Oleh : Nanae Zha
Meraih cita memang
tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada pengorbanan yang harus dilakukan.
Ada doa dan ikhtiar, kata pamungkas adalah tawakal. Seperti halnya aku,
bercita-cita menjadi penulis profesional. Entah darah siapa yang mengalir di
tubuhku, melihat kenyataan dalam keluarga tidak ada satu pun memiliki hobi atau
hasrat sama dalam dunia kepenulisan.
“Penulis?”
Tak sedikit mereka bertanya dengan nada mencibir.
“Apa
salahnya penulis?” Setiap orang sukses dengan caranya sendiri balasku.
Sore
ini cuaca begitu adem, di ujung
cakrawala kulihat awan pekat menjauh. Setidaknya sore ini aku pulang kerja
tanpa harus kehujanan. Sebelum pulang, aku dan teman-teman sepakat untuk
menejnguk teman yang melahirkan.
“Tuh!
Na, Desi sudah menikah bahkan sekarang punya anak. Terus kamu kapan?” Ah,
pertanyaan yang sama untuk beberapa tahun ini.
Mereka
mulai usil dengan kehidupan pribadiku. Coba menanggapi dengan senyuman. Padahal
dalam hati ingin menangis, tumpah ruah air mata dalam dada. Aku enggak menutup
pintu hati untuk siapapun meski sejujurnya memang susah untuk menerima orang
baru dalam hubungan yang lebih private.
“Kapan
kamu berubah, Na?” Terdengar suara mama begitu pasrah.
”Ma,
semua akan indah pada waktunya,” jawabku mengutip quote yang sering kudengar.
Hanya
saja sampai saat ini, aku belum bisa membeli mulut mereka. Mengalahkan rasa
malas adalah sesuatu yang sulit jika
tidak diusahakan. Menjadi tipe pemimpi tanpa benar-benar mewujudkan. Terkadang
malu dengan diri sendiri mengapa ada orang sebebal ini. Apakah tak ada sesuatu
didunia ini yang mampu membuang rasa malasku? Hingga suatu hari aku bertemu
dengannya, motivator kedua yang hadir membawa cerita.
“Kamu
suka nulis, Na?” tanya Dendy.
“Iya,
kenapa? Aneh sama penulis?” tanyaku seperti biasa sudah kebal dengan olok-olok
seperti itu.
“Lho,
kok gitu?! Justru aku suka ....”
“Menulis?”
tanyaku memotong ucapannya.
“Bukan!
Aku hanya penikmat. Boleh aku baca karya kamu?”
Baru
kali ini jantungku dibuat dag dig dug
oleh sosok pria. Mungkinkah ia orang tepat yang akan mengerti dan mendukung apa
yang kuinginkan? Namun, aku belum berani berharap sejauh itu, ia baik, tulus
berteman denganku. Maka tidak akan kusalahartikan kebaikannya ini.
Dendy
yang menuntunku pada jalan baru, ia mengenalkanku pada satu komunitas yang
sesuai dengan hobiku. Di grup Antologi Es Campur inilah, aku belajar, menemukan teman baru dan
berbagi ilmu tentang dunia menulis. Banyak ide yang bersarang dalam otakku, di
sini kutemukan sarana untuk berkarya.
Kebodohan
yang mengakar, kini akar itu telah dicabut habis dalam pikiranku. Bukankah
pikiran adalah gudang segalanya? Apa yang kita pikirkan maka seperti itulah
jadinya kita. Dan aku tak ingin berpikir negatif, hanya ingin terus berkarya,
itu saja!
“Terima
kasih ya, Dendy. Tapi, kenapa kamu begitu baik sama aku?”
“Sebenarnya
itu caraku menebus kesalahan yang dulu.”
“Maksud
kamu?”
“Pacarku
dulu menyukai dunia menulis, tapi aku selalu melarangnya karena banyak menghabiskan
waktu dengan hobi sedangkan aku terabaikan. Semuanya telah berakhir, ketika dia
pergi dari dunia ini, satu hal yang bisa aku kenang adalah karyanya dalam
bentuk buku.”
Oh,
Dendy ternyata ia memiliki masa lalu yang tak pernah aku tahu. Bukan karena menyukaiku, hanya karena ingin menebus dosa yang lalu. Tidak apa,
dari awal aku telah siap dengan apapun yang akan terjadi.
Setidaknya
sekarang aku punya mimpi mewujudkan karya agar bisa mendapat apresiasi dari
para penikmat kata. Meski aku bukanlah peramu kata yang bijak, tapi aku mencoba
menghidupkan keindahan kata.
Meski cinta belum kudapatkan, berharap cita bisa kutoreh
bersama AE Publishing. Aku pasti bisa! Do
it right now, Na!
***
Cianjur, 29 Maret 2015