Oleh : Nanae Zha
“Kapan kamu menikah? Mama sudah ingin menimang cucu,” ucap mama
tersirat harap di matanya.
Aku terdiam, mencari jawaban tepat agar tidak menyisakan
pertanyaan baru.
“Insya Allah, Ma. Kalau sudah waktunya, jodoh pasti bertemu.”
Matanya berkaca-kaca. Secara tidak langsung, mungkinkah aku menyakiti hatinya?
***
“Na, malam minggu ini ada konser lho, mau ikut?” tanya
Richie. Cukup lama aku mengenalnya, tapi masih saja ia belum mengenalku. Aku
tidak menyukai keramaian seperti itu.
“Maaf, aku tidak bisa,” ucapku menolak sehalus mungkin.
“Itu yang aku suka dari kamu, Na.”
Richie memang baik, tampan, tapi aku menjaga hati agar tidak
luluh karena ketampanan yang tak abadi. Jarak pun tercipta bukan berarti tidak
suka, kuputuskan tidak ingin pacaran. Berjihad melalui cinta dalam diam untuk
mendapatkan ridho Allah.
Dua tahun berlalu, Richie pindah ke luar kota. Takada kabar,
jujur kehilangan, tapi kucoba berserah diri pada Allah. Siang itu, setelah
acara pengajian, Mbak Mutia-kakak seniorku di kampus-menemuiku.
“Na, apakah kamu sudah siap berumah tangga?” tanyanya
membuatku jadi salah tingkah. Aku hanya bisa menunduk. “Diam itu, Mbak anggap
iya. Begini, saudara Mbak lagi mencari istri. jika bersedia kami akan mengkhitbahmu,” ucapnya.
Sudah saatnya menunaikan sunnah Rasul dan menuruti kehendak
ibu.
***
Malam itu, kedua keluarga bertemu. Aku menunggu di dalam
kamar, perasaan campur aduk tidak karuan.
“Ya, Allah kuatkan hamba yang ingin mendapat ridho-Mu.”
“Na, keluarlah!” Ibu memanggilku. Jelas di matanya terpancar
kebahagiaan.
Aku berjalan mengikuti ibu, di sana sosok pemuda duduk dengan
pandangan tertunduk. Entah apa yang ia lihat di bawah sana. Aku menyapa keluarga
Mbak Mutia. Saat pemuda itu mengangkat wajahnya hampir saja terperenyak.
“Richie?!” Ia tersenyum.
Inilah yang dinamakan jodoh, tanpa bisa diduga. Sejauh
apapun berharap ia takkan datang, begitupun ratusan kali menolak jika jodoh takkan
lari ke mana. Semoga Richie bisa menjadi imamku kelak.
***
_END_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar