17
November 2010
Pelangi
di cakrawala senja, menebar cahaya penuh makna. Langit masih menyisakan tetesan
air hujan, dari balik jendela kamar kumenatap, “kenapa ada pelangi?” tanyaku
ketika kecil. Nenek mulai bercerita tentang legenda tujuh bidadari. Jika saja
semua itu benar, maka akan kucari tujuh bidadari, maka akan kubawa selendang
peri, agar kubisa terbang dengan kekuatan sihir, menembus kahyangan meraih
bintang. Ah... itu dulu, kini yang kudengar. Pelangi ada karena biasan cahaya,
seperti kata guruku di sekolah. Mana yang harus kupercaya? Cerita orang tua
atau teori fisika? Aku tak peduli karena engkau tetap pelangi. Warna indahmu
murni takkan terganti, takkan terjamah hingga zaman berubah.
“Kika,
ayo masuk! Di luar dingin sayang,” teriak Nenek dari dalam. Dan Kika masih
seperti biasa, memandang kagum pada pelangi di atas balkon rumah.
“Nanti,
Nek! Kalau pelanginya sudah bobo.”
“Pelangi
nggak bisa bobo, Kika!” ujarku tanpa mau tahu daya khayalnya mulai berimajinasi.
Karena tak seharusnya anak kecil diberi mimpi indah dari sebuah dongeng, pada
akhirnya mereka harus mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
“Isshh..
Kakak! Kalau nggak bobo nanti tujuh bidadarinya
gimana!?” serunya.
“Bidadari
itu gak ada, Kika!” seruku lagi, teringat dengan dongeng waktu kecil yang mengubah
semua mimpiku seketika.
“Ada!”
“Enggak!”
aku gak mau kalah.
“Sssttt..
malah ngadon debat sama adek sendiri!
Biarkan namanya juga masih anak-anak Vika!” Nenek menegur dari belakang. Aku
masih menahan nada protes, rasanya menyenangkan membuat adik yang satu ini
kehilangan mimpi. Aku tersenyum licik padanya. Dia kesal lalu menjulurkan
lidahnya padaku!
Mejikuhibiniu, menyimpan sejuta misteri, kualihkan pandangan
keluar. Warnanya hampir memudar, karena langit senja lebih berkuasa untuk
mengusirnya.
***
25
November 2010
Kapankah pelangi datang, setelah redanya hujan...
Begitupun gelap malam takkan tetap takkan diam, akan
pergi digantikan pagi.
Ada tangis lalu ada tawa, ada manis di balik kecewa.
Begitulah biasanya habis duka datang suka, terimalah
dengan hati yang rela...
Entah
sejak kapan aku menyukai lirik lagu ini, mungkin juga karena aku menyukai suara
dari dua penyanyi bersaudara ini, Gamal dan Audrey. Tapi, bukan itu point pentingnya karena dalam liriknya
menyebut pelangi. Dan aku jatuh cinta pada pelangi.
“Vika!”
seru Citra yang kedatangannya mengejutkanku. Aku menoleh ke arahnya, kulihat
rambutnya yang hitam pekat, tergerai panjang berayun-ayun di bahunya.
“Huh..
hah..Yonan.. hmmm uhuk..uhuk...” masih dengan tersengal-sengal ia mengatur
napasnya.
“Kenapa
Yonan?”
“Dia
sakit. Sekarang dirawat di Rumah Sakit!”
Tanpa
banyak bertanya tentang sakit apa yang diderita Yonan aku langsung menghambur
kemudian diikuti Citra dari belakang. Anak satu itu, kenapa dia gak pernah
berbicara dengan apa yang dirasakannya. Sepanjang jalan aku hanya bisa
termenung, mengingat setiap moment
persahabatan kami.
“Kamu
sakit apa, Yon?” tanyaku lirih di telinganya. Selang infusan telah mendandani
dia dalam bentuk yang tak seperti biasanya. Mata sayu itu tampak sendu, namun
bibirnya masih mencoba mengembangkan senyum. Mungkin senyum terakhir yang akan
aku lihat setelah kulihat pelangi dari balik jendela rumah sakit.
“Pelanginya
indah,” bisik Yonan lirih.
Aku
menatap warna rainbow untuk yang
kesekian kalinya. Indah, tapi tak seindah dulu, bahkan untuk saat ini pun masih
lebih indah senyum Yonan padaku.
“Jika
kita dewasa nanti, lulus SMA, kuliah, kerja, apakah kamu mau menikah denganku?”
tanyanya tiba-tiba. Aku terdiam, aku baru kelas tiga SMA dan Yonan membicarakan
pernikahan? Aku tak menjawab sepatah kata
pun saat itu, tapi aku mengangguk penuh keyakinan. Keyakinanku yang
masih labil....
***
Maret,
2013
“Vika,
lu mau ikut gak?” tanya Sonia mengagetkanku dari belakang.
“Hah?
Kemana?”
“Galeri
seni, hari ini ada pameran lukisan. Kebetulan gue dikasih dua tiket gratis.
Gimana?” tanyanya.
“Ehmm..
aku nggak ngerti soal lukisan, coret-coret nggak jelas aja harganya bisa
puluhan juta!”
“Yee..
ke galeri seni lukis nggak harus beli, kok! Dan nggak harus mengerti untuk
menikmati!” ujarnya masih nggak mau kalah argumen denganku.
“Hmm..
Ok lah! Lagian hari ini aku nggak ada acara,” akhirnya aku mengalah, pada sorot
mata yang setengah memaksa itu.
Setengah
jam kemudian kami telah sampai di tempat, Sonia memarkirkan motor matic-nya di antara barisan kendaraan
beroda dua yang lain. Baru di lima belas menit pertama, aku sudah cukup merasa
jenuh dalam ruang penuh gambar yang terpampang di setiap dinding. Aku bukan
pecinta seni lukis, jadi bagaimana bisa aku menyukai semua ini. Aku hampir
menyerah, sebelum akhirnya kutemukan sesuatu yang unik di sudut galeri.
“Pelangi,”
gumamku.
Tanpa
kusadari aku menghampiri sebuah lukisan penuh warna, mejikuhibiniu. Aku menatap cukup lama, satu-satunya lukisan yang
menarik perhatianku saat itu. Bahkan keberadaan Sonia pun aku gak peduli, entah
di mana saat terakhir kami bersama. Sudah kukatakan berulang kali aku mencintai
pelangi!
“Eheemmm,”
“Ehmm...
ehhemm...,” seseorang berdeham di sampingku untuk yang kedua kalinya, membuatku
kehilangan mood dalam menikmati maha
karya yang luar biasa ini. Aku menoleh sesaat lalu lebih memilih mengamati lagi
karya indah di hadapanku.
“Apa
yang kamu lihat?” tanya seseorang yang berdeham tadi.
“Lukisan,”
jawabku sekenanya.
“Maksud
aku, apa makna dari lukisan yang kamu lihat?” tanyanya masih belum jera dengan
sikap dinginku.
“Pelangi
dengan warna yang indah,” sumpah aku bukan pecinta lukisan yang bisa mengetahui
setiap makna dari garis yang terbentuk, dan aku bisa mati berdiri kalau pria
ini masih bertanya tentang lukisan.
“Hanya
itu?” tanyanya, aku mengangguk lalu ia tersenyum, entah apa arti di balik
senyumnya? Menilaiku bodoh? Whatever!
“Kamu suka pelangi?” tanyanya entah untuk yang keberapa kali, dan aku hanya
menjawab dengan anggukan. “Tahu siapa orang pertama yang menjelaskan asal-usul
pelangi secara tepat?” lagi-lagi ia bertanya. Dan tanpa mengeluarkan suara aku
menggeleng.
“Rene
Descartes, seorang ilmuwan dari Perancis yang menjelaskan keajaiban sinar
matahari dan butiran air yang akhirnya membiaskan cahaya indah itu” terangnya,
membuatku terpaksa harus menatapnya lebih lama. Gila! Aku benar-benar bisa
gila! Ada cowok yang menyukai pelangi juga, bahkan mungkin dia tahu banyak
tentang pelangi. Ia menatapku lalu mengulurkan tangannya. “Adi Putra,” ucapnya.
“Vika,”
balasku sambil mengulurkan tangan.
“Eh,
kamu yang melukis pelangi itu?” tanyaku ketika sadar di ujung paling bawah kutemukan
simbol A.P dari kata Adi Putra.
“Pintar!”
ujarnya.
Itu
setahun lalu, pertemuan pertama di galeri telah mendekatkan jarak kami.
Kecintaan kami pada satu hal yang sama membuatku merasa nyaman bercerita apapun
dengannya. Satu tahun juga kami telah menjalin hubungan dalam status. Aku
mencintainya lebih dari pelangi yang pernah kita nikmati bersama. Adi Putra,
pelangi senjaku...
***
29
September, 2014
Menikahlah denganku!
Pagi
ini aku menerima sms konyol entah dari siapa, sedikit mengerutkan kening saat
kutatap nomer baru di kontak Hp ku. Pasti kerjaan orang iseng.
Menikahlah denganku!
Sms
kedua kuterima saat jam makan siang di kantor, masih dari nomer yang tadi pagi.
Kurang kerjaan!
Menikahlah denganku!
Untuk
ketiga kalinya nomer asing ini meng-sms
kalimat yang sama, dan membuatku kehabisan kesabaran.
Kamu siapa? Kalau berani datang saja ke rumah jangan
lewat sms! balasku.
OK! Tunggu aku!
balasan
dari nomer tak dikenal.
***
“Kak
Vikaaaa... ada tamu tuh nyariin!” teriak Kika dari balik pintu.
Jam
di dinding menunjukan jam 8 malam, jarang ada yang datang ke rumah jam segini
kecuali kalau urusan penting dan biasanya mereka sms dulu. Karena Adi minggu
ini sedang ada workshop di luar kota
enggak mungkin dia. Aku menuruni derap anak tangga, lalu menjurus ke arah ruang
tamu. Seseorang berdiri membelakangiku.
“Cari
siapa?” tanyaku masih bingung dengan sosok pria yang dari perawakan pastinya
bukan Adi. Ia membalikkan badannya, membuatku seakan mendapatkan bintang jatuh
di tangan. Aku berteriak girang.
“Yooonnnaaaaaaannn!!!”
teriakku sambil menghambur ke arahnya, aku memeluknya sahabat terbaikku. Lima
tahun telah berlalu dan aku kehilangan kontak dengannya selama itu. Terakhir
saat perpisahan kami di SMA, dia bilang akan kuliah ke luar negeri. Dan itu membuatku
semakin bangga padanya, sekaligus mematahkan hatiku kala itu. Karena aku akan
kehilangan banyak waktu berharga dengannya.
“Kapan
kamu pulang?” akhirnya setelah aku melepaskan pelukan.
“Kemarin
malam,” jawabnya penuh karisma. Ah, dia semakin dewasa dan tampan.
“Semalam?
Terus kenapa baru datang sekarang? Bukannya kasih kabar!” aku ngedumel kesal padanya.
“Aku
sudah kirim kabar,” jawabnya.
“Nggak
ada!” seruku sambil manyun.
“Udah,
aku sms tiga kali malah! Tapi baru dibalas barusan...” ucapnya.
“Apa?”
aku mengingat sms yang masuk hari ini, hanya dari beberapa teman kerja yang nggak
begitu penting. Lalu dari Adi, dan juga sms konyol dari seseorang tanpa nama.
Tunggu, sms konyol?
“Kamu?”
aku masih nggak percaya dengan dugaanku.
“Menikahlah
denganku!” ujarnya. Aku tersenyum, dasar jail. Kelakuannya masih sama seperti
dulu.
“Aku
pulang karena merindukanmu, dan aku ke sini untuk menagih janjimu dulu. Jika
kita dewasa nanti, lulus SMA, kuliah, kerja, apakah kamu mau menikah denganku?”
ia mengulang ucapannya saat itu.
Aku
tertegun, mengingat kembali kejadian 5 tahun lalu di rumah sakit. Aku enggak
menyangka Yonan serius dengan ucapannya saat itu. Dan aku ingat, aku mengangguk
penuh keyakinan, bahwa suatu saat aku akan menikah dengannya. Keyakinan yang
sama kuatnya sebelum aku bertemu Adi. Yonan dialah pelangi pagi hariku...
Lalu,
Adi? Ah, aku tak ingin kehilangan kedua-duanya... bisakah kudapatkan kedua
pelangiku!?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar