan tanganku dari belakang seperti biasa yang aku
lakukan. Rania, dia selalu pintar menangis di bawah derasnya hujan. Siapapun
tak kan melihatnya sedang menangis. Tapi tidak kali ini, ia menangis
tersedu-sedu. Aku hanya membiarkannya beberapa saat dalam dekapanku. Ingin
rasanya seperti ini saja, biarkan waktu berhenti saat ini juga Tuhan.
“Rania,
I love you,” ucapku dengan yakin, tak
peduli apapun jawabannya, tugasku dilahirkan ke dunia ini adalah untuk
mengatakan bahwa aku mencintainya.
Tatapannya
dalam, tak banyak kata yang ia ucapkan dengan mata yang sembab ia hanya
mengangguk. Dan aku tahu seharusnya kukatakan itu dari dulu. Rania menyodorkan
cincin yang pernah aku berikan dulu, aku meraihnya dan memasangkannya di jari
manisnya.
“Would you marry me? Please...”
“Yes, I do....”
jawabnya lirih.
***
#lagu
Secondhand Serenade_ Your Call
Tidak ada komentar:
Posting Komentar