Kamis, 24 September 2015
Rabu, 23 September 2015
Di Sepertiga Malam
Oleh : Nanae Zha
Satu waktu di sepertiga
malam.
Kasih dengan segala
keterbatasan, hadir menyempurnakan.
Debaran menyelisik
selasar jiwa.
Menautkan janji dalam
ikatan atma, menyemat kata setia di jemari alam.
Oh, mungkinkah aku
jatuh cinta?
Binarmu bagai sabda.
Menggeletar sepanjang kamaloka.
Sepenggalah waktu
buatku terjaga.
Menghitung detik terbuang
percuma.
Embun kian menyusut,
mengecup hawa lereng puncak Kalimaya.
Lama terbuai dalam
balutan jubahnya, hitam tampak berwarna, dingin namun menghangatkan.
Di sepertiga malam ...
kembali menggelar sajadah, bersujud pasrah.
Menguntai dedoa, memilin
tasbih, menanti kalam.
Sepi membelenggu, menyawar
cita, meredup-redam mimpi, layangkan perih.
Ikrar menyatu dalam
sembilu—tak pernah tahu.
Termaktub dalam pijar
semesta.
Tak seharusnya cinta bersyarat.
Sejatinya memberi tanpa
menerima.
Merenda ikhlas untuk bermunajat.
Akhirnya, mencintaimu
dalam diam adalah pilihan
; meski berujung menyakitkan.
Cianjur, 04 Juni 2015
Kamis, 10 September 2015
Review novel Dear Prudence
Judul : Dear Prudence
Penulis : Dannie Faizal
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 252 halaman
ISBN : 978-602-7975-79-8
Pertama kali dengar rilisnya
novel ini udah buat penasaran banget, pasalnya baik di twitter atau sosmed
banyak banget yang muji-muji si Irvine ini. Meskipun waktu itu saya menduga
kalau Irvine berjenis kelamin perempuan haha ... :D
Well, setelah akhirnya mendapatkan buku ini, langsung jatuh cinta
pada pandangan pertama. Cover-nya really love it! Warnanya yang soft,
gambar Irvine dan Prudence-nya keren banget! Dan di situlah baru tahu kalau
Irvine ini cowok. Fine! Jadi gini
kalau melihat tampang luar sih ini kayaknya cerita romance yang unyu abis, eits ... ternyata dugaan saya salah. Baru
baca halaman pertama aja, saya langsung berubah pikiran. Ini buku bergenre
komedi.
Dan isinya benar-benar konyol.
Kak Dannie ini cerdas memanfaatkan kesempatan, saya sih suka dengan gaya
bahasanya yang ringan, dan mengundang tawa. Kekonyolan si Irvine yang punya
bapak super ajaib, tapi salut deh sama bapaknya yang care. Sampe kesialannya dalam membangun karier dan cinta. Ada
beberapa bagian yang saya nggak berhenti tertawa setiap kali baca buku ini.
Apalagi pas obrolan si Irvine sama sobat-sobatnya.
Nih, salah satunya yang bikin
ngakak :
Widih di masjid ...
Beriman banget! Tobat, lo sekarang? Udah selesai atau baru mau mupai salat? Gue
udah di terminal nih, parkir di dekat taksi-taksi. Buruan, ya.
Sip bentar lagi, ya,
ini lagi sujud nih. Rakaat terakhir kok.
Astaga! Dodol lo ...
hahaha ...
Gokil abis deh ini Kak Dannie :D Tapi lepas dari itu
semua, banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini. Seorang Irvine
Suherman bukanlah tokoh yang digambarkan sempurna seperti di novel-novel lain,
melainkan ia hanya seorang Irvine dengan banyak kekurangan seperti manusia pada
umumnya. Keegoisannya sendiri menuai penyesalan yang besar dalam hidupnya. Misal
nih, perilaku buruk Irvine ketika menghadapi Lusy dan pekerjaan yang tidak
bertanggung jawab. Sampai sebuah kesalahan fatal, membuat ia kehilangan
kesempatan untuk hidup lebih lama dengan mamanya.
Sebenarnya agak kecewa juga karena awalnya saya pikir
dengan judulnya “Dear Prudence” bakal lebih fokus terhadap kehidupan Prudence, lagi-lagi
saya salah. Tapi saya nggak kecewa kok baca buku ini, ada kejutan di akhir
cerita, apakah akhirnya Irvine jadian sama Prudence?
Pokoknya recomended
buat kamu-kamu yang nyari buku genre komedi romantis. Apalagi yang menyukai The
Beatles, banyak referensi lagu di sana, ada juga beberapa potongan lirik
lagunya di tiap bab.
Well, pada akhirnya saya mencurigai bahwa
semua yang ada di buku ini adalah kisah nyata dari penulisnya sendiri, apalagi
ada statement ini diambil dari blog
pribadi. Juga ada kemiripan antara Irvine yang kuliah ngambil jurusan yang sama
dengan penulisnya. Hayyooo ... benarkah, Kak Dannie?
Rabu, 09 September 2015
Review Novel "Sheila (Luka Hati Seorang Gadis Kecil)"
Judul : Sheila (Luka Hati Seorang
Gadis Kecil)
Penulis : Torey Hayden
Penerbit : Qanita
Tebal : 476 halaman
ISBN : 979-3269-06-5
Kesan pertama melihat buku ini
sebenarnya biasa saja, dengan warna cover lembut dan foto seorang gadis kecil di
depannya, apalagi dengan tebal mencapai 500 halaman jelas tidak menjadi minat
saya. Tapi akhirnya yang membuat tertarik adalah blurb di bagian cover
belakang, entah kenapa akhir-akhir ini saya jadi tampak antusias dengan dunia
psikologi.
Sudah ada delapan murid berusia tak lebih dari sepuluh tahun di kelas
itu. Seorang anak pernah dua kali mencoba bunuh diri, seorang anak buta,
seorang lagi agresif, dua orang anak menderita autisme, seorang skizofrenia,
seorang pernah mengalami penganiayaan fisik dan seksual, sedangkan yang
terakhir menderita beraagamfobia.
Bila Anda harus mengajar di kelas itu, bersediakah Anda seperti Torey
Hayden menerima seorang murid lagi, seorang gadis berusia 6 tahun yang baru
saja membakar anak lelaki berusia 3 tahun sampai nyaris mati? Gadis itu ber-IQ
di atas 180, namun menderita problem emosional parah. Dia tak pernah menangis,
baik di kala sedih, marah, maupun kesakitan. Dia juga agresif dan selalu
membangkang. Mungkin karena sang ibu meninggalkannya di jalanan saat berusia 4
tahun. Mungkin karena ayahnya pemabuk dan tak mampu memberi pengasuhan yang
layak. Mungkin karena dia memang tak tahu bagaimana membuat orang lain
mencintainya.
Cukup sampai situ blurb yang saya baca mengundang banyak
tanya, dan apa yang terjadi pada anak seusia itu? Membaca buku ini membuat saya
merasa beruntung dalam hidup yang kadang terlupakan begitu saja. Saya bersyukur
dilahirkan di keluarga ini meskipun tidak kaya tapi cukup memasok kebutuhan
secara lahiriah dan batiniah, meskipun kadang merasa tidak seberuntung
teman-teman yang lain.
Torey Hayden seorang psikolog dan
guru yang luar biasa telah mengisahkan perjuangannya dalam mendidik anak-anak
yang berkebutuhan khusus. Kesabaran dan kasih sayang yang mendalam terhadap
anak-anak itu kadang membuatnya terlibat terlalu jauh. Perjuangannya
‘menjinakkan’ Sheila merupakan hal terberat yang saya tidak mungkin bisa
melakukannya. Tapi jauh dari itu adalah pengalaman masa kecil Sheila yang buruk
dan kehidupan yang tidak berpihak padanya lagi-lagi membuat saya terenyuh
semakin dalam akan sosok Sheila. Tidak bisa dipungkiri rasa bangga, haru dan
salut terhadap keberanian dan kekuatan Sheila di umurnya yang bahkan belum
menginjak tujuh tahun tampak begitu dewasa.
Mulai dari ditinggalkan ibunya,
tinggal bersama ayahnya yang pemabuk dan seringkali berbicara kasar dan
melakukan tindakan fisik untuk menghukumnya, tinggal di tempat kumuh dan jauh
dari kehidupan layak membuat ia besar dalam lingkungan yang kurang baik. Lebih
parah lagi masa-masa di mana Sheila telah berhasil mengendalikan diri, ternyata
ujian belum juga selesai untuknya ketika pamannya yang baru keluar dari penjara
secara paksa telah melakukan tindakan asusila padanya.
Arrgghhh ... saya tidak berhenti
geleng-geleng kepala dan bertanya kok bisa? Bagaimana anak sekecil ini bisa
tangguh menghadapi kehidupan yang sangat ganas?
Kesan setelah membaca buku ini
meskipun di luar ekspektasi, tentang penyebab anak-anak yang memiliki perilaku
menyimpang dan cara menanggulangi kurang detail. Namun, saya tetap menyukai
caranya menuturkan setiap pengalaman yang kadang ia harus menentang teori dan
mengikuti kata hatinya. Sejujurnya ada sedikit kehilangan feel ya, mungkin karena ini terjemahan jadi sayang, tidak bisa
membaca versi aslinya yang mampu mengaduk-aduk perasaan terdalam saya. Namun,
di bab-bab akhir saya cukup menikmati dan mampu mempermainkan perasaan saya
hingga meneteskan air mata. Good job,
Torey! I’m proud of you.
Oh, Sheila di manapun kamu berada
... saya yakin kamu bisa menjalani hidup dan masa depan dengan penuh
kebahagiaan bahkan air mata itu adalah saksi setiap luka berubah menjadi tawa.
Torey Hayden ... dengan segala
hormat rasanya aku ingin berbicara denganmu sedekat kamu berbicara dengan
Sheila.
Selasa, 08 September 2015
GALERI DIKSI
Judul : Rasa yang Tiada
Oleh : Nanae Zha
masa berganti seiring derunya angin
menjauh-hilang
setitik kenang terukir di dinding
panjang
menyulam asa dalam balutan usia
entah hidup cukup bermakna?
februari tertoreh sejuta cerita cinta
indah namun fatamorgana
angan kureguk dalam degup
hati pun turut terkatup
menghilang segala samar
rindu terpatri--doa mengakar
nikmati detak dalam detik
mencipta semangat--kembali bangkit
tanpamu bukanlah akhir segalanya
inilah aku ; seonggok rasa yang dianggap
tiada
Cianjur, 28-02-15
REVIEW SUPERNOVA "GELOMBANG"
Judul : Supernova
GELOMBANG
Penulis : Dee
Penerbit : Bentang
Pustaka
Tebal : 482 halaman
ISBN :
978-602-291-057-2
Kelahiran Gelombang
kali ini cukup cepat dibanding dengan Partikel. Desain covernya biasa aja ya
menurut saya mah, tidak heran seperti
sebelumnya pasti dasar covernya warna hitam. But, I like the orange! Saya sudah lama menanti Gelombang, dan
penasaran kali ini apa yang akan disuguhkan Dee. Mari kita kupas sedikit isinya
:D
Ingat di episode Akar
pada keping ke-34? Entah kenapa aku dibuat jatuh cinta pada Gio. Gio ...
seseorang yang sangat berbeda, kehadirannya sedikit misterius, tapi karena
kemisteriusannya aku jatuh cinta. Berharap akan bertemu Gio, seperti apa rupamu
sebenarnya, Minha sol? J
Nah, di awal bab
Gelombang akhirnya bisa merasakan lagi kerinduan terhadap Gio. Kegilaan Gio
terhadap pencarian Diva Anastasia yang belum juga menemukan titik temu,
melainkan sebuah pemahaman baru bagi dirinya menyudahi pencarian yang tak
pasti, namun satu harapan yang membuatnya ingin melakukan dengan total sebuah
email yang tercantum sebelum Diva melakukan ekspedisi. Email seseorang yang
berada di Jakarta. Mungkin saatnya bagi Gio kembali, dan menemukan mereka yang
telah lama menunggu. Akar, Petir, Partikel.
Ichon alias Thomas Alfa
Edison, nama yang luar biasa. Lahir di sebuah desa di bagian barat Indonesia,
Sianjur Mula-Mula, Medan. Berawal dari tradisi, gondang pemanggilan roh
membuatnya dihantui rasa takut selama hidupnya. Bukan saat terjaga ia merasa
takut, tapi justru ia takut jika tertidur karena di sanalah mimpi buruk terus
menghantui dan meminta nyawanya. Satu-satunya cara agar ia bisa hidup panjang
adalah menghindari tidur, Si Jaga Portibi.
Dari Sianjur Mula-Mula
pindah ke Jakarta dengan meninggalkan jejak yang tak mudah dilupakan warga,
pasalnya seorang datuk tertinggi mati di tangannya. Jakarta menuntunnya
memasuki babak baru, sebuah tempat yang tak pernah terbayang seperti dimensi
lain. New York, akhirnya ia akan menginjakkan kaki di sana. Berbekal kecerdasannya,
Ichon alias Alfa masuk universitas ternama. Setelah lulus masuk perusahaan yang
bonafit. Kariernya sukses, tapi hidupnya masih terus dihantui masa lalu dan
mimpi buruk yang tak pernah ia mengerti. Hingga suatu hari kemunculan wanita di
luar dugaan, seorang wanita bernama “Ishtar” mengubah hidupnya, namun hanya
sekejap Ishtar menghilang tanpa jejak yang bisa dilacak.
Perkenalannya dengan
dokter ahli terapi insomnia Nicky membawa cerita baru. Tibet menjadi tujuan
utama untuk mencari semua jawaban atas pertanyaan yang tak pernah terjawab. Dr.
Kalden Sakya menuntunnya pada pencerahan baru, tentang siapa dirinya
sebenarnya, tentang mimpi yang terus menghantui. Perjalanan Alfa bukan hanya
fisik tapi batin, melalui alam bawah sadar, mimpi yang menjadi kenyataan.
Dari Tibet, Alfa memutuskan kembali ke Jakarta. Sebuah pertemuan yang mengundang tanya, di
atas pesawat itu ia bertemu seseroang yang mengusik.
“Kell,” ia
memperkenalkan diri.
What
this? Masih ingat di Akar lagi? Bukankah Kell sahabatnya
Bodhi? Dan ia telah meninggal dengan cara mengenaskan dengan mengorbankan
dirinya? Arrghhh ...
Denyut itu kembali
hadir pada Alfa, pertanda sesuatu yang dekat dirinya, antara Peretas, Infiltran
atau Savara. Who knows?
Baiklah Dee ... dengan
sabar akan menunggu lahirnya Intelegensi
Embun Pagi.
Minggu, 06 September 2015
Celoteh Inspirasi Februari_ Cinta, Salahku Mengenalmu!
Oleh : Nanae Zha
Kursi di taman itu
menjadi saksi ketika semua harap terpupus. Setahun lalu di awal Pebruari, aku
bertemu Tami, gadis yang mampu memikat hati hanya dalam hitungan detik. Tapi,
aku lupa untuk berhati-hati dengan perasaan yang tak bisa diajak kompromi.
“Maaf,
Kakak yang bernama Gie?” sapa seorang gadis dengan rambut sebahu dan kaca mata
tebal. Itu penampilan unik yang jarang terlihat di kawasan kantin kampus.
Biasanya tipe seperti ini akan memenuhi ruangan perpustakaan.
“Iya.”
Aku mengangguk.
“Saya
Tami, Kak. Mau mewawancarai untuk majalah kampus. Bisa?”
Setelah
hari itu, aku dan Tami sering bertemu di perpustakaan atau taman kampus. Dari
mulai sharing komunitas sosial hingga
cerita pribadi yang akhirnya bisa kubagi dengan sosok bernama wanita.
Tami,
memiliki daya tarik yang tak dimiliki gadis lain. Aku cukup nyaman bersamanya,
meski sifat kekanak-kanakan Tami kadang muncul, gadis manja dan sedikit
ceroboh. Entah kenapa dan siapa yang memulai? Rasa sayang itu pun tumbuh dan
berkembang menjadi cinta.
***
“Gie, Papa kamu sudah
kembali dari Sulawesi.” Tiba-tiba Mama menyadarkanku dari lamunan panjang.
“Besok kita akan makan malam bersama,” ujar Mama lagi dengan ekspresi riang di
balik senyumnya.
Hal
itu membuatku merasa heran dengan Mama. Kenapa harus berpisah jika dalam hati
menyimpan cinta? Dulu terlalu kecil untuk memahami itu semua, kini terlalu
dewasa untuk memaklumi cinta yang masih belum bisa kupahami.
Malam
itu, Mama membongkar semua isi lemarinya. Seperti kembali ke dua puluh lima
tahun lalu, akan menghadapi kencan pertamanya. “Mama masih cinta sama Papa?”
Pertanyaan
yang mengalihkan dunianya sesaat dari tumpukan dress. Ia memandang lalu tersenyum, kemudian kembali fokus pada
gaun di hadapannya. Cukup senyum Mama menjawab pertanyaan, tapi masih ada rasa
penasaran. “Lalu kenapa dulu kalian berpisah?”
Kali
ini Mama kehilangan fokus, matanya nanar, saat itu dirinya begitu muda dan
labil. Ia tak bisa mengendalikan ego dengan akal dan mengendalikan akal dengan
perasaan. Keegoisan masa mudanya membawa ke jurang penyesalan. Itu sebabnya aku
menghindari cinta karena cinta ternyata Mama pernah terluka, dan aku pun tak
ingin terluka.
***
Aku
mengikuti Mama memasuki restoran. Sosok pria dewasa bertubuh tegap, dengan
kemeja biru langit, rapi dan elegan yang pernah menggendongku telah menunggu.
Tak heran jika Mama tak bisa melupakannya. Entah apa yang pernah terjadi di
antara mereka, bagiku melihat keluarga berkumpul merupakan surga dunia.
“Apa
kabar?” Papa menatap, memeluk hangat sambil menepuk pundakku.
DEG!
Aku tertegun dengan seorang gadis di samping Papa.
“Kenalkan
ini anak Papa.”
“Anak?”
Detak jantung berpacu lebih cepat, memang mereka sudah lama berpisah, dan
tampaknya Mama tidak kaget dengan kabar ini. Mungkinkah sebelumnya Mama sudah tahu kalau aku punya saudara
perempuan?
“Kakak,”
ucapnya terasa asing di telingaku. Gadis berkacamata tebal yang menarik
perhatian di kampus itu adalah adikku sendiri.
“Apa
kamu tahu sebelumnya, kalau kita saudara?” tanyaku pada Tami saat kesempatan
itu ada. Ia mengangguk, tersenyum. Baru kuingat rengekan manjanya saat itu
hanyalah sebatas adik pada kakaknya.
Biarlah
ini semua menjadi rahasia, biar kukenang ia sebagai cinta pertama yang
mengajariku patah hati. Cinta terlarang, tak seharusnya aku mengenalmu.
***
Celoteh Inspirasi Januari Galeri Lavira
Kepada Jejak yang Tertinggal
cahaya langit berpendar kesumba
menapaki bukit berpayung senja
lelah langkah telusuri jalan berduri
sibak ilalang menahan nyeri
engkau buraikan harap serupa fajar menyingsing
rekah semi cinta membubung langit
namun, masa tunjukkan topeng, menyingkap paras asing
pupuskan mimpi, teteskan segala pahit
samar bayang menghilang,
-tiada namun takpergi-
mewujud kesedihan pada jalinan kenang
dalam keheningan ...
asa tak memiliki batas penantian
jejak langkah atas namamu masih tertinggal
terpahat lekat dalam pilu
ah, andai engkau tahu!
cinta tak terkikis waktu
hingga jiwa meregang ajal ...
Cianjur, 27 januari 2015
Awal memasuki dunia
tulis menulis, saya banyak belajar di cerpen—karena novel cukup rumit ternyata.
Tapi anehnya karya pertama yang dibukukan malah kebanyakan puisi, entah dari
mana datangnya bakat tersebut. Mengingat tidak ada satu pun dari keluarga yang
jadi penulis.
Di beberapa buku
antologi seperti Inspirasi Januari dan Februari yang diterbitkan oleh Pena
House merupakan hasil dari event mingguan yang diabadikan untuk menambah
semangat para penulis untuk tetap berkarya. Di dalamnya berisi galeri fantasi,
cerita fiksi yang dirangkai semanis dan seapik mungkin. Ada galeri reality,
menceritakan kisah nyata baik dari penulis atau kisah nyata orang lain yang
kemudian ditulis ulang. Ada galeri motivasi, setiap kata merupakan motivasi
agar kita selalu positif dalam menyikapi hidup. Dan galeri diksi, kumpulan
puisi.
Meskipun jika diperhatikan,
buku sejenis puisi jarang diminati pasar kecuali pemuisi yang sudah punya nama
seperti Chairil Anwar, Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, Agus R. Sarjono,
atau karya Khalil Gibran yang fenomena. Tapi bagi pecinta literasi bukan soal
itu, melainkan kepuasan batin yang tercukupi. Berharap masa dunia sastra akan
berjaya kembali seiring berkembangnya pola pikir masyarakat yang lebih baik.
REVIEW SUPERNOVA "PARTIKEL"
Judul : Supernova
PARTIKEL
Penulis : Dewi Lestari
Penerbit : Bentang
Pustaka
Tebal : 500 halaman
ISBN :
978-602-8811-74-3
PARTIKEL merupakan
kelanjutan dari Supernova series yang ke-4 karya Dewi Lestari. Dalam kelahirannya
memakan waktu cukup lama. Dengan tebal halaman 500 ini sudah jelas membutuhkan
banyak riset yang harus digali. Delapan tahun waktu yang dihabiskan Dee untuk
menyusun idenya ini. Meski lama tapi mengobati kerinduan dan rasa penasaran
saya dengan apa yang akan terjadi. Partikel lahir dari sebuah riset panjang,
kesabaran dan cinta pembaca yang dengan setia menunggu lahirnya partikel yang sempurna.
Meski dihiasi kelelahan dan tantangan. Dee menyajikan semua dengan sangat
menawan.
Kehidupan “ Zarah”
sangatlah kompleks, dibesarkan di sebuah lingkungan yang memiliki adat kuat
baik tentang agama maupun hal mistik. Zarah dibesarkan dengan cara yang tak
biasa hingga membuat Zarah pun terlalu mendewakan ayahnya. Agama menjadi hal
dasar dalam setiap kehidupan umat Islam, tapi sedikit SARA dengan banyak dialog
Zarah dengan gurunya yang mempertanyakan tentang kebenaran sebuah agama hingga
akhirnya mungkin lebih tepat Zarah atheis. Sayang sih ya ... namun kepiawaian
Dee dalam mengangkat konflik ini tidak berujung SARA dan masih bisa diterima
masyarakat umum.
Penyajian yang cerdas. Saya
sih harus banyak belajar, pernah sekali waktu membahas masalah keagamaan sampai
akhirnya menuai pro kontra. Saya katakan seorang China yang masuk Islam, memang
pada nyatanya dalam upacara-upacara tertentu misalnya pemakaman secara tidak
langsung demi menghormati mendiang orang tuanya, ia ikut menyalakan dupa karena
dianggap tradisi. Meskipun ia istigfar berkali-kali, bukan untuk mengikuti
ritual tapi hanya untuk menghormati. Well
... hanya sebatas itu kemudian menuai pro kontra.
Namun, Firas mendobrak
semua, seorang dosen dan ahli mikologi. Hingga suatu hari Firas menghilang,
satu tempat yang menjadi saksi bisu dan ditutupi kemisteriusan bernama “Bukit
Jambul” menjadi awal pencarian Zarah dalam menemukan Firas—ayahnya.
Tapi yang terjadi
justru Zarah semakin jauh melangkah. Ketika satu kesempatan membawanya keluar
dari tempat itu menuju tempat konservasi orang utan di Kalimantan, malah
membawanya pergi jauh ke London. Di sana ia memulai segalanya, karier,
persahabatan, cinta dan juga penghianatan, termasuk petunjuk yang mengantar ia
untuk kembali ke tanah kelahirannya.
Kisah cintanya dengan Storm
dan persahabatan dengan Koso menuai pengkhianatan yang membuat Zarah kembali
fokus untuk membuka kembali tujuan utama mencari ayahnya. Satu petunjuk penting
yang diberikan Paul tentang pemilik kamera sebagai kado ke tujuh belas tahunnya
membawa titik terang pencarian. Ayahnya ternyata pintar, setelah semua jurnal
penting yang sudah terbakar, kini jurnal itu ditemukan lagi di London. Ada lima
jurnal.
Dan satu halaman
terakhir yang membuatnya bertanya. Beda dari yang lain, sebuah clue untuk menemukan tiga teman telah
menunggu. Ia tersentak namun satu hal yang ia yakini surat untuk PARTIKEL, sudah
pasti dirinya. Zarah adalah unsur terkecil dalam partikel.
Sementara itu di
Bandung, Elektra dan Bodhi bertemu. Satu aliran listrik yang berdenyut-denyut
sebelum mereka bertemu seolah pertanda. Secara bersamaan, keduanya mengingat
siapa diri mereka sesungguhnya.
“Akar?”
“Petir?”
Keduanya terpaku
berusaha mencerna semua yang telah terjadi. Tanda tanya besar dalam diri mereka
seolah hadir. Menunggu orang baru yang harus mereka temukan kembali.
Saatnya menunggu
Gelombang J
Sabtu, 05 September 2015
Review Bunga Rampai Putik Desember-ku
Judul : Bunga Rampai
Putik Desember-ku
Penerbit : AE
Publishing
Halaman : 248 hal
ISBN :
978-602-1189-27-6
Kemarin saat berbenah lemari
melihat buku ini, sebuah tonggak awal perjalanan dalam meraih cita. Kenapa
tonggak awal? Karena buku antologi puisi pertama yang lahir setelah lama
tertidur. Saya baru di dunia literasi, bergabung dan aktif di beberapa
komunitas pertengahan tahun 2014. Baiklah sejujurnya saya tidak pandai
berpuisi, cuma belajar otodidak dengan segala kekurangan, bahkan arti dari ‘puisi’
itu sendiri masih meraba-raba. Saya hanya penikmat aksara, bukan peramu. Tapi
sebuah event #UjiMenulisPuisi di bulan Desember 2014 memberi tantangan baru.
Dan puisi nggak jelas
itu akhirnya lolos dan bersanding dengan para pemuisi senior yang kadang kalau
diingat dan dibaca ulang jadi minder sendiri. Rasanya ingin bagian tengah yang
ada nama saya disobek saja :D tapi itulah namanya proses belajar. Jika tidak
begitu maka tidak akan lahir motivasi untuk terus berkarya hingga
antologi-antologi selanjutnya pun lahir J Seperti apa
kata Om Dekik, “Dalam buku ini memberi sedikit gambaran bagaimana pemula dalam
dunia puisi bersanding dengan tokoh puisi dengan harapan bisa memberikan karya
itu bermanfaat untuk kini dan nanti.” Dan itu terjadi!
Buku Antologi Puisi
“Bunga Rampai Putik Desember-ku” desain cover dan gradasi warnanya membuat
jatuh cinta. Dan kalian tidak akan pernah bisa berhenti untuk jatuh cinta lebih
dalam lagi setelah membaca lembar demi lembar halaman bukunya. Buku setebal 248
halaman ini berisi 86 dari hasil #UjiMenulisPuisi, 16 puisi dari Milad Anisa,
13 puisi dari para master. Banyak diksi
bertaburan, sarat makna dan tentu saja memberi kebebasan pada pembaca
berimaginasi dengan liar untuk memaknai dan memahami puisi tersebut sesuai daya
pikirnya masing-masing.
Dengan tema Desember yang
diusung, bukanlah akhir dan pengujung dari segalanya tapi tonggak awal menyongsong kehidupan baru.
Jelas terbukti semenjak buku ini lahir, seolah membawaku pada
kelahiran-kelahiran selanjutnya.
So,
bagi
pecinta puisi atau yang ingin belajar puisi atau sekadar menghilangkan rasa
penasaran dengan isi buku ini, silakan baca dan beli bukunya itu pun kalau
stoknya masih ada, nggak bakalan nyesel deh pokoknya hehe ... :D
Langganan:
Postingan (Atom)