“Ayo! siap untuk hari
ini?” tanyanya padaku, dengan mantap aku siap menemani.
Ia menggamitku, sungguh
nyaman bersamanya dan tak ada yang salah dengan hubungan kami.
Kekurangan yang ada
pada dirinya membuat ia terbatas dalam gerak. Indonesia? Perusahaan mana yang
bisa menerima orang cacat? Jika mereka masih bisa berkoar tentang moral,
pendidikan dan perekonomian maka berikan kesempatan bagi penyandang cacat
mendapatkan pekerjaan yang layak.
Batas usia 25 tahun bagi
yang normal saja nggak masuk akal! mereka masih produktif. Lalu, di mana mereka
bisa mencari nafkah dengan cara halal tanpa mengharap belas kasih? Semua butuh
modal, butuh keahlian. Nyatanya di negara ini orang lebih ahli berkomentar.
Ah, sudahlah... pagi
itu, kami berdua berangkat untuk mengais rezeki, mencari sesuap nasi.
“Sayang anak... sayang
anak! Ayo, Bu beli buat oleh-oleh anak di rumah,” ucapanya.
“Berapa, Mang?” tanya
ibu muda sambil berjongkok memilih mainan anak.
“Cuma lima ribu aja,
Bu.”
“ Jangan segitu, Mang!
Dua ribu, ya!?” tawarnya.
“Yah, Bu modalnya saja
nggak segitu,” jawabnya lagi.
“Ah, sudahlah nggak
jadi!” ibu itu pergi. Ia mengusap dada. Rezeki akan datang tekadnya.
“Astagfirullah!” ia
bergumam, matanya tertuju pemandangan di depan.
Satpol PP dan petugas keamanan
melakukan razia pedagang kaki lima di emperan jalan. Aku ingin memapahnya, aku
ingin membantunya berlari kencang, namun sulit baginya berjalan apalagi
berlari.
“Ayo! Lari jangan
menyerah!” teriakku lebih keras di telinganya.
Ia mempercepat langkah,
namun terkantuk batu. “Arrgghh...,” aku meringis, ia pun mengaduh. Kami berdua jatuh.
Seorang petugas menghampiri kami. Tak kuasa menolak tanpa daya upaya, kami
digiring.
***
Setelah interogasi yang
panjang, kulihat ia duduk termenung. Di tangannya menghitung receh hasil jerih
payah hari ini. Bukan menghitung laba, tapi modal yang belum kembali. Peluh
mengucur, aku tetap membisu. Ia diam dalam luka. Mengingat anak, istri dan si
bungsu yang masih dalam kandungan.
“Huffthh...,” ia
menghela napas berat.
“Bapak ngelamun, ya?”
tanya Dian Ambarwati seperti yang tertera jelas di seragam bagian kanannya.
“Barang dagangan saya
gimana ya, Bu? Hancur semua...,” ujarnya dengan nada sedih.
“Maaf ya Pak, padahal kalau
Bapak tidak lari, tadi masih bisa meminta membereskan barang dagangannya. Razia
ini memang untuk merapikan tatanan kota, makanya kami butuh dukungan dari semua
pihak karena rencana Gubernur Bandung akan memberikan modal dan tempat bagi
pedagang kaki lima. Tadi, Bapak sudah mengisi formulir, kan? Insya Allah semua
yang sudah terdata akan segera mendapat bantuan dalam waktu satu minggu ini.
Jadi, Bapak jangan putus asa!”
“Tapi sebelum seminggu
saya dan keluarga makan apa, Bu?” tanyanya dengan kerut menggurat dahi.
Ia berpikir sejenak, “baiklah,
Bapak bisa bersih-bersih di tempat ini, ya!? Nanti saya dan teman-teman akan
membantu sebisa kami.”
“Alhamdulillah...,”
kami berdua mengucap syukur.
Dua kakiku bersandar
lelah, setia menemani langkahnya, tanpa mata, tanpa telinga, hati yang bungkam
tak ada yang peduli. Semua berbeda dengannya memiliki segala yang tak aku
punya, namun kami bisa seiring sejalan. Ia membutuhkan aku, dan hadirku takkan
berarti tanpa orang seperti dia.
Sungguh aku iri, tapi
ini takdir dan aku terima menjadi penopang hidupnya. Tidak sia-sia keberadaanku
di sini, meski wujudku hanya tongkat penyangga tubuh.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar