“Zhia...
Kimie... Monic... Black... Mabell... Noiiiiii!!!” aku berseru dan keenam anak
kesayangan berlarian menghampiri. Seperti biasa pulang kerja selalu disambut
dengan rengekan manja. Bahkan sebelum mengganti pakaian atau menyimpan tas,
kulangkahkan kaki ke dapur untuk memberi makan anak-anak. Lelah pun terobati,
saat melihat wajah polos dan lucu. Begitulah aku sangat mencintai mereka,
kucing-kucingku!
Mereka
bukan kucing piaraan yang mahal seperti pada umumnya jenis Angora, Persia atau Tiffanie,
tapi mereka hanya kucing liar yang diambil dari got dengan bulu penuh dengan
noda. Atau dari jalanan yang butuh tempat berteduh dan makanan yang layak. Kini,
selusin sudah kucing-kucing itu berkeliaran di rumah hingga tidak perlu
merekrut orang untuk membuat kesebelasan.
Sejak
kecil aku sangat menyukainya, di acara ulang tahun aku mendapatkan banyak kado
berbau kucing untuk menambah daftar koleksi. Mulai dari jepit rambut, buku,
pensil, tas, gantungan kunci, poster-poster yang memenuhi dinding kamarku,
sampai lemari dan seprai yang bermotif kucing. Mereka menyebutku Catty’s Addict. Jika aku bepergian tanpa
satu barang pun berbau kucing rasanya separuh nyawaku hilang, setengah rasa percaya
diriku terkurung di balik tempurung. Dan moody-ku
turun drastis, bagiku itu seperti kekuatan kedua dengan aura positif dalam
tubuh.
“Kenapa
kucing, sih?” tanya Aldi.
“Harus
ada alasan untuk menyukai sesuatu? Padahal aku mencintaimu tanpa alasan
apapun...,” ungkapku pada pacar yang baru jadian dua minggu ini.
“Iya,
tapi bulu kucing itu bahaya lo!” ujarnya sambil nyengir jijik ketika kuusap
lembut Kimie.
“Aku
merawat mereka dengan baik, kok! Jadi, jangan khawatir dengan virus kucing,”
aku tak mau kalah. Mulai lagi gelagat cowok yang akan mempermasalahkan kecintaanku
pada binatang ini. Aku tahu ujungnya akan seperti apa. Well, sesuai dugaan akhirnya kami pun putus. Huffthh....
Setelah
kerja, mulai hidup mandiri dengan menempati rumah kontrakan yang disewa dengan
uang hasil keringatku. Karena terlalu sepi akhirnya aku mengambil anak-anak
itu, kini rumah lebih ramai dengan suara mereka. Tapi, ternyata mencintai
sesuatu itu tak mudah. Aku selalu mendapat kesulitan dalam mencari pasangan,
bukan karena tidak cantik, tidak pintar atau nyaman untuk berbagi cerita. Bukan
karena itu! Karena kebanyakan dari mereka tidak menyukai kucing bahkan ada yang
alergi.
“Aku
tidak suka kucing!” ucapnya tegas dan lugas tanpa mau melihat mataku yang mulai
berkaca-kaca.
“Tapi,
bukan berarti kamu tidak menyukaiku kan, Ron?” tanyaku sambil menggamit
lengannya manja. Perlahan ia beringsut dari sampingku dan melepaskan pegangan.
“Sudah
kukatakan, aku tidak suka kucing! Jika mereka masih berkeliaran di rumah ini,
aku tak kan pernah menginjakkan kaki ke rumah ini lagi!” serunya untuk terakhir
kali, aku hanya bisa menganga. Ia pergi dan tak pernah kembali karena seberapa
pun besarnya cinta ini, tetap tidak bisa meninggalkan mereka, keluarga keduaku.
Kupandangi
satu persatu sinar mata tajam dari anak-anak, memelas dengan iba dan penuh
kasih. Mereka tak bicara tapi mata mereka penuh ungkapan kata-kata. Meskipun
mereka berasal dari jalanan, tapi aku tak berniat mengembalikan mereka ke
jalanan. Hingga akhirnya memilih putus. Tak mendapatkan Roni pun tak apa karena
masih ada cinta yang lain. Semoga Tuhan memberikan cinta dengan cara yang
indah.
“Dicari seorang pasangan yang bisa menerimaku apa adanya
juga keluargaku termasuk kucing-kucingku!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar