Oleh: Nanae Zha
Kamu tak akan pernah bisa melihatku, tapi aku selalu
abadi di hidupmu ....
Aku masih terus berjalan hanya mengikuti ke mana angin
bertiup. Suasana pedesaan yang jarang bisa kutemui, udara segar tanpa polusi
meski tidak mampu mengubah keadaan. Langit di bulan Februari, bulan kasih
sayang yang menyesakkan. Kutatap semburat jingga menyaput langit sore itu. Apa
hebatnya senja? Ketika banyak orang yang mengagumi bak pujangga. Puisi-puisi
senja yang tak beralas, kotor dan menebar bau busuk di setiap sudut harapan. Dan
aku kehilangan harapan itu!
Buukk!
“Aaww!” Seseorang
menabrak, hampir saja aku tersungkur ke tanah. “Kamu buta ya?!” bentakku masih
menahan rasa nyeri di lengan.
“Maaf,” ujar
seorang gadis yang tampak biasa saja. Penampilan sederhana, rambutnya dibiarkan
tergerai dan melambai-lambai saat tertiup angin. Hanya ada jepitan rambut kecil
yang menghiasi kepalanya.
Aku mendengus
kesal, ekspresi yang cukup kentara karena mood-ku
yang mudah berubah akhir-akhir ini. Aku tidak berniat berbasa-basi dengannya.
“Tunggu!” Sergah
gadis asing itu. “Saya memang buta, maafkan saya yang sudah membuat kamu kesal
karena kebutaan saya,” tuturnya.
Aku tersentak,
langkahku spontan berhenti. Kupandang gadis yang berdiri di depan dengan rasa
heran. Kuselidiki dari ujung kaki hingga ujung kepala, tidak akan ada yang
menganggap dia tidak sempurna. Hanya tongkat itu yang membuatnya tampak aneh
sedari tadi.
Aku masih
bergeming dari kedua bola mata gadis itu. Menatap jauh ke dalam, mungkin tak
ada cahaya yang jatuh ke dalam retinanya, tapi matanya masih bersinar penuh
semangat. Masih penasaran, kuangkat kedua tangan lalu mengibaskan di depan
wajah gadis itu, tapi tetap tak ada respon. Sayang
... bola mata yang indah, gumamku.
“Mataku
cukup indah untuk kalangan orang buta, meskipun tidak bisa melihat bukan
berarti saya tidak mengetahui apa yang kamu lakukan.” Aku terperanjat seolah ia
bisa melihat dengan jelas.
Aku melihat
ke sekitar, namun tak ada satu orang pun di sana selain. Kenapa bisa gadis buta dibiarkan sendiri? Pikirku.
“Tempat ini
sudah menjadi sahabat sejak kecil, saya mengetahui setiap inci desa ini. Jadi,
saya tidak membutuhkan kawalan dari siapapun,” terangnya membuatku semakin
yakin ia memiliki indra keenam untuk membaca pikiran orang lain.
Entah
bagaimana bisa? Senja itu, kami menghabiskan waktu bersama, bertukar cerita
meski lebih banyak Fira yang bercerita. Aku hanya berperan untuk menjadi pendengar
yang baik. Masih terselip tanda tanya besar dalam benakku, mengapa Fira bisa
setabah itu? Mengalami kebutaan sejak dini bukanlah hal mudah yang bisa
dilewati, bahkan Fira bisa berdiri dengan bangga di hadapan semua orang karena
kebutaannya.
“Kegelapan
ini lebih baik bagiku, setidaknya saya tidak perlu melihat ekspresi orang-orang
yang mengasihaniku!”
Aku terperangah
sekali lagi, ditatapnya dua bola mata yang tertimpa langit senja. Senja yang
nampak berbeda dari sebelumnya. Entah itu karena cuacanya atau mungkin karena
kehadiran Fira yang membuat berbeda. Namun yang pasti, rasa kagum itu muncul
diam-diam.
***
“Fira, maaf saya terlambat,” ucapku penuh penyesalan.
“Enggak apa-apa, saya juga belum lama di sini.”
Setelah
pertemuan kemarin sore, hari ini pun kami berjanji untuk bertemu lagi. Entah
siapa yang memulai, rasanya hal itu bukanlah menjadi hal yang penting. Kini
kenyataannya kami bersama. Itu sudah cukup.
“Tongkat
kamu mana?” tanyaku heran.
“Saya tidak
membutuhkannya sekarang, bukankah ada kamu? Kamu yang akan menjadi tongkat
penunjuk jalanku, dan saya akan melihat dunia dengan matamu. Boleh?” tanya Fira,
baru kali ini aku merasa tersanjung. Kini, ada seseorang yang memercayai dengan
tulus bahwa aku pun bisa menuntun, bukannya selalu dituntun oleh orang lain.
“Tentu saja
boleh! Aku akan memperkenalkan banyak hal indah di dunia ini. Kamu bisa
menikmatinya sepuas kamu mau.” Kami tertawa lepas, setelah sekian lama lupa
bagaimana caranya tertawa. “Kita mau pergi kemana?” tanyaku yang memang belum
mengenal tempat ini.
“Ke atas
bukit itu!” Fira mencoba menunjuk dengan benar arah yang ditujunya. Aku menatap
jalanan berbatu yang menanjak, tepat di atas bukit itu hanya ada sebuah pohon
yang nampak rindang.
“Kenapa kita
ke sana?”
“Saya ingin
melihat pelangi.” Senyum Fira semakin mengembang.
Ah, gadis ini bagaimana cara dia melihat pelangi? Dia kan
buta! Aku terus bergumul dengan pikiranku. Kemudian ingat bahwa Fira bisa melihat
indahnya dunia melalui mataku.
“Saya tidak
akan melihat seperti cara kamu melihatnya! Saya punya cara untuk melukiskan
indahnya warna pelangi. Merah, kuning, hijau berpadu dengan langit senja,
bukankah itu memberikan sensasi yang berbeda?”
“Entahlah!” Aku
terdiam, awalnya aku membenci senja yang hanya membawa kegelapan dan rasa
dingin yang hambar.
“Hari ini
saya menerima telepon dari dr.Pram. Katanya saya mendapatkan donor mata yang
cocok. See, keajaiban itu ada! Saya
tinggal menunggu hari yang menakjubkan itu.” Fira tampak antusias dengan kabar
baiknya.
“Benarkah?
Syukurlah, aku berharap kamu bisa mewujudkan impianmu setelah ini.” Aku ikut
berbahagia dengan kabar yang luar biasa.
“Iya, tentu
saja meski tidak semua keinginanku bisa terwujud,” katanya dengan nada sedih.
“Apa mimpi
terbesar dalam hidupmu?” tanyaku, padahal diriku sendiri tidak pernah berani
bermimpi.
“Mama, aku
rindu orang tuaku. Tapi, semuanya tidak akan kembali.” Ia terdiam, namun tak
ada air mata di sana. Entah karena telah habis atau mungkin ia bendung sekuat
mungkin di balik netranya. “Ceritakan tentangmu! Kenapa kamu begitu pendiam?
Setiap kuceritakan tentang mimpi dan keajaiban, kamu kelihatan pesimis! Apa
kamu tidak punya harapan?” Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Apa yang
harus kuceritakan? Harapan itu telah hilang, jika aku banyak bermimpi maka aku
akan sulit menghadapi kenyataan.”
“Maksud
kamu?” Aku menarik napas dalam, ada rasa getir dalam setiap kata. “Seperti aku
yang memercayai keajaiban, kamu pun pasti akan mendapatkannya.” Fira memegang
tanganku, ada getaran berbeda saat ia meraih kedua tanganku. Terasa dingin di
awal kemudian hangat menjalari tubuh.
“I hope ...,” jawabku datar tanpa janji
yang muluk-muluk.
“Janji?!
Saat aku membuka mata, kamu harus hadir di sana!”
“Baiklah, aku
janji.”
Fira gadis
buta yang selalu menunjukkan tentang harapan hidup, berbanding terbalik denganku. Ia memiliki semangat hidup
yang tinggi, bagaimana cara tersenyum, menghindari airmata yang hanya akan
mengundang belas kasihan. Langit sore itu tanpa bias lembayung namun mampu
meneduhkan hati dalam kegamangan.
***
RS.St.Borromeus
Bandung, setiap dinding menjadi saksi bisu. Aku membentur-benturkan kepala pada
tepi ranjang. Mama menahan tubuhku yang terus menggelinjang, dalam dekapan mama
baru aku bisa tenang.
“Sakiiitt,
Ma,” ucapku lirih.
“Bertahan
sayang, jangan sakiti dirimu lagi, Mama mohon.” Nasihat mama yang kelihatannya
sudah lebih ikhlas dengan apa yang akan terjadi.
“Ma, aku
enggak mungkin bisa menemui Fira setelah operasi. Tolong kasih surat ini
untuknya! Janji itu harus kutebus dengan cara yang berbeda.”
Mama
mengangguk, menerima sepucuk surat untuk Fira. Seseorang yang mampu mengubah
hidupku meski hanya dalam hitungan hari. Terdengar isakan kecil yang terasa
lebih menggema dalam ruang yang tak seberapa luas itu.
Cinta
pertama di bulan Februari, menyisakan banyak kenangan yang tak mudah dilupakan.
Mungkinkah hanya sampai di sini kisah kasih yang baru saja kumulai? Mungkin
benar cinta tak harus memiliki dan aku bisa mencintaimu dengan cara yang
berbeda.
Aku sakit Fir, kanker otak stadium 4. Setiap hari aku
hanya mengenal rasa sakit yang terus menjalari otakku hingga akhirnya
melumpuhkan seluruh sistem imunku. Ketika rasa sakit itu menyerang,
satu-satunya yang kamu lihat adalah kematian di hadapanmu!
***
Fira mengalami kebutaan di usia lima tahun akibat
kecelakaan yang menimpa keluarganya. Kedua orangtuanya tewas seketika, hanya ia
yang berhasil diselamatkan. Karena benturan keras itulah, penglihatan yang
awalnya normal kian lama kian memudar, akhirnya meninggalkan warna gelap yang
tersisa.
Ia tinggal
dengan kakek dan neneknya di desa. Karena faktor ekonomi Fira kecil tak pernah
mengalami operasi, tapi dokter pernah bilang kebutaannya bukanlah buta
permanen. Fira masih bisa disembuhkan! Hanya kata-kata itu yang ia percayai.
Suatu saat keajaiban itu akan hadir dan menghampirinya, makanya ia tak pernah
berhenti berharap.
Di ruangan lain
masih di rumah sakit yang sama.
“Nek, nanti Fira bisa melihat lagi.”
“Iya, Fir, alhamdulillah doa kita selama ini akhirnya
terkabul. Semoga operasinya berjalan lancar.
“Aamiin ....”
Pikirannya
masih menerawang pada Adrian. Kemarin ia tak sempat pamitan saat dokter Pram
menjemputnya untuk dibawa ke kota. Tentu saja untuk operasi besar harus dirujuk
ke rumah sakit yang lebih lengkap dan canggih karena di Rumah Sakit Desa
peralatannya belum memadai.
Beberapa jam
lagi operasi akan dilakukan. Ia berharap Adrian akan hadir saat perban
pertamanya dibuka.
Beberapa hari kemudian ....
Teruntuk Fira
Fira, selamat untuk kelahiran barumu melihat dunia, aku bersyukur dan turut
berbahagia untukmu. Terima kasih atas kenangan yang telah kau berikan, atas
semua mimpi yang ingin kau wujudkan karena mimpi-mimpimu yang membuatku merasa
ingin hidup lebih lama denganmu.
Kamu pernah bilang ingin melihat dunia dengan mataku, namun aku tak kan
selalu ada di sisimu. Maaf, aku tak bisa menepati janjiku, tapi aku menepati
dengan caraku! Aku tetap berada di sisimu saat pertama kali kau melihat cahaya.
Tatap matamu Fir, maka kamu akan melihatku di sana! Terima kasih atas cinta
yang pernah hadir dalam detik akhir hidupku. Titip Mama untukku, bukankah kamu
ingin tahu rasanya punya Mama? Dia akan mencintaimu, seperti cintaku yang takkan
pernah habis untukmu!
Salam sayang Adrian
Tak terasa air mata Fira meleleh, tak mampu berkata-kata,
ada rasa sakit menyayat hatinya.
“Fira mata
itu bukan untuk mengeluarkan air mata, tapi untuk menjemput impian besarmu
melihat dunia.” Mama Adrian menahan sedu sedan yang tersekat di ujung pita
suaranya.
“Iya, Tante,
Fira janji enggak akan menangis dengan mata ini.”
“Fira, bisa
panggil Mama, kan?” tanya Mama Adrian.
“Ma-ma ....”
Fira memanggil dengan terbata-bata.
Mereka
berdua berpelukan, menangis bersama, ada bahagia di sela air mata. Akhirnya
Fira bisa menatap dunia, melihat jutaan warna. Dan kini ia punya seorang Mama.
Apalagi yang kurang darinya? Fira menatap cermin, tak begitu penting dengan
wajahnya karena yang ia tatap adalah sepasang mata yang abadi, menemani sampai
akhir hayat dari orang yang ia cintai. Adrian!
Bulan
Februari, ada kasih yang tak sampai, namun ada cinta lain yang hadir. Hidup
selalu seperti itu, penuh keajaiban.
***
END
Cianjur, Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar