Oleh : Nanae Zha
Kira-kira sepuluh jam
yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Kubaca pesan singkatnya berulang-ulang, entah
dari siapa. Semilir angin malam menyelusup diam-diam ke balik mantel berbulu.
Aku masih menyendiri tanpa tahu rahasia apa yang tengah disembunyikan alam.
Pikiran masih bergelut, dengan nomor asing di balik layar ponselku. Mungkinkah
ini dari dia.
>Di mana kamu sembunyikan Nazwa?!
Aku shock membaca pesan singkat dengan nada
setengah mengancam. Ah, Nazwa ada apa
dengannya?
>Des, aku ingin bertemu
denganmu! Ada yang enggak beres dengan Nazwa.
>Apa kamu dapat SMS aneh? Aku
juga!
Sepakat
malam itu juga kami bertemu, membahas kemungkinan apa yang terjadi. Kembali
bayangan satu tahun lalu saat terakhir bertemu, kami berbicara panjang lebar. Sorot
mata yang sulit kuartikan, entah bahagia, kecewa atau duka yang ia pendam. Yang
pasti ada ragu tersirat di sana.
“Key,
aku akan segera menikah. Om Ardhi telah melamarku kemarin. Hari H telah di tetapkan,
mohon doanya supaya semua berjalan lancar,” ucap Nazwa siang itu membuatku
kaget. Bukan karena acara pernikahannya yang terbilang mendadak, tapi keberanian
Nazwa mengambil keputusan.
“Apa?
Jangan gila, Naz! Dia itu sudah menikah!” Desi berteriak tanpa bisa
mengendalikan emosi.
Aku
menghela napas. Menatap mata sahabatku lekat. Tanpa bermaksud memvonis
keputusannya, hanya ingin melihat kesungguhan pemilik mata sayu itu. Nazwa tak
berkata apapun, ia menangis di bahuku. Tak tahu apa yang harus kukatakan, kami
terdiam untuk beberapa lama.
“Aku
tak menyalahkan keputusanmu, hanya saja sanggupkah kamu menghadapi kehidupan di
masa depan?” tanyaku akhirnya memecah keheningan.
“Entahlah
... karena yang kurasakan saat ini bukan cinta, tapi aku menghormatinya lebih
dari apapun. Aku malu jika menolaknya.” Itu terakhir yang ia katakan.
“Tapi,
Naz. Itu bukan keputusan bijak, bagaimana dengan istri pertamanya?”
Lagi-lagi
Desi berbicara terlalu jujur. Di antara kami bertiga Desi cukup blak-blakan mengeluarkan pendapat.
Meskipun apa yang dia ucapkan benar, tapi tak semestinya ia bersikap antipati
begitu.
Aku
tahu bagaimana usaha kedua orang tua Nazwa mencarikan jodoh. Padahal ia baik,
sopan, ramah, dan cantik. Tak ada pria yang
tak terpesona padanya. Tapi, kenapa yang dipilih justru Ardhi? Pria setengah
baya yang lebih pantas jadi ayahnya.
Nazwa
bukan cewek matre, tapi ia lahir di kalangan keluarga dengan masalah ekonomi.
Ditambah dengan jumlah adik yang banyak. Nazwa anak tertua, sedangkan ayahnya
hanya seorang pekerja biasa yang tidak memiliki penghasilan tetap. Ibunya hanya
mampu membantu dengan berjualan gorengan. Ardhi telah banyak membantu
keluarganya.
Begitulah
awalnya, aku tak bisa menyalahkan siapapun, jika takdir harus tertulis seperti
itu. Jangankan aku yang sekedar sahabatnya,
orang tuanya pun kehabisan pikir bagaimana cara menyelesaikan keadaan yang
begitu rumit. Tak ada maksud dari orang tua yang ingin menjerumuskan anak,
membiarkan mengalami rumah tangga seperti itu. Bagaimana dengan istri
pertamanya? Atau gunjingan tetangga yang tak ada habisnya.
“Bagaimana
dengan dirimu sendiri, Naz?” tanya ayahnya sebelum acara lamaran itu.
Nazwa
menatap mata ayahnya, lalu ibunya yang
tampak sendu, adik-adiknya yang mengintip mereka dari balik pintu. Nazwa
tertunduk lagi, bingung entah apa yang harus dia jawab.
“Apapun
keputusan Ayah, akan Naz terima,” jawabnya lirih. Ayahnya menghela napas
panjang, ia pun tak ingin salah menjadi ayah yang bijak.
“Apa
kamu mencintai Ardi?” tanyanya lagi.
Tak
bisa dipungkiri memang selama ini ia mencoba menganggap Ardhi seperti ayah
angkatnya. Tapi segala kebaikan Ardhi, perhatiaan, kasih sayang bukan hanya
padanya, tapi juga kepada keluarga telah meluluhkan hati dan keegoannya. Ia
bersedia menerima Ardhi meski statusnya akan menyulitkan.
Nazwa
mungkin tak bisa memberi apapun untuk membalas budi, mungkin dengan menikah ia
bisa membahagiakan keluarga.
Selang
seminggu setelah Nazwa bercerita, akhirnya mereka menikah. Mungkin istilah
sekarang adalah nikah siri. Aku tak tahu
apa mereka tercatat di KUA atau tidak. Karena Ardhi menikah tanpa izin dari istri
pertamanya apalagi ia seorang PNS.
“Apa
yang akan kita lakukan?” Desi membuka pembicaraan malam itu.
“Aku
tidak tahu, masalahnya kita belum dapat kabar apapun dari Nazwa. Jika lapor ke
polisi akan tambah rumit. Jika kita ceritakan ke keluarganya akan menambah
beban mereka.”
“Kamu
benar, satu-satunya yang harus kita lakukan menunggu Nazwa menghubungi kita.”
Aku mengangguk setuju, membaca SMS dari orang asing tersebut jelas Nazwa dalam
masalah besar.
“Menurutmu
siapa yang mengirim SMS ini?”
“Entahlah,
darimana dia tahu nomor kita? Berarti dia pun tahu sedekat apa hubungan kita
dengan Nazwa.”
“Apa
mungkin Ardhi? Atau istri pertamanya?”
Tok ... tok ... tok ...
Terdengar suara pintu
diketuk. Aku dan Desi saling menatap. Lama kami berpikir, pada jam segini siapa
yang bertamu. Namun, penasaran mengalahkan rasa takut. Kubuka pintu perlahan.
“Nazwa?!”
Ia datang di saat yang tepat, tapi di dahinya ada segaris luka yang mulai
mengering. Dagunya tampak lebam. Ia tersenyum di ambang pintu, tapi senyum
penuh luka. Kami menghampirinya, berusaha bersikap wajar.
“Naz,
lama tidak bertemu. Apa kabarmu?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatian pada
kondisi fisiknya. Nazwa akan bercerita dengan sendirinya kalau dia ingin
menceritakan masalahnya. Kami bertiga berpelukan dalam haru. Masa begitu cepat
berlalu, kebersamaan ini akan sulit kami dapatkan lagi.
“Apa
yang terjadi? Ini luka apa?” tanya Desi.
“Aku
baik-baik aja, kok.”
“Jangan
bohong, Naz. Pasti ada yang enggak beres. Bagaimana dengan suamimu?”
“Des,
aku baik-baik aja, percaya deh,” ujarnya enggak mau kalah.
“Naz,
kalau semua baik-baik saja, enggak mungkin kamu datang ke sini tengah malam
seperti ini,” ucapku mulai menyelidik. “Lagipula, kami mendapat SMS tentang
kamu.”
“Apa?!”
Nazwa tampak kaget.
Akhirnya
kami memperlihatkan SMS dari nomor asing tadi siang. Nazwa mulai menangis, ia
menceritakan segalanya. Ternyata Ardhi
tidak sebaik dugaan sebelumnya. Mungkin dia pria yang terlihat dewasa dan
bijak, tapi nyatanya ia lebih dari seorang phsyco.
“Apakah
kamu akan tetap bertahan dengan suami yang seperti itu?! Kita ke rumah sakit,
ini harus divisum agar bisa mengajukan semua ini ke HAM!” ujar Desi dengan
menggebu-gebu.
“Dari
istri simpanan?” tanya Nazwa mengejutkanku. “Apa hak seorang isteri simpanan?”
tanyanya lagi.
“Naz,
ini bukan soal istri simpanan, tapi ini tentang kemanusiaan dan kamu berhak
hidup bahagia karenanya! Suami kamu phsyco!”
geram Desi.
“Enggak
Des, ini bukan soal kebahagiaanku saja, tapi ini tentang keluarga dan masa
depan adik-adikku. Semoga Tuhan lebih tahu apa yang terbaik dan menguatkan
dalam cobaan ini,” terangnya dengan mata masih berkaca-kaca. “Terima kasih,
tapi ini pilihanku. Asal ada kalian yang selalu mendukung dan mendoakan, aku
pasti baik-baik saja.”
“Kalau
mau nangis, sini! Meski pundakku tak cukup lebar, tapi aku akan membagi bahuku
untukmu,” ucapku meraih tangannya yang mulai menghangat.
Masa-masa
seperti ini telah kami lupakan dalam jarak beberapa tahun. Tak ingin melihatnya
berduka. Aku dan Desi sepakat menyelesaikan masalah ini, karena walau
bagaimanapun susah senang selalu kami tanggung bersama. Meski tanpa pertalian
darah, tapi kontak batin dengan sahabat itu ada.
“Keluar
kalian! Aku tahu kalian menyembunyikan Nazwa. Buka pintunya!” teriakkan itu
mengejutkan kami.
Nazwa
berdiri ketakutan. Kami sempat gentar. Tak terbayang bagaimana Nazwa menjalani
hari selama setahun dengan perasaan was-was setiap saat. Aku merangkulnya. Desi
dengan sigap, mengambil tongkat kasti dari atas lemari.
Ia
pun segera menelepon kakaknya yang notabene seorang polisi. Pintu itu terkuak,
tak mampu menahannya lebih lama. Ardhi dengan beringas menarik tangan Nazwa.
Aku mencoba menghalanginya, tamparan mendarat di pipiku. Desi memukulkan
tongkat kasti tepat ke atas ubun-ubunnya. Ia menjerit, tapi tak lama kembali
menyerang.
Kami
bertiga berjibaku melawan sekuat tenaga. Membela kehormatan dan harga diri
wanita. Istri selalu dianggap mulia, bukan untuk dipermainkan dan disiksa.
Emosi Ardhi diluar kendali, ia melempar apapun yang ada di dekatnya. Meja tamu
yang terbuat dari kaca itu dibanting ke arah kami. Pecahan kacanya tepat
mengena pelipis mataku. Darah mengucur deras.
“Hentikan,
Mas. Hentikan! Kamu sudah gila!” teriak Nazwa.
“Kamu
tahu, aku gila karena kamu!”
“Kumohon
hentikan semua ini.” Nazwa memelas, melihat darah di seputar dahiku terus
mengucur. Mataku kunang-kunang ada rasa perih.
“Kalau
begitu ikutlah denganku, Naz. Jangan tinggalkan aku.” Bicara Ardhi tampak
terkendali. Ia sangat manis mendekati Nazwa, aku heran melihat semua kejadian
ini. Ardhi benar-benar pshyco.
Tak
lama polisi datang. Mereka meringkus Ardhi yang berteriak seperti orang gila
dengan terus mengancam. Bersyukur malam itu kami selamat. Malam yang mengembalikan
lagi petualangan persahabatan.
“Key,
Des ... terima kasih atas bantuan kalian. Tapi semalaman aku berpikir, walau
bagaimanapun Mas Ardhi adalah suamiku. Dia punya tanggung jawab bukan hanya padaku,
tapi istri pertama juga anak-anaknya. Aku telah putuskan akan mencabut
tuntutan, dan menerimanya kembali. Dia sebenarnya baik, hanya saja tidak bisa
mengendalikan emosi. Dia butuh perhatian. Itu saja.”
Aku
dan Desi bengong, mencoba untuk memahami setiap kata yang ia ucapkan. Kami berusaha
menerimanya. Entah Nazwa terlalu baik atau terlalu bodoh, bagiku sama saja.
Desi yang biasanya memberondong berbagai argumen, entah apa yang mengubahnya
hingga ia pun hanya terdiam sambil menggelengkan kepala.
Kami
bertiga berpelukan, manisnya sebuah hubungan berlandaskan kepercayaan. Aku menghargai
privasi, dan percaya dengan
keputusannya meski sulit logikaku menerima. Namun, persahabatan ini takkan
berakhir begitu saja. Aku dan Desi sepakat, apapun yang terjadi kami akan
selalu menjaga, dan saling mendukung. Hari ini mengisahkan banyak hal tentang
persahabatan dan juga cinta yang akan dikenang sepanjang masa.
***