Oleh : Nanae Zha
Seraut wajah yang pernah kutemui, masih terekam jelas dalam
ingatan. Tidak cantik, tapi sangat menarik. Bola matanya indah sama seperti
dulu, pancarkan sinar penuh semangat. Dia selalu tersenyum, meski tidak ada hal
lucu yang patut ditertawakan. Gadis ramah dan murah senyum, meski begitu ia
akan marah jika ada yang berani menggodanya.
“Rani?” tanyaku memastikan
dugaan.
Ia menoleh, tatapan matanya tajam
menghujam ke dasar relung jiwa. Ah, aku bisa mati karenanya! Entah pesona apa
yang dimiliki. Ia masih bergeming, terlihat keningnya mengerut. Mengingat-ingat
parasku yang tak seberapa. Dan sialnya, tampak jelas telah melupakanku.
“Angga,” ucapku sambil
mengulurkan tangan.
Ia tidak lantas menerima uluran
tanganku begitu saja. Sedikit angkuh memang, hanya mengangguk sambil melipat
kedua telapak tangannya di depan dada. Atau inikah yang disebut mawas diri dan
menghindari bukan muhrim?
Gadis aneh dengan baju
menjuntai-juntai seakan menyapu sepanjang jalan yang dilalui. Tidakkah gerah
dengan penampilannya? Padahal cuaca cukup panas. Sejak saat itu, pertama kali
bertemu di kantin kampus, aku mulai menggodanya. Ralat! Lebih tepatnya mem-bully.
“Heh! Anak baru ya?” tanyaku saat
itu. Timbul keisengan melihat ia dengan penampilan super ajaib. “Siapa nama
kamu?”
“Rani, Kak.”
“Kamu telat datang ke kampus ya?”
“Iya, di jalannya macet, Kak.”
“Alasan! Kalau begitu mulai dari
sini, sampai ujung sana kamu sapu deh. Jangan sampai ada sampah yang tersisa.”
Ia mengangguk pasrah.
“Eeh ... siapa suruh pakai sapu?
Bajumu kan multifungsi, sepanjang itu bisa sambil nyapu. Hahaha ....” Aku dan
teman-temanku tertawa. Ia terdiam, tampaknya cukup sabar, meski mukanya telah
memerah.
“Maaf, saya masih ada tugas
lain.” Ia menjawab dengan tenang.
“Heh! Tunggu! Kamu nolak perintah
saya? Saya di sini senior kamu lho!”
“Tapi, saya bukan junior Anda. Saya
anak sastra, bukan anak mesin,” ucapnya jelas dan lugas.
“Apa?! Jadi, ngapain kamu ke
sini?”
“Mas Rian!”
Tiba-tiba ia berteriak dan tak mengindahkan
pertanyaanku menghampiri cowok yang rasanya cukup kukenal. Entah ada hubungan
apa antara anak baru itu dan Rian. Mereka berdua tampak akrab, seperti sepasang
kekasih, tampak serasi. Pertemuan pertama dengannya menyimpan cerita tersendiri
bagiku. Sejak saat itu kuputuskan untuk menjadi pengagum rahasianya.
***
Beberapa tahun telah berlalu,
selepas lulus kuliah tak pernah melihatnya sekalipun. Kecuali hari ini, Tuhan
begitu menyayangiku, keajaiban ini tak mudah diraih. Perasaan yang dulu belum juga
hilang, mungkinkah aku jatuh cinta lagi padanya?
“Siapa ya?” tanyanya.
“Ah, iya. Di kampus, aku setahun
di atasmu.” Akhirnya menjelaskan jati diri sebelum ia mencurigai yang
tidak-tidak.
“Oh, ya? Maaf, ngambil sastra
apa?”
“Bukan! Saya anak mesin.”
“Oh, temannya Mas Rian ya.” Rian,
tentu saja nama itu yang dulu sempat membuatku mundur.
“Rian siapanya kamu?”
“Apa?” Ia tampak terkejut dengan
pertanyaanku.
“Ah, tidak! Bukan apa-apa.” Cepat
kualihkan topik pembicaraan.
“Ran, sudah beres?” Terdengar
suara lain dari balik punggung. Aku menoleh. “Angga?!” teriaknya sambil menepuk
pundakku.
Jika bertemu teman lama hal yang
paling kurindukan adalah kembali ke masa-masa itu tanpa beban berarti.
Menikmati kehidupan remaja, tanpa harus berpikir terlalu dewasa yang ada hanya
mengedepankan ego. Kini, semua telah berubah, pikiran harus selalu berjalan
logis. Menjadi dewasa memang membosankan.
“Kalian saling kenal?” tanyaku
akhirnya. Rian dan Rani saling bertatapan, akhirnya mereka tertawa.
“Rani ini adikku, usia kita memang
cuma terpaut satu tahun.”
“Adik?”
Aku cukup terperangah mendengar
kejujuran yang terasa lama kusadari. Kenapa tidak dari dulu kuketahui. Telah
kusia-siakan waktu begitu lama, hanya karena menjaga perasaan teman. Ah, bego!
Ingin mengutuki diri sendiri. Waktu tidak akan pernah kembali. Mungkinkah
sekarang saatnya kuungkapkan perasaan yang dulu sempat karam?
“Oh iya, minggu depan kamu ada
acara enggak?” tanya Rian lagi.
Aku sedikit mengingat jadwal kerja,
akhirnya dengan yakin aku menggelengkan kepala.
“Baguslah, kalau begitu datang ya
ke rumahku, sekalian reuni sama teman-teman.”
“Wah, reuni? Asik tuh!”
“Iya, sekalian juga resepsi
pernikahan Rani.”
“Apa?!”
Jantungku berdegup kencang, tak
sanggup berkata apa-apa, bahkan wajah gadis yang tertunduk di hadapanku pun tak
bisa kubayangkan akan bersanding dengan pria lain. Mengapa kami dipertemukan
lagi, jika hanya untuk mendengar kabar ini. Engkau telah semikan cinta yang
dulu ada, namun dalam seketika hancurkan hingga berkeping-keping. Oh, Tuhan
mungkinkah nasibku berakhir di titik pengagum rahasia?
***
-END-
Cianjur, 09 Juni 2015