Sabtu, 23 Agustus 2014

Senyuman Hamba Sahaya (Demi Emak, Bapak dan Adik Tercinta...)


Hari itu, pertama kalinya meninggalkan orang terkasih dengan mata berembun. Namun, butir kristal bening mampu kubendung di hadapan mereka. Sejenak, berusaha mengembangkan bibir membentuk bulan sabit, diiringi doa restu langkah semakin mantap. Demi keluarga tercinta, rela melewati samudera, jalanan terjal dan berliku menuju “surga BMI” begitulah orang menyebutnya.
Kini, satu tahun telah berlalu, mereka yang terkasih tak pernah tahu. Dan berharap mereka tak usah tahu akan segala duka dan luka. Aku harus bertahan menghadapi Nyonya pelit dan Tuan yang tak berhenti menggoda. Malam yang menyiksa, Nyonya pergi setelah menerima undangan dari temannya. Kutelan sesuap nasi yang bukan selera, hambar tanpa rempah-rempah alami Nusantara. Tak ternyana, lengan perkasa itu menarik, aku menjerit, meronta dan kesakitan.
“Apa yang Tuan lakukan?” teriakku, ia makin beringas, di hati tak berhenti menyebut nama Tuhan. Saat itu, tebersit lagi senyum kedua orang tua, mencoba bertahan meski harus menelan kutukan seluruh mata dunia.
Tidak! Aku tak boleh lemah dan menyerah begitu saja. Bukan seperti ini tujuan perjalanan para TKW, kami datang untuk bekerja, menjual tenaga bukan untuk menjual diri! Tekadku. Dengan susah payah berhasil menggapai buku yang berjajar di atas rak. Buku yang cukup tebal, kulayangkan tepat di pelipis mata. Ia mengerang sambil menutup matanya yang mulai berair. Kugunakan kesempatan itu berlari ke dalam kamar, mengunci sampai akhirnya Nyonya pulang. Malam itu aku selamat, pelajaran pertama dan selanjutnya tak akan kubiarkan majikan berlaku sewenang-wenang. Setiap kali Nyonya pergi pintu kamar dikunci, tak peduli Tuan mata keranjang itu berteriak bahkan sampai menggedor pintu kamar.

***

Aku menyusuri jalanan sepanjang Victoria Park, di sanalah keluarga kedua saling berbagi kisah. Tempat berkumpulnya BMI-HK, aku bercerita agar yang lain bisa lebih mawas diri. Sore itu sebelum pulang, Nisa menghampiri dengan tersedu lalu menuturkan tentang semua yang dialami, lagi-lagi perkosaan, wanita selalu jadi bahan eksploitasi birahi. Lebam di leher, tangan dan sekujur tubuh yang ia perlihatkan menjadi bukti atas sebuah penindasan.
“Kita ke Rumah Sakit, aku ingin semua lukamu divisum. Setelah bukti medis selesai, aku yang akan bicara.”
“Tidak! mohon mengertilah, aku tak berdaya ketika teringat wajah orang tua. Jika bicara, pasti akan dipecat, lalu harus membayar denda atau mungkin berhubungan dengan pihak hukum dan segala tektek bengeknya. Semua media menyiarkan, mungkin keluarga di Indonesia mendengar dari berita koran atau di layar televisi, maka hal itu akan melukai hati mereka” terang Nisa.
Aku mengerti perasaannya, terlalu banyak rasa takut yang ia miliki bukan hanya tentang dirinya bahkan tentang nama baik keluarga. Tapi, kebatilan tak bisa dibiarkan. Di sinilah aku berada, untuk inilah BMI HK didirikan, membantu mereka yang teraniaya.
“Ini bukan hanya tentangmu, Nis, tapi ratusan wanita yang mungkin bernasib sama! Manusia memiliki hak asasi sama, jangan karena kita pembantu lalu kita bisa diperlakukan dengan semena-mena!”
“Tapi, ini aib bagi keluargaku, Eyput!”
“Dan ini aib bagi BMI HK yang tak bisa memperjuangkanmu, Nis! Kami ada untuk orang-orang seperti kamu yang tertindas. Jika bukan kita lalu siapa lagi yang akan mengubah hidup dan masa depan kita? Jangan karena kamu takut dipecat, lantas kamu pikir keluarga kamu gak bisa makan? Atau kamu akan menjadi bahan gunjingan orang? Ingat Tuhan Nis, semua rizki ada yang mengatur dan peduli apa tentang orang-orang yang merasa dirinya suci? Kita bukan menjual kesucian dan harga diri, tapi tenaga. Jika kita mengalami penyiksaan dan luka perih, itu salah satu ujian Tuhan. Apakah kita bisa bertahan dan memperbaiki semuanya atau kamu akan terjun langsung ke dunia seperti itu karena terlanjur?” jawabku menggebu.
“Lalu keluargaku bagaimana, mereka akan terluka?”
“Saat ini yang terpenting menyembuhkan lukamu dan siapkan mental. Kamu tidak sendiri ada kami yang setia mendukung dan mendoakan. Kita memang wanita, tapi bukan wanita lemah yang mampu diperdaya justru harus menunjukan bahwa kita wanita tegar yang mampu bertahan,” aku mencoba meyakinkannya.
“Eyput, kamu benar, aku tak bisa selamanya seperti ini, semakin takut semakin ia merasa menang bisa menguasai sepenuhnya. Aku harus melawan!”
Kudekap Nisa dengan hangat, di sinilah hubungan saudara terjalin. Entah di negara manapun rasa cinta ini akan tercipta karena sebuah ikatan atas nama satu bangsa tempat kami dilahirkan, Indonesia. Ia tersenyum kepercayaannya mulai bangkit, seperti itulah yang kuharapkan dari wanita Indonesia. Jangan menyerah pada keadaan! Tersenyumlah pada dunia bahwa kita wanita hebat bermartabat.
Dalam doa hening, “Tuhan... berikan kekuatan, tuntunlah dan ridhoi setiap langkah, berikan petunjuk-Mu. Dan jangan berikan ujian yang hamba tak mampu menjalaninya.”
Aku terdiam di sudut malam, entah Tuhan akan mendengar atau mengabaikan. Aku yang hina tak mengharap pangeran atau pahlawan yang akan membebaskan, toh ini bukan dongeng Cinderella. Tapi, aku harap pemerintah tempat aku dilahirkan akan peduli pada nasib anak bangsa. Bukan hanya aku, tapi ratusan pahlawan devisa yang bernasib buruk di negeri asing. Mungkin kami dianggap sebelah mata, tapi kami ikut menambah devisa negara. Tak bisakah mereka mendengar jeritan hati kami? Wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, saatnya kalian peduli pada rakyat.

***

“Eyput, kapan kamu pulang, Nak?” tanya Emak dengan nada sedih di telepon.
“Setelah kontrak selesai, Eyput pasti pulang. Emak jangan khawatir majikan di sini baik kok. Bulan depan Eyput kirim uang untuk biaya hidup juga sekolah Adik ya, Mak,” jawabku dengan batin menjerit. Tak kukeluarkan sedikit pun keluhan depan mereka karena tak ingin menambah beban pikiran, “Eyput ingin pulang, Mak!!!” namun, bibir masih kelu.
Aku yakin hidup akan indah pada akhirnya, meski tak tahu berujung di mana. Meski demi menuai indah jalan itu tak mudah, pengorbanan ini tak akan sia-sia karena tabir kebenaran akan tersingkap. Aku, hamba sahaya yang mencoba tersenyum dalam kerasnya perjuangan hidup meski tercabik perih pengkhianatan. Tapi, semangatku masih berkobar demi Emak, Bapak dan Adik tercinta....
“Doakan Eyput, Mak! Karena doamu sebuah kekuatan bagiku.”

***

END

Cerita ini di dedikasikan untuk BMI-HK dan seluruh pahlawan devisa negara. Tetap semangat dan tersenyumlah bidadari Indonesia.

#Event_GDW4_BMI HK

Kamis, 21 Agustus 2014

Cita-cita Si Bisu...


 
Seminggu lalu aku bertemu seorang pendidik hebat, wajahnya mulai menua, tapi semangat mengajarnya tidak pernah berkarat.
Dulu, aku pernah bilang padanya bahwa aku tidak menyukai mata pelajarannya “Bahasa Indonesia” tapi aku seperti mendapat kutukan, kenyataannya kini duniaku tidak lepas dari KBBI juga EYD.
“Jadi, kamu sudah menemukan cita-citamu sekarang? Menjadi penulis itu adalah pekerjaan mulia lo,” ucapnya sembari tersenyum, meskipun aku belum menjadi apa atau siapa, tapi aku tahu bahwa ia bangga padaku.
Semua ini karena motivasi dari beliau. Katanya, aku harus bercerita, aku masih bisa berekspresi lewat tulisanku. Ini adalah pembuktian bagi mereka, keluarga, guru, teman juga kalian para pembaca.
Iya, aku hanya bisa menulis karena aku terlahir bisu!

***

#EventPerkayaKosakata_KBM
#teruntuk seseorang yang selalu mengingatkan siapa dan harus bagaimana aku.

Janji Julian


Zhe menghirup udara pagi ini, masih segar seperti biasanya dengan aroma basah dari dedaunan sisa hujan tadi malam. Kabut pagi di balik gunung itu menutupi jalanan dan perkebunan teh. Padahal, sepanjang minggu ini jalan Bogor-Puncak-Cianjur dipadati kendaraan hilir mudik. Tempat paralayang pun sesak oleh pengunjung dari berbagai kota. Apalagi daerah Puncak menjadi transit bagi beberapa orang sebagai tempat peristirahatan. Hamparan hijau perkebunan teh menjadi sebuah oase bagi mereka yang terbiasa dengan padatnya kota.
 
“Hari ini Julian... setahun lalu kita berjanji akan bertemu di atas bukit itu,” Zhe bergumam.
Julian, dialah pria yang memperkenalkannya pada cinta pertama. Seorang pemuda kota, tampan, cerdas tapi bersahaja. Ia tidak malu berkenalan dengan Zhe seorang gadis desa yang sederhana. Pertemuaannya saat itu, meninggalkan kesan yang mendalam, Zhe hampir saja menabrak Julian dengan gerobaknya yang penuh dengan rumput untuk makanan sapi-sapinya. Zhe tinggal dengan Eyang yang semakin tua, makanya ia yang melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Terkadang, ia juga membantu membersihkan kandang sapi. Saat itulah, Julian semakin mengagumi sosok Zhe yang begitu tangguh mengerjakan segalanya sendirian.
Dulu, selagi Emak masih ada, Zhe sempat dibuat pusing tujuh keliling.
“Matak ge Neng, geura nikah! Tuh, Kang Aziz ge bageur, kasep deuih, naon deui atuh Neng nu kurang?” (makanya Neng, cepet nikah! Tuh, Kang Aziz juga baik, cakep lagi, apalagi Neng yang kurang?) ucapannya masih terus terngiang-ngiang di telingaku.
Bahkan sepeninggal Emak, Kang Aziz masih saja suka mendekati Zhe meskipun ia sudah ditolak. Entahlah, pernikahan itu enggak mudah apalagi berhubungan dengan perasaan. Dan ia masih menunggu janji Julian.
“Kenapa kamu masih saja percaya sama janji Julian, Zhe?” tanya Ilo, sahabat Zhe.
“Aku percaya sama dia, itu saja!” Zhe merasa tak perlu ada alasan lain ketika ia telah memercayai seseorang.
“Kamu terlalu naif Zhe, ingat dia pemuda kota! Orang kota enggak bisa dipercaya kahkahkah...,” Ilo tergelak, entah bagian mana yang lucu bagi Zhe.
PLAAAKKK! Zhe menimpuknya dengan buku yang sedari tadi ia pegang. Buku CHSI yang ia dapat dari Julian setahun lalu, entah kenapa Julian memberikan buku ini, apapun itu pemberian dari Julian sangat berarti bagi Zhe.

~o~

Seperti janji Julian, sore ini tepat pukul 15.00 wib, Zhe menunggu dengan perasaan was-was. Dari balik bukit ini lembayung menyaput wajah Zhe dengan semburat jingga yang syahdu, jam menunjukkan pukul 17.00 wib, lebih dari 2 jam waktu yang telah dijanjikan, tapi Julian belum datang juga.
“Kemana Julian? Apakah terjadi sesuatu dengannya? Atau dia lupa pada janjinya satu tahun lalu? Apakah benar seperti kata Ilo, bahwa pemuda kota tidak bisa dipercaya? Kumohon Julian, tepati janjimu! Jangan sampai aku benar-benar membenci senja ini!”
Zhe masih sibuk dengan pikirannya yang terus berkecamuk, sementara senja telah berganti, kini yang tersisa hanya gelap, kelam dan dingin...

~o~

Dua hari telah berlalu, airmata Zhe belum juga mengering, kekecawaannya pada Julian masih belum terlupakan. Tiba-tiba, ia melihat di layar televisi sebuah berita yang mengejutkan.

“Selamat Siang, berjumpa lagi dengan saya Jeremi Teti di sekilas info.
Pemirsa, seorang pemuda berusia 25 tahun ditemukan tewas di daerah perkebunan teh malam tadi, di daerah Puncak, Bogor. Tim forensik dan tim Inafis Mabes Polri telah menyisir TKP dan membawa jenazah untuk diperiksa di laboratorium. Berdasarkan kartu tanda pengenal, ia bernama Julian berasal dari Kemayoran, Jakarta. Berdasarkan saksi dan bukti, Kepolisian setempat memastikan bahwa kasus ini murni pembunuhan dan hingga saat ini mereka telah berhasil meringkusnya. Pelaku pembunuhan adalah seorang pemuda setempat yang bernama Aziz, disinyalir karena adanya kecemburuan yang memicu perdebatan mereka yang akhirnya tega menghilangkan nyawa manusia.
Sekian  sekilas info hari ini, saya Jeremi Teti dan segenap kru yang bertugas mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa.”

Seperti mendengar petir di siang bolong, Zhe tidak bisa berkata-kata lagi. Dadanya semakin sesak, tidak disangka, Aziz pemuda yang dianggap baik selama ini ternyata tega melakukan perbuatan keji seperti itu. Zhe terisak pedih....
“Julian, aku tahu kamu telah menepati janjimu.”

***

#EventCeritakriminal_KBM_kahkahkah...#Plak!!!

Selasa, 19 Agustus 2014

Pesan Hujan di Hari Kemenangan






Bapak  berkata, “Aku mencintai hujan karena ia mampu menggantikan gersang.”
Tapi aku bilang, “Aku benci hujan karena ia merenggut sinar kebahagiaan.”


Di sudut gelap aku terbangun, menatap tetesan embun yang membasahi dinding kaca jendela kamar, sisa hujan tadi malam. Ada rasa damai yang kurasa meski kegamangan mulai menggeliat di hati. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang penuh kehangatan, kini yang tersisa hanya rasa hambar dan dingin menyelimuti dinding hati. Aku kesepian, takada teman berbagi untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan ini. Atau seseorang yang akan membangunkan untuk sahur. Kugapai segelas air di atas meja, kureguk untuk memenuhi rongga dada karena aku yakin hari ini takada lauk untuk sahur. Kuambil air wudhu, lalu mulai melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menunggu waktu adzan subuh. Aku rindu Ibu dan Bapak... air mata menetes di pipi, rasa sesak menyerang dada. Rindu ini sungguh menyiksa, aku rindu masakan Ibu, rindu omelannya saat membangunkanku. Itu dulu setahun lalu... saat aku mulai berteriak padanya,
“Berisiiikkk!”
Ia terdiam melihatku mulai berontak, ia tahu aku malas jika disuruh. Terkadang bukan tak mendengar panggilannya, tapi  kulakukan dengan sengaja pura-pura tak mendengarnya. Aku  tahu aku telah menyakiti hatinya, tapi tak peduli seolah tak terjadi apapun atau mungkin tepatnya aku merasa tak berdosa. Setelah itu teriakan yang sama terjadi lagi, lagi dan lagi... terkadang aku mengeluarkan kata yang lebih pedas dari itu.
“Goblok! Aku gak suka tempe! Tapi kamu malah sengaja masak makanan yang aku nggak suka!”

“Goblok!” entah berapa puluh kali kata itu kulontarkan padanya dan aku memanggilnya,“kamu...” untuk nama seorang Ibu. Ia menangis, aku melempar piring tepat di hadapannya, pecahan piring itu mengenai kakinya, dia meringis dan aku masih tidak peduli. Di ujung bibirku masih tersungging senyum kemenangan.
Malam itu aku nggak bisa tidur, suara batuk wanita tua itu terus mengganggu. Aku jenuh, bangun dari ranjang, kubuka kasar pintu kamarnya.
“Bisakah kau tahan batukmu sampai besok pagi? Aku gak bisa tidur gara-gara kamu!” teriakku.
“Maaf...,” ia menjawab lirih. Aku keluar dan membanting pintu kamarnya, entah bagaimana cara dia menyumpal mulutnya hingga suara batuk itu taksampai ke telinga. Aku pun tidur nyenyak...

~o~

Aku berhenti sekolah, padahal ibu bekerja keras untuk membiayaiku, mulai dari berdagang gorengan hingga jadi babu di tetangga. Ia sisihkan setiap hasil keringatnya. Aku ingat saat itu, Ibu menunggu di depan pagar, ditangannya ia memegang payung, wajah tua yang tampak lelah dan khawatir. Namun, saat melihatku ia tersenyum lalu menyambutku, tapi aku tepiskan tangannya hingga payung terjatuh dan kubiarkan ia kehujanan. Entah berapa lama ia tergugu di sana....
Dan aku masih menganggapnya tak peduli karena tak mampu membelikan PS. Saat SMP, aku mulai minta BB dan kini menginjak SMA merengek minta dibelikan motor, tanpa motor aku takkan sekolah. Akhirnya aku benar-benar memberandal, jadi anak jalanan, ikut ngamen sana-sini, sampai saat itu tiba.....
Di lampu merah itu kejadiannya sangat cepat yang aku ingat seorang pengendara sepeda motor ugal-ugalan dan ia menabrakku. Aku jatuh, tersungkur dan tak ingat apapun. Saat aku membuka mata, wanita tua itu sedang bersimpuh, menangis, menengadahkan tangan dan berdoa untukku.

~o~

Bulan Ramadhan bulan seribu bulan, tapi tidak tampak cahaya bulan, hari terus dipenuhi buliran air dari langit, hanya ada gelap dan lembap...
“Ibu! Mana makan malamku?” teriakku, tapi takada jawaban. Seperti biasa aku kehabisan kesabaran, mulai berang. Kugedor pintu kamarnya, tapi masih belum ada jawaban, akhirnya aku mendobrak kamar yang mulai lapuk itu tak perlu tenaga ekstra, pintu pun terbuka lebar. Wanita tua itu tertidur di atas sajadah, masih mengenakan mukena. Ia meringkuk mungkin karena kelelahan setelah seharian kehujanan, berkeliling menjajakan gorengan dan masih saja gorengan itu bersisa banyak. Kugoyang-goyangkan tubuhnya, tapi ia bergeming, kubalikkan badannya, wajah pucat, dingin tapi bercahaya, di tangannya ia memegang foto. Iya, itu fotoku selagi masih kanak bersama bapak. Saat itu Bapak cerita, ia suka dengan hujan karena hujan mampu menggantikan gersang..., tapi aku tak pernah mengerti kata-katanya.
Ibu wanita yang sabar, banyak doa terucap untukku, tapi mengapa Tuhan tak mengabulkan doanya? Dia selalu berdoa agar aku menjadi anak yang baik, nyatanya sampai saat ini aku tak berubah sedikit pun malah semakin menjadi. Suara guntur menjawab pertanyaan yang takbisa kuartikan. Ibu tak bergerak, tak bernapas, aku terperenyak, takut kehilangan dia, seperti Bapak yang meninggalkanku dulu...
Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laailahaillallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu....

Gema takbir bersahutan, ini hari kemenangan kah? Kemenangan untuk ibu yang telah terlepas dari jeratanku! Ia damai,bahagia, dan aku duduk bergetar....
“Maafkan aku Ibu”

***

Kini, aku mengerti filosofi hujan, hidupku kini telah gersang, aku mengharapkan kemenanganku malam ini juga Tuhan. Lepaskan aku dari belenggu setan dan napsu duniawi. Di bulan suci penuh ampunan terimalah hamba di sisi-Mu. Hujan mengguyur bumi, lagi-lagi suara alam yang membalasnya, aku terlelap, masih mendekap Al-Quran di dada. Di ujung jalan itu, kulihat sebuah cahaya, di sana Ibu dan Bapak menunggu dengan bibir membentuk bulan sabit...

***

THE END

Review My Perfect Sunset



Judul Buku : My Perfect Sunset
Penulis : Kyria
Penerbit : Bentang Pustka
Tebal : 370 halaman
ISBN  978-602-7888-04-3

Di kasih buku ini ayyeee!!! terima kasih... nah, oleh sebab itu saya ingin berbagi pengalaman setelah membacanya.
Kesan pertama, membuat saya tertarik untuk segera menikmati setiap halaman. Saya suka dengan desain cover dan juga warnanya, simple banget! Dan ini merupakan novel dengan jumlah halaman terbanyak... hmmm, tebelnya? (mulai berpikir....)

“Bertemu dengamu pasti bukanlah sebuah kebetulan, melainkan rencana Tuhan yang paling mengesankan.”

Quote yang menarik!
My Perfect Sunset, bercerita tentang cinta segitiga antara Kevin, Indah dan Satria. Indah seorang wanita karier yang mandiri, memiliki tunangan yang sempurna, cakep, tajir, mapan dan setia... (hmm, itu dulu) sebelum Kevin jatuh dalam sebuah kesalahan yang bernama perselingkuhan. Iya, Kevin selingkuh dengan Karina, teman kantornya. Meski sudah menikah, tapi ia tidak bahagia karena perlakuan suaminya yang sering bermain fisik. Dan ia mendapatkan kenyamanan itu dari Kevin.
Di saat terpuruk itulah, Indah bertemu sosok pria yang jauh dari ekspektasi dia mengenai masa depan. Satria, pemuda urakan, nggak jelas juntrungannya, main adu jotos dan segala hal yang berbau kekerasan. Iya, Satria seorang petinju kelas amatir, tapi saya pastikan ia akan menjadi juara dunia (hehe... namanya juga pemeran utama, selalu menang). Indah mengalami dilema, saat Kevin meminta maaf, berjanji akan berubah dan mengajak semuanya dari nol. Tapi, perasaan yang telah hilang  nggak semudah itu bisa ditumbuhkan kembali. Begitulah cinta Indah yang akhirnya menyusut karena sosok Satria yang selalu memberinya rasa aman dan nyaman. Satria tahu percis bagaimana caranya menyenangkan hati wanita, membuat Indah merasa beruntung bertemu dengan Satria yang mampu memenuhi harinya dengan tawa.
Tapi, lagi-lagi Indah disudutkan pada pilihan, melanjukan pertunangannya dengan Kevin atau memilih Satria yang notabene latar belakang keluarga yang nggak jelas apalagi profesinya sebagai petinju, nggak kebayang deh pulang ke rumah melihat dia babak belur.
Ada beberapa kutipan yang menarik menurut saya,
Tapi, kau memperlakukannya seperti plester. Membutuhkannya saat sedang terluka dan membuangnya segera setelah sembuh.”(hal. 114)

Kau berjuang sekuat tenaga agar pada akhirnya nanti, kau bisa melihat sunset-mu yang sempurna.(hal 215)

Tapi, jujur saja untuk sebuah novel romance, buku ini terlalu tebal dan saya menyelesaikannya pun cukup lama. Belum apa-apa, ada rasa jenuh melihat tebalnya halaman. Meskipun ada sisi romantisnya, tapi kalau terlalu tebal membuat saya bosan membacanya. Saya menemukan beberapa typo di buku ini, misal penulisan nama Indah dengan huruf kecil (sok detail?? Hahah...)
Di halaman 258 ada kalimat “... mendengarkan intruksi terakhir Pelatih Ando...” saya agak bingung juga, kenapa tiba-tiba ada satu nama yang nggak dikenal. Karena di halaman sebelumnya menyatakan nama pelatihnya Andika dan tidak ada keterangan bahwa ia dipanggil dengan sebutan Ando. Entahlah, mungkin di bagian ini ada yang terlewat ketika saya membacanya.

Ending-nya di luar dugaan. Dapat dipastikan, buku ini adalah sequel. Jadi, saya mungkin akan membaca kelanjutan ceritanya di My Perfect Sunshine, (hmmm... mungkin kalau ada yang ngasih lagi, atau kalau bukunya tidak terlalu tebal)
Hayoo... yang penasaran kudu baca, siapakah yang akan dipilih Indah? Atau mungkin tidak keduanya? Lalu bagaimana nasib Satria dan Kevin? Atau ketiganya akan menemukan Sunset & Sunshine yang berbeda?

Minggu, 17 Agustus 2014

Catty's Addict


 
“Zhia... Kimie... Monic... Black... Mabell... Noiiiiii!!!” aku berseru dan keenam anak kesayangan berlarian menghampiri. Seperti biasa pulang kerja selalu disambut dengan rengekan manja. Bahkan sebelum mengganti pakaian atau menyimpan tas, kulangkahkan kaki ke dapur untuk memberi makan anak-anak. Lelah pun terobati, saat melihat wajah polos dan lucu. Begitulah aku sangat mencintai mereka, kucing-kucingku!
Mereka bukan kucing piaraan yang mahal seperti pada umumnya jenis Angora, Persia atau Tiffanie, tapi mereka hanya kucing liar yang diambil dari got dengan bulu penuh dengan noda. Atau dari jalanan yang butuh tempat berteduh dan makanan yang layak. Kini, selusin sudah kucing-kucing itu berkeliaran di rumah hingga tidak perlu merekrut orang untuk membuat kesebelasan.
Sejak kecil aku sangat menyukainya, di acara ulang tahun aku mendapatkan banyak kado berbau kucing untuk menambah daftar koleksi. Mulai dari jepit rambut, buku, pensil, tas, gantungan kunci, poster-poster yang memenuhi dinding kamarku, sampai lemari dan seprai yang bermotif kucing. Mereka menyebutku Catty’s Addict. Jika aku bepergian tanpa satu barang pun berbau kucing rasanya separuh nyawaku hilang, setengah rasa percaya diriku terkurung di balik tempurung. Dan moody-ku turun drastis, bagiku itu seperti kekuatan kedua dengan aura positif dalam tubuh.
“Kenapa kucing, sih?” tanya Aldi.
“Harus ada alasan untuk menyukai sesuatu? Padahal aku mencintaimu tanpa alasan apapun...,” ungkapku pada pacar yang baru jadian dua minggu ini.
“Iya, tapi bulu kucing itu bahaya lo!” ujarnya sambil nyengir jijik ketika kuusap lembut Kimie.
“Aku merawat mereka dengan baik, kok! Jadi, jangan khawatir dengan virus kucing,” aku tak mau kalah. Mulai lagi gelagat cowok yang akan mempermasalahkan kecintaanku pada binatang ini. Aku tahu ujungnya akan seperti apa. Well, sesuai dugaan akhirnya kami pun putus. Huffthh....
Setelah kerja, mulai hidup mandiri dengan menempati rumah kontrakan yang disewa dengan uang hasil keringatku. Karena terlalu sepi akhirnya aku mengambil anak-anak itu, kini rumah lebih ramai dengan suara mereka. Tapi, ternyata mencintai sesuatu itu tak mudah. Aku selalu mendapat kesulitan dalam mencari pasangan, bukan karena tidak cantik, tidak pintar atau nyaman untuk berbagi cerita. Bukan karena itu! Karena kebanyakan dari mereka tidak menyukai kucing bahkan ada yang alergi.
“Aku tidak suka kucing!” ucapnya tegas dan lugas tanpa mau melihat mataku yang mulai berkaca-kaca.
“Tapi, bukan berarti kamu tidak menyukaiku kan, Ron?” tanyaku sambil menggamit lengannya manja. Perlahan ia beringsut dari sampingku dan melepaskan pegangan.
“Sudah kukatakan, aku tidak suka kucing! Jika mereka masih berkeliaran di rumah ini, aku tak kan pernah menginjakkan kaki ke rumah ini lagi!” serunya untuk terakhir kali, aku hanya bisa menganga. Ia pergi dan tak pernah kembali karena seberapa pun besarnya cinta ini, tetap tidak bisa meninggalkan mereka, keluarga keduaku.
Kupandangi satu persatu sinar mata tajam dari anak-anak, memelas dengan iba dan penuh kasih. Mereka tak bicara tapi mata mereka penuh ungkapan kata-kata. Meskipun mereka berasal dari jalanan, tapi aku tak berniat mengembalikan mereka ke jalanan. Hingga akhirnya memilih putus. Tak mendapatkan Roni pun tak apa karena masih ada cinta yang lain. Semoga Tuhan memberikan cinta dengan cara yang indah.

“Dicari seorang pasangan yang bisa menerimaku apa adanya juga keluargaku termasuk kucing-kucingku!”

***