Oleh
: Nanae Zha
Mata kami beradu, tak
lama ia segera menunduk. Bias bulan dan titik-titik kecil yang mengelilingi
tampak tersaput kabut malam, menyisakan gelap. Namun, sekelebat saja dapat
kulihat jelaga misteri dalam mata gadis itu. Ia memainkan jemari tangannya,
tampak gelisah. Ingin sekali aku menghampiri sedikit memberi ketenangan bahwa
dirinya tidak sendiri.
“Ini
tidak adil!” teriaknya mencoba membela diri. Suaranya memecah keheningan. Angin
mendesir meniup tengkukku.
“Sudahlah,
rebahkan sejenak segala gundah. Biarlah kita menjalani hukuman ini dengan cara
yang indah. Di sini kita bisa memulai kehidupan baru. Untuk apa tinggal di
tempat tertinggi, bersinar, tapi tetap berjelaga?”
“Sinarmu
adalah petunjuk dalam kegelapan. Tugas kita cukup menyinari meski ada dalam
jelaga. Apa artinya jika tak mampu bersinar lagi?”
“Kamu tahu kenapa langit begitu gelap? Karena
cahaya sesungguhnya ada karena cinta. Mereka yang di langit takkan bersinar
jika tak memilikinya. Entah di manapun berada, di langit atau di bumi kamulah
sinar paling terang.”
Baru
sadar saat memandang ke atas sana bahwa jarak kami kini begitu jauh. Sebuah
kekeliruan menurut mereka—penguasa malam. Padahal apa yang salah? Hanya karena
saling mencintai, bukan berarti menjadi dosa tak terampuni. Dalam sekali
lesapan cahaya, kami tersungkur ke bumi seiring pudarnya cahaya malam.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar