Eyang
masih terduduk di atas kursi roda, bukti sisa perjuangannya dahulu melawan
penjajah. Eyang menatap kosong ke arah pantai yang terbentang luas. Di setiap
sisinya nyiur melambai-lambai tertiup angin. Deburan ombak memecah karang,
angin menerpa rambutnya yang kian memutih. Guratan wajah tua itu menyunggingkan
senyum, tapi senyum yang sulit untuk diartikan. Senyum bahagiakah karena
negerinya kini telah merdeka? Atau senyum miris melihat kemerdekaan yang tak
bisa ia rasakan? Terdengar alunan lagu dari anak-anak yang sedang bermain di
depan halaman.
Nyiur hijau di tepi pantai
Siar-siur daunnya melambai...
“Eyang
lihat bendera yang Aziz simpan di atas meja nggak?” tanya Aziz tiba-tiba
membuyarkan lamunannya.
“Bendera
apa, Ziz?” tanya Eyang sambil mengingat-ingat.
“Bendera
merah putih, buat upacara besok!” jawab Aziz yang mulai kebingungan.
Eyang
mengerutkan kening, tampak berpikir keras. Akhirnya menggeleng, Aziz masih
sibuk mencari di setiap sudut rumah.
“Ah,
jangan-jangan Emak nih yang suka asal mindahin barang” Aziz mulai menggerutu.
“Memangnya
besok ada upacara apa? uhuk...uhuk...,” tanya Eyang di sela batuknya.
“Kan
besok 17 Agustus Eyang, hari kemerdekaan!” seru Aziz hampir membuat Eyang
terjengkang dari kursi rodanya. Eyang hanya tertunduk, diam, kelu, menatap ke
bawah kursi rodanya, kakinya tinggal sebelah... tapi tak pernah ada penyesalan.
“Aziz!”
seru Ilo yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah diiringi oleh Zhe dan Julian.
“Ayo,
kita latihan buat acara lomba dancer
besok!” ucap Zhe tampak bersemangat dengan lomba dancer yang terdengar lebih keren daripada lomba joget. Mereka
sudah beberapa kali latihan dari kemarin dengan ala boyband atau girlband Korea yang lagi digandrungi ABG.
“Jangan
sekarang, saya lagi sibuk!” kata Aziz yang masih bolak-balik masuk kamar.
“Sibuk
apa?” tanya Ilo yang penasaran melihat Aziz dengan wajah yang tampak kusut.
“Mencari
bendera... bendera yang dititipkan Pak RW untuk upacara besok hilang,” jawab
Aziz dengan nada pasrah.
“Wah,
jangan-jangan ada yang mau menyabotase pesta rakyat besok nih!?” tiba-tiba jiwa
ke-detektif-an Ilo muncul.
Kasus
ini haru diusut, mereka berempat berkumpul mencoba menelaah kasus yang terjadi.
Dari awal cerita saat Aziz meletakkan bendera di atas meja sampai hilangnya
bendera. Mereka mulai mengumpulkan informasi tentang siapa saja kemungkinan
orang yang masuk ke dalam rumah.
“Eyang,
ingat tidak siapa saja orang yang tadi masuk ke dalam rumah?” tanya Aziz segera
melakukan pengumpulan saksi dan bukti.
“Ehhmmm...
tadi ada Sabrina, Firdaus juga Pak Wiro” jawab Eyang sambil mengingat-ingat.
Untuk soal ingatan jangan ditanya, meski Eyang sudah tua, tapi beliau masih
mengingat kejadian 65 tahun lalu saat ia ikut berjuang membela negara.
“Ini
mencurigakan, mereka tidak mungkin datang ke sini kalau tidak ada tujuan.” Ilo
mulai mengeluarkan argumennya.
PLAAAAKKK!
Tiba-tiba kepala Ilo ditimpuk oleh Zhe,
“Semua
orang juga pasti tahu mereka datang ke sini karena ada tujuan tapi bukan berarti
mencuri bendera. Lantas atas dasar apa mereka bertiga harus dicurigai?” tanya
Zhe yang mulai geram dengan pendapat Ilo yang kadang berlebihan dalam
mengungkap kasus.
“Hmmmm....”
Ilo dan Aziz terdiam, selagi mereka berpikir tiba-tiba Julian berteriak.
“Hey,
aku menemukan ini di teras depan,” Julian menghampiri lalu menyodorkan sandal
jepit usang berwarna biru dengan ukuran nomor 42.
“Apa
ini bisa dijadikan petunjuk?” tanya Julian lagi.
“Apa
kamu mengenal sandal itu, Ziz?” tanya Ilo.
Setelah
diperhatikan, rasanya Aziz tidak mengenal sandal itu. Sandal jepit usang tanpa
pasangan, mungkin saja itu milik pelaku karena terburu-buru ia
meninggalkan jejaknya di sini. Baiklah penyelidikan “4 Detektif” akan dimulai.
***
Dengan
semangat mereka mulai menyusun strategi, orang pertama yang dicurigai Sabrina.
Akhirnya mereka berempat segera menuju rumah Sabrina. Sabrina yang sedang
menghias rumahnya dengan ornamen berwarna merah putih dikejutkan dengan
kedatangan “4 Detektif” ini. Tanpa basa-basi mereka mulai menginterogasi
Sabrina.
“Saudari
Sabrina, kami mendengar bahwa tadi pagi kamu mendatangi rumah Aziz. Apa yang
kamu lakukan di sana?” tanya Ilo dengan nada layaknya seorang detektif
profesional.
“Oh,
tadi aku membantu Emak membawakan makanan dan kue untuk panitia yang sibuk
mempersiapkan lomba panjat pinang itu!” terang Sabrina sambil menunjuk
sekumpulan pemuda yang tidak jauh dari depan rumahnya.
“Apa
kamu melihat sesuatu di atas meja?” tanya Aziz.
“Tidak!
cuma ada kue dan makanan itu saja” jawab Sabrina mencoba santai menghadapi
detektif gadungan ini.
“Apa
ada saksi yang menemanimu saat mengambil makanan dari atas meja?” Kali ini Ilo
bersikap lebih tegas.
“Kalian
pikir aku mencuri! Kalau kalian tidak percaya tanya saja sama Emak, lagipula
tadi aku masuk berdua sama Emak dan keluar pun berdua lagi sama Emak. Saya
hanya membantu Emak, eh malah dituduh macam-macam. Emang barang apa yang
hilang?” tanya Sabrina akhirnya tidak bisa menahan emosinya.
“Maaf-maaf...
baiklah kami pamit!” ujar Zhe yang sedari tadi sudah merasakan gelagat tidak
nyaman. Sambil menarik tangan teman-temannya mereka pergi dari tempat itu.
“Berdasarkan
pengamatan saya, Sabrina jujur. Lagipula kalau kita kembalikan pada barang
bukti yang kita temukan. Pelakunya tidak mungkin Sabrina, lihat! Ini sandal
jepit ukuran cowok. Dan nggak mungkin Sabrina memakai sandal jepit segede ini.”
Akhirnya Julian mulai bermain dengan logikanya.
“Baiklah,
berarti tinggal Kak Firdaus juga Pak Wiro!” jawab Aziz.
“Hati-hati,
jangan sampai membuat orang merasa dituduh!” balas Zhe kali ini.
***
“Maaf,
Kak Firdaus kami mengganggu, kami cuma mau bertanya. Tadi katanya Kak Firdaus
datang ke rumah Aziz, memangnya ada perlu apa, Kak?” tanya Aziz kali ini lebih
sopan, apalagi sebagai tuan rumah ia berhak bertanya dibanding yang lain.
“Oh,
itu Ziz, Kakak minta bantuan Eyang supaya besok mau jadi tamu kehormatan di
desa untuk mendapatkan piagam penghargaan sebagai pahlawan satu-satunya yang
tersisa di desa ini. Dan Kakak juga berharap Eyang mau menceritakan kisah
perjuangannya kepada anak-anak Karang Taruna sore ini, jadi kita semua tahu
sejarah bukan sekedar dari teori tapi juga dari pahlawan dan saksi hidup” Jelas
Firdaus yang memang cukup aktif sebagai Ketua Karang Taruna di desa ini, dan rasanya
tidak mungkin juga Firdaus yang mengambil bendera.
“Ini
sandal Kak Firdaus tertinggal di rumah Aziz ya?” tanya Ilo yang masih
penasaran.
“Hah,
tidak! Ini sandalnya masih saya pakai!” jawab Firdaus menunjukan sandal di
kakinya.
Mentah
lagi kecurigaan mereka, lagipula ternyata ukuran kaki Kak Firdaus tidak sesuai
dengan sandal yang mereka temukan.
***
Orang terakhir yang harus mereka temui adalah Pak Wiro, saat sampai di rumah Pak Wiro Julian memerhatikan sandal yang ternyata ukurannya sama percis dengan yang mereka temukan di depan rumah Aziz.
“Maaf
Pak mengganggu, tadi pagi Bapak ke rumah Aziz ya?” tanya Zhe kali ini.
“Oh,
iya tadi pagi saya mau pinjam gergaji ke Eyang.”
“Lho,
untuk apa Pak?” tanya Zhe lagi.
“Itu
di belakang rumah ada pohon tumbang karena menghalangi jalan, jadi Bapak pinjem
gergaji.” Terangnya.
“Kalau
ini sandal Pak Wiro?” tanya Ilo.
“Wah,
bukan, sandal saya itu yang berwarna merah sama sudah butut juga kahkahkah....”
Pak Wiro tertawa setelah memerhatikan sandal jepit berwarna biru yang memang
tampak usang.
“Oh,
begitu Pak baiklah kami permisi!” ucap Aziz seraya berpamitan.
Dari
ketiga tersangka ternyata tak ada seorang pun yang bisa dicurigai, alibi mereka
kuat. Lalu bagaimana bendera itu bisa hilang, dan sebenarnya sandal milik siapa ini?
***
Dengan
langkah gontai akhirnya mereka kembali ke rumah Aziz.
“Aziz,
kamu dari mana saja? Emak sudah siapkan makanan buat kalian, ayo makan dulu
anak-anak!”
Mendapat
suguhan dari Emak seperti mendapat hujan setelah kemarau panjang. Seharian ini
otak mereka cukup penat dengan kasus yang belum juga terungkap, membuat
mereka terus terjebak dalam pikiran masing-masing.
“Wah,
kalian benar-benar lapar, ya? Memangnya kalian dari mana saja?” tanya Emak
penasaran.
“Cari
bendera yang hilang, Mak!” jawab Aziz masih dengan mulut penuh makanan.
“Bendera
apa?” tanya Emak sambil mengerutkan keningnya.
“Bendera
merah putih untuk upacara besok, Mak!” kali ini Ilo ikut menjawab.
“Oh,
bendera yang itu bukan?” tanya Emak sambil menunjuk ke arah jemuran.
“Haaahhhh?
Kok bisa ada di situ?!” semua berbicara berbarengan.
“Lho,
bukannya tadi pagi kamu yang cuci terus jemur di sana ya, Ziz?” tanya Emak
mencoba mengingatkan kejadian tadi pagi.
“Apaaa!!?”
teriak Ilo, Zhe dan Julian.
Sambil
mengingat-ingat kejadian tadi pagi, akhirnya Aziz tertawa “Kahkahkah... maaf
teman-teman saya lupa, tadi pagi setelah saya simpan di atas meja terus terkena
tumpahan susu, jadi saya cuci, terus saya lupa... kalau benderanya lagi di
jemur”
“Aazzzziiiiiizzz!!!!!!”
teriak yang lain geram.
“Lalu,
ini sandal jepit punya siapa?” tanya Julian yang masih penasaran.
“Hey,
itu sandal jepit Eyang, daritadi pagi Eyang cari ternyata kalian yang bawa, ya?”
Eyang tampak sewot kali ini. Lagi-lagi Ilo, Zhe dan Julian memandang ke arah
Aziz. Tadi, ditanya katanya tidak kenal sandal itu, tapi rupanya sandal itu
punya Eyang.
GLEK!
“Maaf,
teman-teman Aziz lupa!”
“Akkkkkhhh....!!!”
“Eh,
tapi kenapa sandalnya cuma satu... kan biasanya sepasang?” Aziz menggaruk-garuk
kepalanya.
“Azzzziiiiiizzzz....
Eyang kan cuma punya satu kaki!” Eyang mulai berteriak.
JLEEEEBBB!!!!
Begitulah
akhir kisah “4 Detektif” yang mengungkap misteri hilangnya bendera, tidak ada
barang hilang dan tidak ada pelaku yang ditemukan. Ini semua gara-gara Aziz
yang memang pikunnya tidak ketulungan. 4 Detektif yang diprakarsai oleh ILO,
AZIZ, JULIAN dan ZHE telah berakhir....
CASE CLOSED!
***
#Kyaaa... apaan sih Nae!? yang kek gini aja ditulis di blog!!!
So what??? just for fun guys. Happy reading! best regard to Ilo, Aziz, Julian, Zhe dan Eyang Wiro di KBM #kahkahkah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar