November,
2010
Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin kukenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tenteram bersamamu...
Lagu
“Kemesraan” dari Iwan Fals di TeAmo Cafe mengiringi malam perpisahan kami saat
itu. Deni, Risma, Ilham dan aku. Persahabatan yang takkan lekang oleh waktu.
Masa SMA itu adalah masa yang indah dan takkan pernah terlupakan. Setiap moment menjadi kenangan yang sangat berarti
bagi kami berempat tentunya. Entah bagaimana persahabatan ini bisa terjadi?
mungkin karena takdir menyatukan kami di kelas ini. Deni, cowok kalem,
bijaksana dan tentu saja pintar, bukan hanya soal akademis, tapi juga pintar
menarik simpati orang lain. Nggak heran dengan mudah ia menyabet jabatan ketua
OSIS saat kelas 2 SMA waktu itu. Tapi bukan berarti dia cowok sempurna, tiap
orang memiliki kekurangan begitu pun dia. Jika aku tak mengenalnya lebih dekat,
aku pasti bilang dia arogan, sok jaga gengsi, sok disiplin, sok tegas, sok
ketua OSIS.
Lain
lagi dengan Risma, cantik, pintar, pandai menyanyi, ramah dan sepintas jika
kalian melihatnya maka kalian akan melihat sosok artis Marcella Zalianti di
dirinya. Menurutku dia nyaris sempurna, hanya sedikit manja bukanlah hal yang
terlalu besar untuk menguliti kekurangannya. Satu lagi sahabatku Ilham, dia
tipe cowok slengean, urakan, tapi perhatian.
Dan
aku, entah apa yang orang lain pikirkan tentangku, tapi katanya aku tomboy,
cerewet, dan ah, sudahlah rasanya enggak ada hal positif dari diriku.
Malam
ini, kami sengaja berkumpul untuk membicarakan soal liburan akhir tahun yang
pernah menjadi topik pembicaraan kami saat kelulusan. Iya, perjanjian untuk
pergi ke pantai bersama waktu itu, kuharap bukanlah sekedar wacana. Mumpung
kami masih bisa berkumpul, karena setelah ini tugas kuliah akan memenuhi jadwal
kami.
“Jadi,
kapan tepatnya kita berangkat?” tanya Ilham memulai topik pembicaraan kami.
“Aku
sih pengin akhir tahun, jadi malam tahun baruan di sana.” jawabku penuh
antusias.
“Aku
jugaaaa...” timpal Risma masih dengan nada manja.
Kami
bertiga mengalihkan pandangan ke arah Deni yang masih belum memberikan respon
apapun. Dia tampak terkejut melihat kami yang berbarengan menatap ke arahnya.
Ia membenahi posisi duduknya yang tampak kurang nyaman saat itu. Tak lama ia
berdeham,
“Hmm...
kalau itu sudah menjadi keputusan kalian aku ikut saja!” jawabnya dengan senyum
manis yang memulas bibirnya. Ah, senyum itu sungguh selalu tampak indah bagiku.
Lupakan!
Setelah
pembicaraan itu, kami pulang. Seperti biasa, Risma dijemput supirnya, dan aku
memilih nebeng ke mobil Risma daripada harus merepotkan dua cowok yang mulai
rebutan jadi pahlawan itu buat mengantarku. Di dalam mobil aku dan Risma masih
terus bercerita, seolah tak pernah kehabisan topik untuk bahan pembicaraan
kami.
“Anak-anak
itu lucu, ya? Masih saja kelakuannya kayak anak SMA padahal sekarang kita anak
kuliahan,” terangnya dan aku mengangguk setuju.
“Siapa
yang kamu suka di antara keduanya?” tanya Risma tiba-tiba.
Tak
pernah terbayang olehku dia akan menanyakan hal itu, secara dalam persahabatan
semua harus memiliki porsi yang sama, tak ada satu pun yang harus lebih
istimewa. Risma tersenyum, lagi-lagi ia berkata semuanya adalah hal yang wajar
dan biasa. Walau bagaimanapun kami adalah manusia biasa yang punya hak untuk jatuh
cinta pada siapapun termasuk sahabat. Apalagi melihat kedua sahabatku itu
memiliki karakter yang berbeda, tak mungkin dari semua kelakuannya tak ada yang
tak kusukai.
“Aku
suka sama Deni,” tiba-tiba Risma membuka mulutnya. Aku hanya mengangguk, pesona
Deni memang sungguh luar biasa.“Kalau
kamu?” tanyanya masih belum puas.“Entahlah, kadang mereka berdua menyenangkan, tapi kadang mereka begitu menyebalkan!” jawabku.
“Tapi, kamu enggak suka Deni, kan? Ehhmm... maksudku ‘suka’?” Risma mengangkat kedua tangannya di atas kepalanya membentuk tanda kutip.
“Maksudnya?” aku masih belum mengerti dengan arah pembicaraan Risma waktu itu.
“Hempth... aku mau jujur sama kamu, aku menyukai Deni lebih dari sahabat. Dan kamu hanya menganggapnya sahabat biasa, kan?” tanyanya lagi. Ah, Risma jika kulihat, dia memang sangat serasi dengan Deni. Deni yang kalem, Risma yang anggun meski sedikit manja keduanya merupakan kolaborasi yang sempurna. Dan aku? Get real Nad!
“Oh ya, sejak kapan? Ah, kenapa kamu enggak bilang dari dulu? Aku tentu saja menganggap kalian semua sahabat dan takkan berubah sampai kapanpun,” jawabku dengan senyum yang kubuat paling lebar saat itu, berusaha antusias dengan kisah cinta Risma. Sekarang aku harus mengubur dalam rasa kagumku pada Deni karena aku takut rasa itu berubah menjadi sesuatu yang tak seharusnya.
Malam
itu jam menunjukan pukul 22.30 wib. Aku masih terjaga dan mengingat semua
pembicaraanku dengan Risma tadi. Tak lama aku menerima pesan singkat dari
Ilham.
·
Wooyy... dah nyampe blm?
·
Udah (balasku tak
kalah singkat)
·
Risma gimana?
·
Yee.. meneketehe, dia kan yang nganterin gue! Tapi
harusnya sih udah nyampe. Sms gih!
·
Nggak di bls L
·
Hmm.. belom di buka kali
·
Iya, bikin orang khawatir ajah!
·
Ciiee,, sejak kapan lu khawatir sama orang?
·
Hey,, gue kan sahabat yang baik haha...
·
Sahabat apa sahabat?(aku mulai menggodanya)
·
Hmmm.. gue boleh mengatakan pengakuan sama lu?
·
Apa? Lu punya dosa sama gue?!
·
Haha,, ya nggak lah. Gue cuma mau bilang kalau gue..
jatuh cinta.
·
What??? Sama siapa lu? Kok nggak bilang dari tadi
sih? (ah, hari ini ternyata banyak orang yang lagi jatuh cinta)
·
Risma
Jawaban
sms dari Ilham yang cukup singkat dan membuat aku tertegun untuk beberapa saat.
Baru saja Risma bilang kalau dia suka sama Deni. Seharusnya tak ada hubungan
seperti ini dalam persahabatan. Jika seperti ini, maka persahabatan pun akan
hancur berantakan. Dan aku memilih tidak membalas sms dari Ilham, pura-pura
tertidur adalah hal yang terbaik kayaknya.
***
27
Desember 2010
Teriakan
yang nyaring dari kami berempat memecah deburan ombak yang menghantam karang.
Pantai Ujung Genteng yang indah, kaki kecil kami yang telanjang meninggalkan
jejak di atas pasir putih sepanjang bibir pantai. Sudah lama tak menghirup
udara bebas, apalagi di sini semuanya masih alami. Kerang yang berjalan di
samping kaki kiri kami mencoba mengajak adu lari. Kulihat bintang laut yang
mengingatkanku pada sosok Patrick sahabat Spongebob.
Malam
itu, di bawah cahaya api unggun kami berempat membentuk lingkaran. Bercerita
tentang cita, dan juga cinta... pita suaraku merasa tersekat. Jantungku
berdebar keras, kumohon jangan bahas tentang cinta di sini! Tapi, tak ada yang
mendengar jeritan hatiku. Di malam pengakuan itu, semua rahasia tentang cinta
terbongkar Risma, Ilham dan Deni. Perpisahan yang diakhiri dengan kata kecewa
dan air mata, dan aku hanya bisa memilih bungkam seribu bahasa hingga kini.
***
Bandung,
April 2014
Reunian yuk? Kebetulan hari ini aku lagi di Bandung.
Kangen gue sama kalian..
-Ilham-
Kuterima
sms dari no.baru. Ah rupanya Ilham, dua tahun lalu ia memutuskan pindah ke
Jogja dan kuliah di sana. Kupikir melepas ITB adalah hal yang sangat
menyayangkan. Tapi, dia bilang dia harus berubah, di sini dia nggak bisa move on. Sejak reunian kami terakhir di
pantai itu. Kami semua kehilangan komunikasi, semua telah mengubah persahabatan
kami.
Ok! Aku tunggu di cafe biasa.
“Hai!”
sapaku pada Ilham dan juga ciuman pipi kiri kanan yang kudaratkan di pipi
Risma. Aku memeluknya erat, sudah lama meski kami tinggal satu kota tapi kami
nyaris enggak pernah ketemu. Mungkin ini adalah pertemuan ketiga setelah 2
tahun lalu.
“Jadi
yang belum datang Deni, ya?” tanya Ilham, aku menyapukan mataku kesekitar
ternyata memang dia belum datang. Eh, ralat! Panjang umur tuh anak, dia baru
saja melangkah masuk ke dalam TeAmo Cafe.
Sudah lama, dan senyumnya masih nampak luar biasa.
Pembicaraan
dimulai seperti biasa, mulai dari pertanyaan dasar apa kabar, bagaimana kuliah,
terus rencana kerja setelah kuliah dan bla
bla bla...
“Gue
mau nikah akhir tahun ini!” tiba-tiba Risma membungkam kegaduhan. Semua mata
tertuju padanya, terutama aku. Dengan siapa dia akan menikah? Deni atau Ilham?
Mengingat 2 tahun lalu, saat ia tersedu-sedu mengakui cintanya pada Deni dalam
cahaya api unggun yang temaram, dan permintaan maafnya sama Ilham.
“Dia
cuma pegawai biasa, tapi dia baik, dewasa, dia tahu banget sama karakterku yang
manja, jadi dia bisa mengayomi aku. Akhir bulan lalu, ia dan keluarganya telah
resmi meminangku,” terang Risma dengan menunjukan cincin yang melingkar di jari
manisnya.
“Wah!
selamat ya!” Ilham orang pertama yang menyelamatinya. Diikuti oleh Deni, dan
aku masih melongo kayak orang bego. Setelah disikut oleh Ilham baru aku
tersadar, aku memeluk Risma sembari mengucapkan selamat padanya. Surprise yang luar biasa setelah lama
tak jumpa.
“Terima
kasih semua...,” jawabnya dengan semburat rona di pipinya.
“Terus
kalian bagaimana? Sudah bisa move on
dari kejadian 2 tahun lalu, kan?” tanyanya membuat darahku mendesir.“Hahaha...
gue sih pastinya! Cewek Jogja banyak yang cantik!” seru Ilham.
Akhirnya
keduanya memandang kami, pandangan yang ingin kuhindari.
“Kalian?
Seingatku kamu nggak mengatakan apapun malam itu, malam kejujuran itu kita tak
mendengar satu patah kata pun darimu!” Risma akhir ini kelihatannya sedikit
cerewet, sedangkan dulu aku yang terkenal cerewet kini lebih pendiam. Dan satu
hal aku nggak setomboy dulu. Minimal aku tahu cara pakai dress dan higheels.
Deni
memandang ke arahku, aku sembunyi dari tatapan teman-temanku. Sebenarnya aku
menyukai Deni sejak dulu, tapi biarlah ini menjadi rahasia aku. Mungkin saja
sekarang Deni pun sudah move on
seperti yang lain. Meski rasaku tak berkurang sedikit pun padanya.
“Aku
masih mencintaimu Nadya!” tiba-tiba kudengar pengakuan Deni yang membuat
jantungku berdegup lebih kencang. Semua orang memandang, aku tersenyum, tapi
tetap saja memilih bungkam seperti waktu itu. Biarlah waktu yang bicara...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar