Oleh
: Nanae Zha
Jika
ada alasan untuk membenci ibu, apakah tidak ada alasan untuk mencintainya?
Cinta, tak hanya bagi yang sempurna ...
Setiap inci lorong yang
dilewati terasa begitu menyakitkan. Orang lain enggak pernah tahu, aku selalu
mengumpulkan kekuatan untuk singgah ke tempat ini. Seperti biasa, satu buket
bunga di tangan. Jantung dag dig dug
tak karuan, padahal untuk kesekian kalinya berkunjung ke sini. Aku sudah
berjanji akan datang hari ini padanya, beserta seseorang yang kucintai. Luki,
beruntungnya aku mengenal dia. Semoga kali ini, ia orang yang tepat bisa
menerima apa adanya.
“Akan
ada banyak pria yang kamu suka di depan sana, tapi hanya orang yang berjiwa
besar akan menjadi pendampingmu kelak. Jangan sampai memilih orang yang salah.”
“Maksud
Mama, orang yang salah seperti Papa? Aku juga tidak mau mengulangi nasib Mama
yang ditinggalkan suami demi memilih wanita lain!” kataku yang jelas sekali
menyakiti hati mama karena kulihat air mukanya berubah seketika.
Mama
jadi pendiam, selalu menyalahkan diri sendiri yang enggak becus mengurus suami.
Terkadang sangat sensitif dan emosional. Aku kehilangan mama yang dulu,
bijak, dan penuh kasih sayang. Sejak
saat itu, lebih dari lima tahun yang lalu, tak berani lagi kubahas tentang
Papa.
Di
ruangan yang serba minimalis, namun membuatnya cukup nyaman berada di sana.
Kutaruh bunga dalam vas. Luki,
tampaknya ia kesulitan menyesuaikan diri, mungkin lebih tepat sulit menerima
kenyataan.
Aku
menghela napas panjang, mengingat kejadian satu tahun lalu tidak berjalan
dengan baik. Kutatap lekat pria yang berdiri di balik pintu. Ada bersit kecewa
di wajah, dan sudah bisa kuduga. Seperti sebelumnya, mendengar kata yang sama
berkali-kali dari pria yang berbeda.
“Maaf, Rin ... aku enggak bisa.” Sudah cukup kebal
mendengar ucapan itu, semua terasa biasa. Luki, pria yang dicintai pun
melangkah pergi, pupus sudah harapan. Ternyata aku masih kurang beruntung.
“Jangan
ditutup!” Aku tersentak. “Sebentar lagi Papa kamu pulang,” kata mama, aku hanya
bisa terdiam, kuhapus bulir bening yang terlanjur meluncur di pipi. “Papa pergi,
Rin ... dia tidak akan pulang ....”
Gumamam
berubah menjadi isakan, lalu ia mengikik kecil hingga tertawa lebar. Terkadang
disambung dengan raungan histeris sambil menimang-nimang boneka di tangannya. Ah, Mama ... kenapa harus berakhir seperti
ini?
“Mereka
tidak bisa menerimaku karena kondisimu. Tapi, memilikimu bukanlah sebuah
kesalahan. Demi alasan apapun takkan pernah kutinggalkan Mama. Jika, nasib tak
mempertemukan dengan cinta tak apa, asal tidak kehilangan cintamu. Saatnya
membalas semua pengabdian, meski tak bisa terbayar lunas. I love you, Ma.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar