Oleh : Nanae Zha
“Kak,
Dina mau jalan-jalan ke Dufan kayak keluarganya Cika.”
“Iya,
nanti kalau punya uang kita pergi ke sana.”
“Kapan?”
Tentu saja pertanyaan yang belum bisa aku jawab, karena bagi Dina jawaban itu akan
menyisakan harapan. Harapan yang mungkin tidak akan pernah terwujud.
Cuaca
hari ini begitu panas, tidak ada pertanda bahwa langit akan turun hujan. Sesaat
aku terdiam menatap selebaran di depan mata. Lowongan pekerjaan sebagai badut
di taman kota. Aku segera mencatat nomor serta alamat yang tertera. Tak buang
waktu, kesempatan itu tak selalu ada, khawatir lowongan terisi oleh orang lain.
Dina, kalau sudah punya uang kita
bisa bermain ke Dufan. Geremet hatiku
Aku
mengayuh sepeda tua dengan kencang, tak peduli dengan hiruk pikuk jalanan dan
panasnya cuaca yang membakar kulit. Tepat di tikungan, tanpa sempat
kukendalikan sebuah mobil pick up
menyenggol sepeda.
“Arrrgghhh
....”
Aku
terjatuh, celana sobek tepat di bagian lutut. Dari sana mengucur darah segar,
bukan karena darahnya yang menjadi masalah. Kakiku nyaris tidak bisa digerakkan
sama sekali.
Orang-orang
yang bersimpati menolongku. Awalnya mereka akan membawa ke rumah sakit.
Lagi-lagi yang menjadi pikiran adalah biaya perawatan dan hal tak terduga.
Sedangkan Dina di rumah sendiri. Dengan segala kerendahan hati, aku memohon
agar dibawa pulang ke rumah.
“Kakak
kenapa?” tanya Dina. Air mata memburai dari dua bola matanya yang bulat.
“Dina,
maafkan Kakak belum bisa mengajakmu ke Dufan.”
“Enggak
apa-apa, Kak. Dina enggak mau ke Dufan, cuma mau Kakak cepet sembuh,” tuturnya
menggetarkan hatiku.
Seharian
ini ia menemaniku, dengan menonton kartun kesayangannya. Doraemon yang memiliki
kantong ajaib, bisa mengabulkan apapun keinginan Nobita.
“Kalau
Dina punya Doraemon, Dina mau pintu ajaib ke Dufan. Pasti rasanya menyenangkan.”
Andai
saja aku bisa menjadi Doraemonnya Dina, memenuhi segala pintanya. Sayangnya Doraemon
itu tidak ada.
***
Cianjur, 15 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar