Sayang, masih sibukkah?
Bisakah malam ini makan bersama? Atau setidaknya izinkan bicara meski tak
harus bertatap muka. Mendengar suaramu dari ujung telepon cukup menenangkan
kecemasan. Tak kupungkiri, betapa dalam cinta dan besarnya pengorbanan yang
kauberi. Lantas apa yang kaunikmati dari hasil jerih payahmu?
“Jangan terlalu diforsir, Sayang.”
Duhai lelaki pekerja keras ... begitu materialistiskah hidupku hingga
pekerjaan menjadi prioritas utama?
Iya, aku yang minta rumah untuk kita bernaung, tapi tak harus megah.
Aku minta kendaraan untuk memudahkan saat kau tak bisa mengantar, tapi
bukan yang mewah.
Aku yang minta makanan bergizi untuk kesehatan anak-anak, tapi bukan yang
mahal.
Tidak, Sayang! Sesungguhnya permintaanku sederhana saja. Seorang lelaki
hebat apalah artinya jika tak memiliki waktu untuk bersamaku?
Kumohon ... istirahatlah! Rebahkan sejenak resah itu di pundakku, ungkapkan
segala beban hati. Bukankah itu yang dulu kamu suka? Perempuan pengertian,
sahabat ternyaman untuk berbagi cerita.
Ah, ini pasti kebodohanku yang tak bisa membuat nyaman saat berada di
rumah. Mungkin mulai bosan dengan ocehanku. Ataukah akhir-akhir ini masakan
terasa hambar? Jangan-jangan sudah tidak menarik di matamu. Ya, aku lupa
caranya berdandan karena sibuk mengurus anak.
Maaf, Sayang. Tegurlah aku jika khilaf. Ingatkan jika salah. Bukankah janji
kita dulu untuk saling mengingatkan, melengkapi dalam setiap kekurangan?
Segeralah pulang! Seperti biasa aku masih menunggu di depan pintu.
Dari istrimu yang tak sempurna.