Oleh : Nanae Zha
Kursi di taman itu
menjadi saksi ketika semua harap terpupus. Setahun lalu di awal Pebruari, aku
bertemu Tami, gadis yang mampu memikat hati hanya dalam hitungan detik. Tapi,
aku lupa untuk berhati-hati dengan perasaan yang tak bisa diajak kompromi.
“Maaf,
Kakak yang bernama Gie?” sapa seorang gadis dengan rambut sebahu dan kaca mata
tebal. Itu penampilan unik yang jarang terlihat di kawasan kantin kampus.
Biasanya tipe seperti ini akan memenuhi ruangan perpustakaan.
“Iya.”
Aku mengangguk.
“Saya
Tami, Kak. Mau mewawancarai untuk majalah kampus. Bisa?”
Setelah
hari itu, aku dan Tami sering bertemu di perpustakaan atau taman kampus. Dari
mulai sharing komunitas sosial hingga
cerita pribadi yang akhirnya bisa kubagi dengan sosok bernama wanita.
Tami,
memiliki daya tarik yang tak dimiliki gadis lain. Aku cukup nyaman bersamanya,
meski sifat kekanak-kanakan Tami kadang muncul, gadis manja dan sedikit
ceroboh. Entah kenapa dan siapa yang memulai? Rasa sayang itu pun tumbuh dan
berkembang menjadi cinta.
***
“Gie, Papa kamu sudah
kembali dari Sulawesi.” Tiba-tiba Mama menyadarkanku dari lamunan panjang.
“Besok kita akan makan malam bersama,” ujar Mama lagi dengan ekspresi riang di
balik senyumnya.
Hal
itu membuatku merasa heran dengan Mama. Kenapa harus berpisah jika dalam hati
menyimpan cinta? Dulu terlalu kecil untuk memahami itu semua, kini terlalu
dewasa untuk memaklumi cinta yang masih belum bisa kupahami.
Malam
itu, Mama membongkar semua isi lemarinya. Seperti kembali ke dua puluh lima
tahun lalu, akan menghadapi kencan pertamanya. “Mama masih cinta sama Papa?”
Pertanyaan
yang mengalihkan dunianya sesaat dari tumpukan dress. Ia memandang lalu tersenyum, kemudian kembali fokus pada
gaun di hadapannya. Cukup senyum Mama menjawab pertanyaan, tapi masih ada rasa
penasaran. “Lalu kenapa dulu kalian berpisah?”
Kali
ini Mama kehilangan fokus, matanya nanar, saat itu dirinya begitu muda dan
labil. Ia tak bisa mengendalikan ego dengan akal dan mengendalikan akal dengan
perasaan. Keegoisan masa mudanya membawa ke jurang penyesalan. Itu sebabnya aku
menghindari cinta karena cinta ternyata Mama pernah terluka, dan aku pun tak
ingin terluka.
***
Aku
mengikuti Mama memasuki restoran. Sosok pria dewasa bertubuh tegap, dengan
kemeja biru langit, rapi dan elegan yang pernah menggendongku telah menunggu.
Tak heran jika Mama tak bisa melupakannya. Entah apa yang pernah terjadi di
antara mereka, bagiku melihat keluarga berkumpul merupakan surga dunia.
“Apa
kabar?” Papa menatap, memeluk hangat sambil menepuk pundakku.
DEG!
Aku tertegun dengan seorang gadis di samping Papa.
“Kenalkan
ini anak Papa.”
“Anak?”
Detak jantung berpacu lebih cepat, memang mereka sudah lama berpisah, dan
tampaknya Mama tidak kaget dengan kabar ini. Mungkinkah sebelumnya Mama sudah tahu kalau aku punya saudara
perempuan?
“Kakak,”
ucapnya terasa asing di telingaku. Gadis berkacamata tebal yang menarik
perhatian di kampus itu adalah adikku sendiri.
“Apa
kamu tahu sebelumnya, kalau kita saudara?” tanyaku pada Tami saat kesempatan
itu ada. Ia mengangguk, tersenyum. Baru kuingat rengekan manjanya saat itu
hanyalah sebatas adik pada kakaknya.
Biarlah
ini semua menjadi rahasia, biar kukenang ia sebagai cinta pertama yang
mengajariku patah hati. Cinta terlarang, tak seharusnya aku mengenalmu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar