Oleh : Nanae Zha
“Tidak akan dihormati jika bukan dirimu yang
menghormati.” Masih terngiang ucapan almarhumah nenek yang lebih sering
kuanggap sebagai angin lalu. Entah apa maksudnya, masih belum mengerti, tapi
juga tak ada niat bertanya lebih jauh. Kuabaikan saja petuahnya.
“Eh,
Na ada salam tuh dari Heri,” ucap kakak kelasku saat pulang sekolah.
Saat
itu aku masih kelas satu SMP, sebenarnya belum mengerti arti kata salam, apakah
sama dengan cinta atau sebuah kata iseng tanpa makna? Hampir setiap harinya,
setelah pulang sekolah dengan satu geng, selalu dibuntuti anak kelas tiga.
Membuatku dan teman-teman merasa risih dengan keberadaan mereka.
Sampai
suatu hari, aku berjalan sendiri saat pulang sekolah. Di tikungan itu aku
dikagetkan oleh Bambang temannya Heri.
“Na,
Heri mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Ada
apa? Kalau mau ngomong di sini saja,” ucapku mencoba berani menghadapi kakak
kelas yang terbilang garang, mereka termasuk anak-anak yang rajin masuk ruang
BP karena sering tawuran.
“Dia
mau kamu datang ke sana.” Ia menunjukkan tempat di ujung gang yang lumayan agak
sepi.
“Enggak
mau, ah!”
“Ayo,
kalau kamu enggak nurut nanti aku yang kena marah.”
Tanpa
ancang-ancang ia menarik tanganku erat, diseret-seret untuk mengikuti
kemauannya. Jantung dag dig dug, keringat dingin mengucur di dahi. Aku pun
berteriak sekencang-kencangnya, dan beruntung ada teman sekelas yang lewat di
sana.
“Hey! Ada apa, Na?”
Mereka mendekat. Bambang yang masih menarik paksa tanganku, menoleh ke arah
teriakan. Karena banyak yang datang dan mungkin dia malu, akhirnya ia melepas
tanganku dan pergi menjauh.
Lalu,
aku menceritakan kejadian itu sama nenek. Ia masih menatapku lekat, ada rasa
khawatir di pelupuk matanya. Namun, ia mencoba tersenyum sebijak mungkin.
“Nenek
bilang juga apa, tidak akan ada yang menghormati jika kamu tidak menghormati
dirimu sendiri.”
“Maksud
Nenek? Bagaimana caraku menghormati diri sendiri?”
“Tutup
auratmu! Maka Allah akan melindungi kehormatanmu. Setiap helai rambut, akan
meminta pertanggungjawaban di akhirat, setiap langkah tanpa menutup aurat sama
dengan kamu mendorong bapakmu ke neraka.”
Aku
terperenyak, sesaat aku terdiam. Aku kira masih muda, bukan Emak-emak yang
harus selalu pake jilbab panjang dan gamis menjuntai-juntai sampai bisa
membersihkan lantai tanpa perlu menggunakan sapu.
Tapi,
aku enggak mau mengalami kejadian buruk seperti itu lagi. Keesokan harinya aku
minta Nenek membeli seragam panjang dan jilbab. Aku mau belajar berhijab.
Setelah penampilanku berubah, entah bagaimana caranya perilaku pun berubah. Aku
merasa lebih tenang dalam setiap kata juga perbuatan. Mungkin aku harus
berterima kasih pada Heri dan temannya, jika saja dulu itu tidak terjadi belum
tentu saat ini aku memakai hijab. Selalu ada hikmah di balik musibah.
Nenek
meninggal tujuh tahun lalu, dan aku masih terus teringat akan nasihatnya hingga
sekarang. Semakin hari hanya ingin menjadi pribadi lebih baik. Aku ingin
mendapatkan suami yang kelak akan membimbingku dunia akhirat, karena pada
dasarnya jodoh kita adalah cerminan pribadi kita.
Wahai
calon imam yang masih dirahasiakan, temukan aku dalam doamu. Semoga dengan
ridho-Nya kita akan bertemu dengan cara yang indah. Semoga dengan menutup
auratku, sama dengan membuka jodohku.
***
Cianjur, 12 Februari
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar