Oleh : Nanae Zha
Wajahnya
memucat ketika aku datang. Seminggu terbaring di sana tanpa ada yang menjenguk.
Kasihan! Namun, tampaknya ia tidak mengharapkan kehadiranku. Setelah
sepersekian detik menatap dengan sorot
ketakutan, akhirnya memejamkan mata, menangkupkan kedua telapak tangan ke
telinga, menjerit histeris tanpa bisa kukendalikan. Beberapa perawat
menghampiri, membuatku merasa bersalah karena telah mengganggu pasiennya.
“Per-gi! Pergi!”
Aku menatapnya, ada rasa iba melihat ketidakberdayaan itu.
Namun, aku harus di sini, menunggu atau entah untuk mengintimidasi atas
perasaan bersalah akibat masa lalu yang ia jalani.
“Tuan telah memerintahkan, Anda harus ikut saya sekarang!”
Bukan tak memiliki belas kasih, tapi tak ada negosiasi untuk hal
ini. Tugasku untuk membawanya pulang. Ia semakin menegang, dadanya naik turun
kehabisan oksigen, keringat dingin keluar dari tubuh. Dokter berulang kali
memaki, seolah menyuruhku pergi tanpa henti memberi semangat padanya.
Aku geming. Kekuasaan itu telah diemban padaku. Sudah waktunya,
alat pacu jantung yang dokter tekankan di dada takkan berfungsi. Aku tersenyum.
“Maaf, Dok. Anda kalah!” ucapku penuh kemenangan.
Tubuh itu pun meregang, terkulai lemah tanpa nyawa.
-END-
Cianjur, 10/01/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar