Judul : Tempat
Paling Sunyi
Penulis : Arafat
Nur
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 328
halaman
ISBN :
978-602-03-1742-7
Blurb :
“Sebisa mungkin aku menyembunyikan kesedihanku
darinya, agar tidak membuatnya tambah hancur ... aku mengintipnya lewat
jendela, dan ketika melihatnya kembali dalam kekecewaaan, aku pun menangis
....”
Mustafa rela
mengorbankan dirinya hidup menderita dalam kungkungan Salma, di tengah situasi
kacau wilayah yang sedang dilanda perang saudara. Bertahun-tahun dia terus
berjuang mewujudkan impiannya, sampai kemudian dia menemui cinta sejati dari
Riana yang membangkitkan kembali semangat hidupnya. Namun, takdir berkehendak
lalin, Mustafa kembali terempas, jatuh terpuruk dalam ketidakberdayaan; di
dunia ini dia berjalan seorang diri melalui tempat yang paling sunyi ....
***
Cover
Pertama melihat
novel ini, tentu saja hal yang menarik adalah judulnya. Seolah menggambarkan
kesepian dan keterpurukan tokoh dalam novel tersebut. Dan nyatanya setelah saya
baca sampai tuntas pun memang begitulah adanya. Saking terpuruk, dia hanya
ingin terus menenggelamkan diri pada keterasingan, kesepian dan tempat yang tak
terjamah, sebuah tempat paling sunyi. Saya menyukai warna covernya yang soft,
tak terlalu banyak deskripsi,
tetapi mewakili isi cerita dengan siluet
seorang lelaki berjalan sendiri di tempat paling sunyi. Keren.
Tokoh dan karakter :
1.
Mustafa
: seorang penulis novel yang berjuang habis-habisan untuk mewujudkan impiannya,
namun kelabilan emosi membuatnya begitu lemah. Melihat kondisi Mustafa memang
membuat beberapa orang akan iba. Selalu merasa tersiksa dengan pikiran dan
kerumitan yang dibuat sendiri.
2.
Salma
: istri yang dinikahinya ternyata tidaklah sepintar dugaannya, yang hanya bisa
menghamburkan uang, ngomel dan segudang masalah seolah dituduhkan karena Salma
sumbernya, padahal jika dikaji Mustafa turut andil bagian dalam hancurnya rumah
tangga mereka.
3.
Riana
: istri simpanan yang perfect-nya
luar biasa, penyabar, pengertian, perhatian yang paling memahami Mustafa dari
siapa pun. Wajar jika Mustafa mencintainya lebih dari apa pun.
Untuk ketiga
tokoh itu memiliki porsi yang cukup dalam cerita, setiap kali Salma berteriak
betapa saya bisa merasakan kekesalan Mustafa. Pun sebaliknya ketika Mustafa
yang bertingkah aneh dan cenderung memikirkan diri sendiri membuat saya merasa
simpati dengan Salma, meski sebenarnya Salma baik hanya mudah terpengaruh
omongan ibunya, meski penulis terasa timpang ketika terus-terusan menyalahkan
Salma dalam beberapa kasus *uhuk jiwa sesama perempuan.
Buku ini membuat
saya geram dengan kebodohan Mustafa sendiri, misalnya ketika dia menunggu
jawaban dari novel yang dikirim, padahal selagi menunggu harusnya menulis yang
baru. Atau beberapa tindakan Mustafa yang kadang tanpa perasaan, kembali pada
Salma setelah beberapa bulan ditinggalkan tanpa nafkah lahir batin, lalu
kembali pada Riana yang akan selalu menerima kehadirannya dengan senyuman.
Sungguh beruntung, di balik keterpurukannya ia memiliki istri yang luar biasa.
Beberapa bagian membuat
kening berkerut adalah cara penuturan Arafat Nur yang sebetulnya cukup ringan,
konflik batin, rumah tangga juga efek peperangan di Aceh telah membuat sebagian
besar warga trauma. Kadang saya merasa yang dijabarkan dalam kisah Mustafa
adalah kesulitan-kesulitan seorang Arafat Nur, malah berpikir kalau ini adalah
kehidupan sang penulis. Entah benar atau tidak saya cukup terbawa dalam situasi
tersebut. Meskipun saya kehilangan surprise,
karena Arafat Nur selalu membocorkan cerita di setiap perpindahan bab.
Misalnya perpindahan bab yang menyatakan Riana menjadi istri simpanan Mustafa. Atau di bab lain yang menyatakan bahwa Mustafa meninggal. Kadang membuat saya gemas, kenapa harus membongkar jawaban yang seharusnya dibuat twist, sehingga hal mengejutkan itu hilang. Namun, walau bagaimanapun saya masih ingin membaca sampai tuntas.
Saya mengira
bahwa kematian Mustafa akan menutup cerita ini dengan mudah, ternyata tidak! Di
sinilah letak kejutannya. Mustafa kedua telah hadir, seorang penulis novel—mirip
Mustafa—yang penasaran hingga ia
menelusuri jejak Mustafa. Mencari novel yang pernah diterbitkan dan mengunjungi
Salma yang hampir menggila.
Dia, yang
kemudian jatuh cinta pada Riana, akhirnya menulis kembali kisah Mustafa dalam
novelnya. Hingga ending-nya, dia
kebingungan, apakah keputusannya kembali menemui Riana akan berjalan mudah?
Bagaimana dengan kisah rumah tangganya yang di ambang kehancuran. Apakah Riana
akan kembali menjadi istri simpanan seorang penulis (lagi).
Ah, bagian ini
nggak mau spoiler ... lebih baik baca
sendiri isinya biar lebih gereget. :D
Di awal sih rapi
banget, meski akhirnya di bab terakhir kerap menemukan typo, but ... itu
manusiawi. Ada yang salah menyebut nama Riana
menjadi Salma, atau menulis kata disadari jadi didasari, juga beberpa typo
yang kemudian saya abaikan.
Amanat yang didapatkan
setelah membaca buku itu :
1. Mengingatkan
saya untuk kembali membuat novel yang lebih baik lagi. Kegigihan Mustafa
mengajari saya banyak hal dalam meraih mimpi.
2. Riana
adalah sosok istri yang banyak menginspirasi perempuan untuk menjadi istri
saleha #uhuk
Akhirnya, saya
akan merekomendasikan buku ini sebagai buku yang butuh pemahaman dan kejiwaan yang
luhur dalam memahami tokohnya. Buku ini bagus untuk siapa pun, hanya mesti
sedikit sabar dengan penuturan yang agak lambat karena terlalu banyak narasi, tapi sepertinya memang
begitulah ciri khas seorang Arafat Nur.
Profil penulis :
Arafat Nur
adalah penulis prosa yang memulai bakatnya dengan menulis pusis, lantas mengarang
cerita pendek dan terakhir lebih terpumpun pada novel. Di sela-sela
kesibukannya sebagai pekerja serabutan, dia gemar membaca buku apa saja
terutama buku sejarah dan sastra asing.
Lampuki (Serambi,
2011) merupakan novelnya yang terpilih sebagai pemenang DKJ 2010 dan meraih Khatulistiwa Literary Award 2011. Burung
Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan judul A Bird Flies in the
Dark of Night. Buku
terbarunya, Tanah Surga Merah (Gramedia, 2017) siap untuk segera dibaca nih.