Oleh : Nanae Zha
Dia yang mengajari tersenyum
diam-diam. Namun, juga orang pertama yang memperkanalkanku pada kata patah
hati. Buyarkan segala mimpi, tajam tatapannya mengelabui senja, membuai
cakrawala.
Tiada
yang mampu melukiskan keindahan jingga, ratusan pujangga memuji dalam rangkaian
kata. Langit memendarkan cahaya kesumba. Aku masih berdiri mengenang semua yang
terjadi di bawah langit yang sama.
“Zia,
kumohon jangan pergi!”
“Lupakan
aku, Mas. Kita sudah tidak cocok,” jawabnya dingin dan sinis.
Desiran
perih menyeruak dinding hatiku. Entah apa yang membuatnya berubah. Mungkinkah cinta
yang terjalin kini memudar seiring berlalunya lembayung petang. Bulan berlalu,
aku masih sendiri, begitu menyesakkan. Tuhan, jangan biarkan aku membenci senja
ini karena rasa letih menunggu.
“Dion, lupakan saja Zia. Jangan sia-siakan hidup menunggu
sesuatu yang tak pasti, kamu itu lelaki jangan lembek cuma karena satu
perempuan,” ucap Firman untuk yang kesekian kalinya.
“Apa
salahnya menjadi lelaki setia? Bukankah seorang pria yang dipegang adalah
ucapannya?” Sejujurnya sering kali kami
berdebat hal yang sama. Aku tahu dia melakukan itu karena peduli.
“Baiklah,
jika kamu ingin setia. Maka, tunjukkan dengan bukti nyata!”
“Maksud
kamu?”
“Datangi
rumah Zia dan tanya kenapa dia meninggalkanmu!” Ucapan Firman terasa menusuk
jantungku, tapi apa yang ia katakan ada benarnya. Aku tak bisa terus menunggu.
Senja
di hari yang berbeda, aku mengunjungi rumah sederhana di dekat perbukitan desa
sebelah. Mencari keberadaan Zia, akan kutanyakan apa alasannya meninggalkanku,
jika ia telah memiliki pengganti yang lebih baik, maka aku ikhlas melepasnya.
“Dion?
Saya kakaknya Zia. Akhirnya, beruntung bisa bertemu denganmu. Dulu, Zia
meninggalkanmu karena sangat mencintaimu. Ia mengidap maag kronis dan tak kuasa untuk mengatkan kebenarannya. Sampai saatnya
ia tak mampu bertahan, hanya satu pesannya, agar kamu bahagia karena ia telah
damai dalam pangkuan-Nya.”
Bulir
air mata membasahi pipi tanpa bisa kukendalikan. Kenangan menapaki jejak yang karam,
senja selalu saja membawa kegelapan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar