Minggu, 28 Agustus 2016

RINDU


By : Nanae Zha

Sepagi ini rindu telah memburu.
Menautkan jarak yang membentang
antara kamu dan aku.

Adakah kau tahu?
Tak bertemu bukan berarti tak rindu
Tak jumpa bukan bermakna tak cinta
Biarlah kusenyapkan namamu dalam segala doa,
cukup Tuhan yang tahu.

Cjr , 28/08/16

Jumat, 12 Agustus 2016

Full Day School, Siapa Takut?





Akhir-akhir ini media sosial marak dengan berbagai berita, mulai dari pernikahan dini, orang tua murid yang memukul guru, atau wacana dari Mendikbud mengenai full day school.  Biasanya saya hanya menyimak lalu mencerna sendiri. Hingga beberapa hari lalu mulai tergelitik, bahwa bupati daerah kami menyetujui wacana Mendikbud tersebut. Terdengarlah omelan teman di kala makan siang itu yang panjang lebar, waktu itu saya hanya mesem dan bersikap manis. Ya, akhir-akhir ini saya memang manis. #pletak :D

Ada banyak pendapat yang saya dengar, menyatakan ini adalah kegilaan, menteri kok nggak mikir sih! (Nggak punya hati, nggak pake otak, nggak punya anak) Pasti ada unsur politik mengenai pencairan dana pendidikan yang besar. WOW! Suudzon makin melebar.

Nah, karena saya belum punya anak (baca: belum punya suami juga L) jadi berada dalam zona pertengahan. Tidak mau disebut pro, tidak juga lantas kontra. Ada banyak pertimbangan ketika wacana ini bergulir, pastinya bukan tanpa pertimbangan. Sok bijak yee ... :D

Pada dasarnya ini bagus, lho. Coba kita lihat dari sudut pandang lain.

Bagi saya pribadi ini bukan hal baru, apalagi mereka yang sejak dini telah masuk kawasan pesantren (lebih dari full day itu). Karena saya bukan anak keluaran pesantren, jadi ini hanya cerita keseharian dulu. Saya suka berada di sekolah. Toh, tak selamanya di sekolah itu terus-terusan belajar. Apalagi jika memiliki banyak teman, gurunya kreatif dan inovatif, menciptakan situasi belajar yang kondusif. Pulang sekolah saya harus sekolah agama, atau di sela itu ikut ektrakulikuler, bimbingan belajar atau kursus. Otomatis jam sekolah saya, full sampai pukul 5 sore. Makanya, saya nggak kaget dengan wacana itu karena saya pernah mengalami dan menjalani semua dengan have fun, masih hidup dan bahagia sampai sekarang. Tidak ada perasaan tertekan, justru kembali merindukan masa-masa itu.

Baiklah, saya mengakui kalau cenderung setuju dengan full day school. Why?
“Jelaslah! Kamu nggak punya anak dan belum merasakan bagaimana khawatirnya menjadi orang tua.”
Oh, tidak! Saudara-saudara ... pertama, saya pernah mengalami menjadi kanak-kanak. Kedua, saya mengurusi ketiga adik yang reseknya luar biasa.
Jadi, saya bisa merasakan bagaimana lelahnya mengurus anak-anak. Hohoho ....

Yang harus dibenahi adalah:
1.       Kesiapan Mental Orang tua

Sebetulnya yang tidak siap bukan anak-anak. Namun, kekhawatiran orang tua yang berlebihan. Ada banyak pertimbangan:
-          Bahwa usia anak adalah usia bermain, anak jangan dijejali belajar selama seharian, itu bisa stress.
-          Waktu bersama keluarga semakin berkurang.
-          Bagaimana dengan sekolah agama, ngaji dan jadwal belajar di rumah?
-          Dan segudang kalimat yang menyatakan ketidaksetujuan.

Alasan-alasan di atas betul adanya. Namun, bagi wanita karier seperti teman saya—yang pulang kerjanya pukul 4 dan bisa sampai rumah pukul 5 sore—ini adalah salah satu solusi. Justru dengan full day school, ada ketenangan ketika kita menitipkan anak di tempat yang tepat. Bukankah anak lebih terkontrol mainnya dengan diawasi guru, dan teman yang sebaya? Saya tidak yakin, jika anak yang tanpa orang tua di rumahnya, nggak ada pembantu, apakah yakin pulang sekolah bermain dengan anak seusianya?

Dengan full day school, justru manajemen waktu lebih terkontrol, saat anak pulang, istirahat, quality time dengan keluarga, langsung tidur. Nggak ada waktu bermain dengan yang kurang bermanfaat. Apalagi gadjet, game online seringkali membuat anak lupa waktu.

Untuk bermain, Sabtu-Minggu libur, kan? Emak bapaknye bisa nemenin juga tuh di rumah. Atau sesekali membiarkan bermain dengan temannya tanpa khawatir. Kan orang tua bisa melihat dia pergi dengan siapa? Right?

Jadi, komunikasikanlah baik-baik dengan anak, jangan karena ketidaksiapan mental orang tua akhirnya memengaruhi mental anak juga yang merasa tertekan dengan program ini.

Lantas bagaimana dengan yang bukan wanita karier? Kembali ke kesiapan mental, kepercayaan terhadap guru dan pendidikan. Bukankah jika anak di sekolah, ibu-ibu juga bisa berkarya lebih baik. Bukan berati menghabiskan waktu dengan nonton sinetron, bergosip, tapi bisa diisi pengajian rutinan, wirausaha, atau menulis misalnya haha ...

2.       Kesiapan Mental Guru

Seperti yang semua orang tahu, bahwa jam kerja guru lebih santai daripada karyawan swasta (mungkin hehe ... maaf, atas kelancangan murid terkutuk ini). Nih, ya di tempat saya kerja, telat lima menit potong gaji, izin tanpa keterangan jelas potong gaji, cuti nggak di Acc potong gaji lagi. Waktu makan, istirahat plus salat cuma setengah jam, pun dilarang bawa Hp, makanan, dsb. Sedih, kan? PNS mah bebas, udah gitu setengah hari. Wkwkwk .... (baiklah ini curhat, efek sedikit iri, sedikit, kok, serius!)

Jika diberlakukan full day school, siapkah dengan perubahan jam kerja seperti itu? Waktu dengan keluarga berkurang. Apalagi mengurus anak orang seharian lebih sulit daripada mengurusi benda mati seperti kerjaan saya hehe ... Wah, kalau nggak siap mental bisa stress, kan?

Maka, merupakan PR besar bagi Mendikbud jika akan diberlakukan sistem ini.
1.       Apakah fasilitas di setiap sekolah (terutama di daerah terpencil) sudah lengkap; perpustakaan, lab. Komputer, bahasa, dan segala penunjang yang membuat siswa betah di sekolah?
2.       Program pengajaran yang akan diberikan kepada anak-anak selama seharian berupa apa saja? Adakah penunjang untuk permainan, pengenalan lingkungan, solidaritas, kedisiplinan, dan yang penting agama.
3.       Mungkin akan lebih baik, jika sekolah agama itu dalam naungan yang sama. Jadi, setelah zuhur itu khusus untuk materi agama, tata cara salat, wudhu, mengaji, belajar bahasa Arab (ah, serasa di pesantren J) mungkin nanti disesuaikan bagaimana dengan non-muslim. Entah, ya, ini sih menurutku meski mungkin banyak mengubah sistem pendidikan terutama menyangkut beberapa lembaga pendidikan informal.
4.       Makan siang anak disediakan, ya? Catering khusus gitu, kayak di perusahaan (standart harus lebih baik daripada catering perusahaan saya) Jangan membiasakan anak jajan sembarangan, lho, apalagi seharian. Hiks ...

Kalau saya punya anak mau pilih sekolah yang mana?
Tanya abinya dulu, ah, mau pilih sekolah yang mana, full day atau reguler school? Karena merasa papa ilmu dunia-akhirat, kok malah pengin anak masuk pesantren aja. Bukan mau jadi wanita karier, kalau bisa mah mending jadi ibu rumah tangga aja, kerja di rumah juga sebagian daripada ibadah. Haha ...
Bukan soal tega juga, justru karena sayang. Khawatir tidak bisa mendidik anak dengan baik. Apalagi saya belum tentu siap jika anak minta nikah di usia 17 tahun. Yuk! Abi, bantu Umi mendidik anak-anak kita. #Huuaaa ...

Demikian cuap-cuapnya jika ada perbedaan pendapat itu wajar. Silakan komen tanpa harus saling menjatuhkan, ini hanya celoteh saya yang awam, tidak berpendidikan, juga calon ibu yang bahkan belum menikah. Ya, Allah ... :D

#KalimatTerakhirNoBully :P