Oleh : Nanae Zha
“Hati-hati, Mas, doaku
selalu menyertaimu!” ucap Dona berlinang air mata.
Kabut
pagi di batas Puncak Cianjur, menyisakan kenangan yang teramat dalam bagi Prima
dan Dona. Cinta itu tak pernah tahu akan berujung di mana. Namun, cinta tahu
pada siapa dia akan berlabuh. Prima, harus hijrah mengikuti orang tuanya pindah
ke Jogja. Akankah takdir menyatukan mereka kembali?
***
Satu tahun telah
berlalu ...
“Dona!!!”
teriak Laras sembari melambaikan tangannya. “Ini ada surat! Huh ... hah ... huh
....” Dengan napas tersengal-sengal ia menyodorkan amplop putih yang baru saja
diterimanya dari Pak Pos.
“Dari
Mas Prima?” tanya Dona dengan mata berbinar, Laras mengangguk merasakan
kebahagiaan yang menyelimuti hati sahabatnya.
“Ayo,
baca! Apa katanya?” Kali ini Laras yang lebih antusias. Detak jantung berdebar
keras, kerinduan menyeruak ke dalam hati, perlahan ia membuka amplopnya.
Teruntuk
Dona tercinta,
Dik,
apa kabar? Aku harap kamu baik saja, begitu pun di sini. Namun, semuanya tak sebaik
kelihatannya. Aku sangat merindukanmu. Tak banyak waktu yang bisa kuberikan,
maaf atas segala kelemahan! Tapi yang pasti di mana pun Adik berada, doa selalu
terlantun untukmu.
Dik,
aku ingin bertemu, sebelum menemui Sang Pemilik hidup. Tapi, mungkin kita masih
harus bersabar. Andai
kamu tahu, aku merindukanmu sebanyak menghela napas. Ingin rasanya pulang. Namun,
bila Dia berkehendak lain, maka aku tidak akan pulang sebelum berumroh,
kujanjikan itu sebagai mas kawin kita.
Semoga
Allah memberikan kesempatan untuk bertemu. Jadi, tunggu aku dengan ikhlas penuh
cinta.
Salam
kangen,
Prima
Air mata bergulir bebas
di pipinya yang lembut, bukan tangis duka tapi bahagia. Ada harap tersirat di
sana, hanya ia yang bisa merasakan betapa dalamnya harap itu. Di setiap pengujung
malam, doa pun tak lepas dari satu nama yang kini mengisi relung hatinya, Prima.
“Mas,
sebut namaku di tanah suci. Semoga Allah mempertemukan kita dalam ridho-Nya,
dan aku akan setia menunggumu ....”
***
Cianjur, 08 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar