Hari itu, pertama kalinya meninggalkan orang terkasih dengan mata
berembun. Namun, butir kristal bening mampu kubendung di hadapan mereka.
Sejenak, berusaha mengembangkan bibir membentuk bulan sabit, diiringi
doa restu langkah semakin mantap. Demi keluarga tercinta, rela melewati
samudera, jalanan terjal dan berliku menuju “surga BMI” begitulah orang
menyebutnya.
Kini, satu tahun telah berlalu, mereka yang terkasih
tak pernah tahu. Dan berharap mereka tak usah tahu akan segala duka dan
luka. Aku harus bertahan menghadapi Nyonya pelit dan Tuan yang tak
berhenti menggoda. Malam yang menyiksa, Nyonya pergi setelah menerima
undangan dari temannya. Kutelan sesuap nasi yang bukan selera, hambar
tanpa rempah-rempah alami Nusantara. Tak ternyana, lengan perkasa itu
menarik, aku menjerit, meronta dan kesakitan.
“Apa yang Tuan
lakukan?” teriakku, ia makin beringas, di hati tak berhenti menyebut
nama Tuhan. Saat itu, tebersit lagi senyum kedua orang tua, mencoba
bertahan meski harus menelan kutukan seluruh mata dunia.
Tidak! Aku
tak boleh lemah dan menyerah begitu saja. Bukan seperti ini tujuan
perjalanan para TKW, kami datang untuk bekerja, menjual tenaga bukan
untuk menjual diri! Tekadku. Dengan susah payah berhasil menggapai buku
yang berjajar di atas rak. Buku yang cukup tebal, kulayangkan tepat di
pelipis mata. Ia mengerang sambil menutup matanya yang mulai berair.
Kugunakan kesempatan itu berlari ke dalam kamar, mengunci sampai
akhirnya Nyonya pulang. Malam itu aku selamat, pelajaran pertama dan
selanjutnya tak akan kubiarkan majikan berlaku sewenang-wenang. Setiap
kali Nyonya pergi pintu kamar dikunci, tak peduli Tuan mata keranjang
itu berteriak bahkan sampai menggedor pintu kamar.
***
Aku
menyusuri jalanan sepanjang Victoria Park, di sanalah keluarga kedua
saling berbagi kisah. Tempat berkumpulnya BMI-HK, aku bercerita agar
yang lain bisa lebih mawas diri. Sore itu sebelum pulang, Nisa
menghampiri dengan tersedu lalu menuturkan tentang semua yang dialami,
lagi-lagi perkosaan, wanita selalu jadi bahan eksploitasi birahi. Lebam
di leher, tangan dan sekujur tubuh yang ia perlihatkan menjadi bukti
atas sebuah penindasan.
“Kita ke Rumah Sakit, aku ingin semua lukamu divisum. Setelah bukti medis selesai, aku yang akan bicara.”
“Tidak! mohon mengertilah, aku tak berdaya ketika teringat wajah orang
tua. Jika bicara, pasti akan dipecat, lalu harus membayar denda atau
mungkin berhubungan dengan pihak hukum dan segala tektek bengeknya.
Semua media menyiarkan, mungkin keluarga di Indonesia mendengar dari
berita koran atau di layar televisi, maka hal itu akan melukai hati
mereka” terang Nisa.
Aku mengerti perasaannya, terlalu banyak rasa
takut yang ia miliki bukan hanya tentang dirinya bahkan tentang nama
baik keluarga. Tapi, kebatilan tak bisa dibiarkan. Di sinilah aku
berada, untuk inilah BMI HK didirikan, membantu mereka yang teraniaya.
“Ini bukan hanya tentangmu, Nis, tapi ratusan wanita yang mungkin
bernasib sama! Manusia memiliki hak asasi sama, jangan karena kita
pembantu lalu kita bisa diperlakukan dengan semena-mena!”
“Tapi, ini aib bagi keluargaku, Eyput!”
“Dan ini aib bagi BMI HK yang tak bisa memperjuangkanmu, Nis! Kami ada
untuk orang-orang seperti kamu yang tertindas. Jika bukan kita lalu
siapa lagi yang akan mengubah hidup dan masa depan kita? Jangan karena
kamu takut dipecat, lantas kamu pikir keluarga kamu gak bisa makan? Atau
kamu akan menjadi bahan gunjingan orang? Ingat Tuhan Nis, semua rizki
ada yang mengatur dan peduli apa tentang orang-orang yang merasa dirinya
suci? Kita bukan menjual kesucian dan harga diri, tapi tenaga. Jika
kita mengalami penyiksaan dan luka perih, itu salah satu ujian Tuhan.
Apakah kita bisa bertahan dan memperbaiki semuanya atau kamu akan terjun
langsung ke dunia seperti itu karena terlanjur?” jawabku menggebu.
“Lalu keluargaku bagaimana, mereka akan terluka?”
“Saat ini yang terpenting menyembuhkan lukamu dan siapkan mental. Kamu
tidak sendiri ada kami yang setia mendukung dan mendoakan. Kita memang
wanita, tapi bukan wanita lemah yang mampu diperdaya justru harus
menunjukan bahwa kita wanita tegar yang mampu bertahan,” aku mencoba
meyakinkannya.
“Eyput, kamu benar, aku tak bisa selamanya seperti
ini, semakin takut semakin ia merasa menang bisa menguasai sepenuhnya.
Aku harus melawan!”
Kudekap Nisa dengan hangat, di sinilah
hubungan saudara terjalin. Entah di negara manapun rasa cinta ini akan
tercipta karena sebuah ikatan atas nama satu bangsa tempat kami
dilahirkan, Indonesia. Ia tersenyum kepercayaannya mulai bangkit,
seperti itulah yang kuharapkan dari wanita Indonesia. Jangan menyerah
pada keadaan! Tersenyumlah pada dunia bahwa kita wanita hebat
bermartabat.
Dalam doa hening, “Tuhan... berikan kekuatan, tuntunlah
dan ridhoi setiap langkah, berikan petunjuk-Mu. Dan jangan berikan
ujian yang hamba tak mampu menjalaninya.”
Aku terdiam di sudut
malam, entah Tuhan akan mendengar atau mengabaikan. Aku yang hina tak
mengharap pangeran atau pahlawan yang akan membebaskan, toh ini bukan
dongeng Cinderella. Tapi, aku harap pemerintah tempat aku dilahirkan
akan peduli pada nasib anak bangsa. Bukan hanya aku, tapi ratusan
pahlawan devisa yang bernasib buruk di negeri asing. Mungkin kami
dianggap sebelah mata, tapi kami ikut menambah devisa negara. Tak
bisakah mereka mendengar jeritan hati kami? Wakil rakyat yang dipilih
oleh rakyat, saatnya kalian peduli pada rakyat.
***
“Eyput, kapan kamu pulang, Nak?” tanya Emak dengan nada sedih di telepon.
“Setelah kontrak selesai, Eyput pasti pulang. Emak jangan khawatir
majikan di sini baik kok. Bulan depan Eyput kirim uang untuk biaya hidup
juga sekolah Adik ya, Mak,” jawabku dengan batin menjerit. Tak
kukeluarkan sedikit pun keluhan depan mereka karena tak ingin menambah
beban pikiran, “Eyput ingin pulang, Mak!!!” namun, bibir masih kelu.
Aku yakin hidup akan indah pada akhirnya, meski tak tahu berujung di
mana. Meski demi menuai indah jalan itu tak mudah, pengorbanan ini tak
akan sia-sia karena tabir kebenaran akan tersingkap. Aku, hamba sahaya
yang mencoba tersenyum dalam kerasnya perjuangan hidup meski tercabik
perih pengkhianatan. Tapi, semangatku masih berkobar demi Emak, Bapak
dan Adik tercinta....
“Doakan Eyput, Mak! Karena doamu sebuah kekuatan bagiku.”
***
END
Cerita ini di dedikasikan untuk BMI-HK dan seluruh pahlawan devisa negara. Tetap semangat dan tersenyumlah bidadari Indonesia.
#Event_GDW4_BMI HK