Bapak berkata, “Aku mencintai hujan karena ia mampu menggantikan gersang.”
Tapi aku bilang, “Aku benci hujan karena ia merenggut
sinar kebahagiaan.”
Di sudut gelap aku terbangun, menatap tetesan embun yang membasahi dinding kaca jendela kamar, sisa hujan tadi malam. Ada rasa damai yang kurasa meski kegamangan mulai menggeliat di hati. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang penuh kehangatan, kini yang tersisa hanya rasa hambar dan dingin menyelimuti dinding hati. Aku kesepian, takada teman berbagi untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan ini. Atau seseorang yang akan membangunkan untuk sahur. Kugapai segelas air di atas meja, kureguk untuk memenuhi rongga dada karena aku yakin hari ini takada lauk untuk sahur. Kuambil air wudhu, lalu mulai melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menunggu waktu adzan subuh. Aku rindu Ibu dan Bapak... air mata menetes di pipi, rasa sesak menyerang dada. Rindu ini sungguh menyiksa, aku rindu masakan Ibu, rindu omelannya saat membangunkanku. Itu dulu setahun lalu... saat aku mulai berteriak padanya,
“Berisiiikkk!”
Ia
terdiam melihatku mulai berontak, ia tahu aku malas jika disuruh. Terkadang
bukan tak mendengar panggilannya, tapi kulakukan dengan sengaja pura-pura tak
mendengarnya. Aku tahu aku telah
menyakiti hatinya, tapi tak peduli seolah tak terjadi apapun atau mungkin
tepatnya aku merasa tak berdosa. Setelah itu teriakan yang sama terjadi lagi,
lagi dan lagi... terkadang aku mengeluarkan kata yang lebih pedas dari itu.
“Goblok!
Aku gak suka tempe! Tapi kamu malah sengaja masak makanan yang aku nggak suka!”
“Goblok!”
entah berapa puluh kali kata itu kulontarkan padanya dan aku memanggilnya,“kamu...” untuk nama seorang Ibu. Ia
menangis, aku melempar piring tepat di hadapannya, pecahan piring itu mengenai
kakinya, dia meringis dan aku masih tidak peduli. Di ujung bibirku masih
tersungging senyum kemenangan.
Malam
itu aku nggak bisa tidur, suara batuk wanita tua itu terus mengganggu. Aku jenuh,
bangun dari ranjang, kubuka kasar pintu kamarnya.
“Bisakah
kau tahan batukmu sampai besok pagi? Aku gak bisa tidur gara-gara kamu!”
teriakku.
“Maaf...,”
ia menjawab lirih. Aku keluar dan membanting pintu kamarnya, entah bagaimana
cara dia menyumpal mulutnya hingga suara batuk itu taksampai ke telinga. Aku pun
tidur nyenyak...
~o~
Aku
berhenti sekolah, padahal ibu bekerja keras untuk membiayaiku, mulai dari
berdagang gorengan hingga jadi babu di tetangga. Ia sisihkan setiap hasil
keringatnya. Aku ingat saat itu, Ibu menunggu di depan pagar, ditangannya ia
memegang payung, wajah tua yang tampak lelah dan khawatir. Namun, saat
melihatku ia tersenyum lalu menyambutku, tapi aku tepiskan tangannya hingga
payung terjatuh dan kubiarkan ia kehujanan. Entah berapa lama ia tergugu di
sana....
Dan
aku masih menganggapnya tak peduli karena tak mampu membelikan PS. Saat SMP,
aku mulai minta BB dan kini menginjak SMA merengek minta dibelikan motor, tanpa
motor aku takkan sekolah. Akhirnya aku benar-benar memberandal, jadi anak
jalanan, ikut ngamen sana-sini, sampai saat itu tiba.....
Di
lampu merah itu kejadiannya sangat cepat yang aku ingat seorang pengendara sepeda
motor ugal-ugalan dan ia menabrakku. Aku jatuh, tersungkur dan tak ingat
apapun. Saat aku membuka mata, wanita tua itu sedang bersimpuh, menangis,
menengadahkan tangan dan berdoa untukku.
~o~
Bulan
Ramadhan bulan seribu bulan, tapi tidak tampak cahaya bulan, hari terus
dipenuhi buliran air dari langit, hanya ada gelap dan lembap...
“Ibu!
Mana makan malamku?” teriakku, tapi takada jawaban. Seperti biasa aku kehabisan
kesabaran, mulai berang. Kugedor pintu kamarnya, tapi masih belum ada jawaban,
akhirnya aku mendobrak kamar yang mulai lapuk itu tak perlu tenaga ekstra,
pintu pun terbuka lebar. Wanita tua itu tertidur di atas sajadah, masih
mengenakan mukena. Ia meringkuk mungkin karena kelelahan setelah seharian
kehujanan, berkeliling menjajakan gorengan dan masih saja gorengan itu bersisa
banyak. Kugoyang-goyangkan tubuhnya, tapi ia bergeming, kubalikkan badannya,
wajah pucat, dingin tapi bercahaya, di tangannya ia memegang foto. Iya, itu
fotoku selagi masih kanak bersama bapak. Saat itu Bapak cerita, ia suka dengan
hujan karena hujan mampu menggantikan gersang..., tapi aku tak pernah mengerti
kata-katanya.
Ibu
wanita yang sabar, banyak doa terucap untukku, tapi mengapa Tuhan tak
mengabulkan doanya? Dia selalu berdoa agar aku menjadi anak yang baik, nyatanya
sampai saat ini aku tak berubah sedikit pun malah semakin menjadi. Suara guntur
menjawab pertanyaan yang takbisa kuartikan. Ibu tak bergerak, tak bernapas, aku
terperenyak, takut kehilangan dia, seperti Bapak yang meninggalkanku dulu...
Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laailahaillallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar
walillahilhamdu....
Gema
takbir bersahutan, ini hari kemenangan kah? Kemenangan untuk ibu yang telah terlepas
dari jeratanku! Ia damai,bahagia, dan aku duduk bergetar....
“Maafkan
aku Ibu”
***
Kini,
aku mengerti filosofi hujan, hidupku kini telah gersang, aku mengharapkan
kemenanganku malam ini juga Tuhan. Lepaskan aku dari belenggu setan dan napsu
duniawi. Di bulan suci penuh ampunan terimalah hamba di sisi-Mu. Hujan mengguyur
bumi, lagi-lagi suara alam yang membalasnya, aku terlelap, masih mendekap Al-Quran
di dada. Di ujung jalan itu, kulihat sebuah cahaya, di sana Ibu dan Bapak
menunggu dengan bibir membentuk bulan sabit...
***
THE
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar