“Jangan
mengasihaniku!” seruku yang entah mengapa hari itu aku begitu sensitif.
Padahal,
aku tahu tak ada sedikit pun niat Dirga menyakiti. Tubuhku terlalu lemah, meski
Dirga memberi pundaknya untuk bersandar, namun aku takut akan terus bergantung
padanya.
“Apakah
kau berteman denganku karena kasihan?” tanya Dirga membalikkan semua
pernyataanku. “Entah bagaimana cara meyakinkan kamu!? Bukan karena kasihan atau
simpati, tapi ini tentang cinta... hanya hati yang bisa menjelaskan semua
ketidak logisan ini. Jika menurutmu aku tak layak di sampingmu, maka aku akan
pergi.” Jawab Dirga cukup menyesakkan dada.
“Apa
karena aku tak bisa berjalan normal, lantas kamu tidak ingin berteman
denganku?” tanyanya lagi sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya yang
pertama.
Satu-satunya
kekurangan dia adalah tak bisa berjalan dengan sempurna. Cuma tidak bisa
berjalan normal, bukan karena ia tak memiliki hati. Hatinya luar biasa luas, ia
tak pernah mau menyerah pada keadaan. Selalu tersenyum dalam menghadapi setiap
ujian bahkan cemoohan.
Matahari
Dirga, tak ada yang membuatku merasa seberuntung ini bisa mengenalnya. Tak mudah
mengenal sosok luar biasa, motivator yang mampu menginspirasi banyak orang
terutama penyandang cacat. Yang istimewa darinya, ia adalah motivator yang
sama-sama memiliki kekurangan dengan mereka yang diberi motivasi. Sebelah
kakinya diamputasi sejak usia 7 tahun karena kecelakaan. Apalagi yang membuatku
tak bisa mengaguminya? Bukan karena dia yang nggak layak, tapi karena aku.
Satu
hal yang kutakutkan ‘aku takut jatuh cinta pada Matahari Dirga’.
***
“Sunset
yang indah,” gumam Dirga.
Sang
surya kian tenggelam di balik bukit tempat kami biasa bertemu. Bukan terang,
namun warna sendu dengan lembayung jingga, perlahan rembang petang mulai
menepi. Aku masih termangu di sudut mimpi, tentang cerita Dirga dan warna yang
bermain indah menghiasi cakrawala. Tak banyak kata terucap, airmata tak sanggup
kubendung, terlalu cepat menggelinding lancar dari kedua bola mataku.
“Jangan
menangis! Sunset itu bukan berarti sunset terakhir yang akan kita nikmati
bersama,” ucap Dirga seraya menggenggam tanganku erat. Meski aku tahu ia tak
bisa menjanjikan kapan bisa menikmati lagi kebersamaan ini.
Seperti
halnya matahari tak lelah berbagi, tetap setia memberi sinar kehidupan, meski
tak jarang orang berkeluh kesah karenanya, dikasih hujan salah, dikasih panas
pun masih salah. Ya, begitulah manusia yang tak pernah puas akan satu
kenikmatan. Coba bayangkan, bagaimana jadinya jika satu saja kenikmatan itu
dicabut!?
Aku
bahkan tak ingin membayangkannya saat ini karena aku cukup berkaca diri, satu
kenikmatan yang dimiliki orang pada umumnya tidak aku miliki.
Dirga,
matahari yang mengajariku bertahan meski gelap menggantikan. Aku tak pernah
tahu terang itu seperti apa? Mau fajar atau senja bagiku sama saja.
“Aku
ingin melihat cahaya matahari dari matamu, Dirga!” kurasakan hangatnya tautan
jemari Dirga, tanpa perlu berucap aku yakin ia akan mampu menunjukkan dunia
lewat matanya.
Besok...
ah, terlalu lama, tak sabar menunggu matahari terbit....
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar