Oleh : Nanae Zha
Sakit itu jika
mengingat kenangan yang ingin dilupakan namun masih merekat dalam ingatan.
Disadari atau tidak semakin lama seperti virus yang menggerogoti hati dan pikiran.
Lelah? Pasti iya, lalu kembali menyalahkan waktu yang terbuang percuma. Benci
dan sesal menjadi satu, mengapa dia yang harus hadir dalam hidupku?
Hari itu, aku berdiri
di sebuah counter HP, hanya sesaat untuk menanyakan berapa harga batre yang ori.
Dika dengan senyum manisnya menyodorkan sebuah barang baru yang ia janjikan
sangat berkualitas. Seharusnya aku menundukan pandanganku dari tatapan
pria-pria yang entah ada apa dalam otak mereka. Tapi, saat itu aku khilaf, mata
itu terlanjur menghipnotisku begitu dalam hingga aku terbuai oleh semua ucapan
manisnya.
“Dika,” ucapnya tegas
dengan tatapan masih memandangku tanpa berkedip, senyum nakal itu jika kuingat
lagi sungguh sangat menjijikan.
“Arni,” jawabku sambil
membalas uluran tangannya yang jauh lebih putih daripadaku.
Iya, kelemahanku yang
seringkali tergila-gila oleh ketampanan aktor dari Korea selalu membuatku
menyukai tipe cowok berwajah Chinese. Dika salah satunya.
Perkenalanku saat itu
membawaku pada babak baru, mengenal cinta yang dulu hanya bisa dirasakan
melalui degupan. Kini, cinta bisa aku rasakan seutuhnya, bukan hanya merasakan
atau menatap dari kejauhan namun dia dekat di sisiku, memeluknya. Aku bahkan
terlalu berani untuk melakukan itu, tapi apa daya rayuan Dika begitu memesona.
“Aku janji, akan segera
melamarmu,” katanya meyakinkan setiap kali ia melancarkan serangan kecilnya.
Serangan kecil yang kian lama kian besar, dan semakin besar juga janjinya
padaku.
“Nanti kalau kita
nikah, kamu mau mas kawin apa?” katanya, “Emas 20 gram cukup? Atau bukankah
kamu ingin mobil Honda Jazz berwarna merah itu?”
Aku matre? Iya, wanita
mana yang takkan goyah hatinya jika diiming-imingi dengan masa depan terjamin.
Ah, dia terus berjanji ini itu. Kini, janji tinggal janji. Satu dua bulan
hubungan kami masih baik-baik saja, jika ada hal yang tidak sesuai selalu bisa
kita selesaikan. Bulan ketiga dan seterusnya sering terjadi pertengkaran kecil
karena hal sepele. Misalnya karena dia telat balas BBM, hal sepele seperti itu
memicu pertengkaran besar.
Hingga suatu hari,
beberapa kali aku sering memergokinya berbohong saat diminta menjemput dari
kampus. Dia bilang ada kerjaan dan banyak pelanggan, jadi tidak bisa
meninggalkan toko. Ternyata aku melihat dia jalan dengan orang lain, memang
bukan cewek masih teman-temannya, tapi itu salah satu bukti bahwa aku sudah
nggak berarti baginya. Aku cukup kecewa!
Di lain waktu, aku
melihat ia boncengan dengan seseorang wanita, kali ini benar-benar wanita
sama-sama berkulit putih, bermata sipit dengan rambut panjang yang terurai.
“Dia adikku, Ar,”
sanggahnya saat kutanyakan tentang siapa gadis yang aku lihat tadi siang di
jalan dengan motor matic warna merah itu.
Semakin lama, semakin
sering kami bertengkar, akhirnya hingga suatu malam ia meninggalkanku di tengah
jalan. Dan tidak pernah berbalik lagi ...
“Dika, aku
merindukanmu!”
SMS, telepon dan juga
BBM tidak aktif, entah kemana perginya. Hingga aku kehilangan kesabaran lalu
kukunjungi counter tempatnya bekerja.
“Wahyu, kamu bisa antar
aku nggak ke tempat kerjanya Dika?” tanyaku pada Wahyu, sahabat terbaik yang
beberapa bulan ini mulai jarang diajak ngobrol. Sekilas kulihat ekspresi malas
dari wajahnya, tapi dia memang sahabat yang baik. Meski setengah terpaksa ia
memenuhi permintaanku.
Sesampainya di sana,
toko masih tertutup rapat padahal biasanya jam segini mereka sudah buka. Aku
menghampiri toko sebelah, Arif penjaga toko yang tampaknya sudah cukup
mengenalku dari kejauhan, tersenyum, sedikit kikuk.
“Mas Arif, toko Dika
kok belum buka ya?” tanyaku.
“Heh? ehmm ... duh
nggak tahu ya, Ar, sorry,” ucapnya
dengan ekspresi yang cukup membuatku bertanya-tanya.
“Ya sudah, terima kasih
Mas.”
“Ar, tunggu! Tapi, kamu
harus tahu ini, datang saja ke Jl. Sudirman no. 18.”
Usia pacaran kami telah
lebih dari sepuluh bulan berarti dua bulan lagi hubungan ini genap satu tahun.
Rasanya tidak sabar menunggu moment
penting itu, tapi kini rasanya sudah tidak penting baginya. Diingat-ingat aku
belum pernah menginjakkan kaki di rumah Dika, Arif saja tahu masa aku tidak
pernah diajaknya. Tak bisa kutepis rasa kecewa itu. Wahyu masih setia menunggu
dengan motor bututnya yang kadang-kadang membuatku malu karena harus ikut
mendorong saat mogok.
“Motormu masih bisa
diajak kompromi nggak? Kita ke Jl. Sudirman,” ucapku tanpa jeda sebelum ia
menjawab ketidak sanggupannya. Ia hanya mengembuskan napas, lalu menyuruhku
naik.
Setelah berputar
beberapa kali dan belum menemukan alamat yang jelas, akhirnya memutuskan
bertanya daripada membuat motor Wahyu tambah ngadat.
“Maaf Bu, boleh tanya
alamat ini di mana ya?” tanyaku pada seorang ibu pemilik warung kecil di depan
kompleks perumahan.
“O, ini lurus saja
Mbak. Itu dari sini juga kelihatan yang lagi ada hajatan itu loh, Mbak.”
“Heh ... hajatan siapa?”
“Lha ya anaknya pemilik
rumah toh Mbak, hari ini dia menikah.”
“O, kakaknya Dika yang
perempuan ya?” tanyaku mengingat Dika masih punya satu kakak perempuan yang
belum menikah.
“Hah? Kakaknya? Dina
itu anak satu-satunya kok Mbak.”
“Lho, bukannya itu rumah
Dika?”
“Lho ya bukan Mbak,
justru Mas Dika itu calon mantu keluarga ini.”
“Apa??!”
Tak lama berselang
kulihat iring-iringan pengantin melintas di depanku dan Dika dengan baju manten
berada di salah satu mobil itu. Mata kami berpapasan, jantungku serasa berhenti
berdetak, napasku sesak, lututku lemas, aku benar-benar hancur. Dika orang yang
paling kucintai kini telah mengkhiannatiku. Betapa bodohnya aku memercayai
semua ucapannya.
Aku benci dia.
Wahyu, dia hadir di
tempat dan waktu yang tepat seperti sebuah wahyu yang membawa petunjuk dan
jalan kebenaran. Sahabat yang selalu mendengar keluh kesahku, yang beberapa
waktu kemarin sempat kuabaikan, beberapa nasihat darinya karena aku hanya mau
mendengarkan ucapan Dika. Dika lah yang paling berhak mengatur ini itu karena
dia pacarku. P-A-C-A-R! Iya, PACAR yang aku banggakan, aku lupa status kami
yang hanya pacar, seiring berjalannya waktu bisa saja jadi mantan.
Wahyu mengusap bahuku,
tak banyak kata keluar darinya. Dia cukup tahu, semua kata-kata itu takkan
cukup untuk menghibur. Jadi, ia biarkan saja aku menangis. Aku harus berubah
demi seseorang yang akan menerima, dan mencintai keluaraga ini apa adanya
dengan segala keurangan dan kelebihannya.
“Kamu terlalu jauh
melangkah, Ar. Maukah kamu kembali padaku?”
Sesungguhnya ucapan itu
sulit kucerna, telah banyak waktu terbuang percuma. Aku telah terjatuh pada
jurang paling nista yang dibenci Allah. Wahyu membimbingku, selalu ada hikmah
di balik musibah, persahabatan kami kembali baik. Tanpa pacar kuliah pun
lancar, bahkan hidupku jauh lebih baik. Bersyukur Allah membukakan mataku lebih
awal.
Mantan memang tercipta
untuk dilupakan bukan untuk dikenang.
***
-END-
Cianjur, 08 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar