Jumat, 20 Februari 2015

Best Friend Forever





Oleh : Nanae Zha


Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku.  Kubaca pesan singkatnya berulang-ulang, entah dari siapa. Semilir angin malam menyelusup diam-diam ke balik mantel berbulu. Aku masih menyendiri tanpa tahu rahasia apa yang tengah disembunyikan alam. Pikiran masih bergelut, dengan nomor asing di balik layar ponselku. Mungkinkah ini dari dia.

            >Di mana kamu sembunyikan Nazwa?!

Aku shock membaca pesan singkat dengan nada setengah mengancam. Ah, Nazwa ada apa dengannya?

>Des, aku ingin bertemu denganmu! Ada yang enggak beres dengan Nazwa.

>Apa kamu dapat SMS aneh? Aku juga!

Sepakat malam itu juga kami bertemu, membahas kemungkinan apa yang terjadi. Kembali bayangan satu tahun lalu saat terakhir bertemu, kami berbicara panjang lebar. Sorot mata yang sulit kuartikan, entah bahagia, kecewa atau duka yang ia pendam. Yang pasti ada ragu tersirat di sana.

“Key, aku akan segera menikah. Om Ardhi telah melamarku kemarin. Hari H telah di tetapkan, mohon doanya supaya semua berjalan lancar,” ucap Nazwa siang itu membuatku kaget. Bukan karena acara pernikahannya yang terbilang mendadak, tapi keberanian Nazwa mengambil keputusan.
“Apa? Jangan gila, Naz! Dia itu sudah menikah!” Desi berteriak tanpa bisa mengendalikan emosi.
Aku menghela napas. Menatap mata sahabatku lekat. Tanpa bermaksud memvonis keputusannya, hanya ingin melihat kesungguhan pemilik mata sayu itu. Nazwa tak berkata apapun, ia menangis di bahuku. Tak tahu apa yang harus kukatakan, kami terdiam untuk beberapa lama.
“Aku tak menyalahkan keputusanmu, hanya saja sanggupkah kamu menghadapi kehidupan di masa depan?” tanyaku akhirnya memecah keheningan.
“Entahlah ... karena yang kurasakan saat ini bukan cinta, tapi aku menghormatinya lebih dari apapun. Aku malu jika menolaknya.” Itu terakhir  yang ia katakan.
“Tapi, Naz. Itu bukan keputusan bijak, bagaimana dengan istri pertamanya?”

Lagi-lagi Desi berbicara terlalu jujur. Di antara kami bertiga Desi cukup blak-blakan mengeluarkan pendapat. Meskipun apa yang dia ucapkan benar, tapi tak semestinya ia bersikap antipati begitu.

Aku tahu bagaimana usaha kedua orang tua Nazwa mencarikan jodoh. Padahal ia baik, sopan, ramah, dan cantik. Tak ada pria yang  tak terpesona padanya. Tapi, kenapa yang dipilih justru Ardhi? Pria setengah baya yang lebih pantas jadi ayahnya.

Nazwa bukan cewek matre, tapi ia lahir di kalangan keluarga dengan masalah ekonomi. Ditambah dengan jumlah adik yang banyak. Nazwa anak tertua, sedangkan ayahnya hanya seorang pekerja biasa yang tidak memiliki penghasilan tetap. Ibunya hanya mampu membantu dengan berjualan gorengan. Ardhi telah banyak membantu keluarganya.

Begitulah awalnya, aku tak bisa menyalahkan siapapun, jika takdir harus tertulis seperti itu.  Jangankan aku yang sekedar sahabatnya, orang tuanya pun kehabisan pikir bagaimana cara menyelesaikan keadaan yang begitu rumit. Tak ada maksud dari orang tua yang ingin menjerumuskan anak, membiarkan mengalami rumah tangga seperti itu. Bagaimana dengan istri pertamanya? Atau gunjingan tetangga yang tak ada habisnya.

“Bagaimana dengan dirimu sendiri, Naz?” tanya ayahnya sebelum acara lamaran itu.
Nazwa menatap mata ayahnya,  lalu ibunya yang tampak sendu, adik-adiknya yang mengintip mereka dari balik pintu. Nazwa tertunduk lagi, bingung entah apa yang harus dia jawab.
“Apapun keputusan Ayah, akan Naz terima,” jawabnya lirih. Ayahnya menghela napas panjang, ia pun tak ingin salah menjadi ayah yang bijak.
“Apa kamu mencintai Ardi?” tanyanya lagi.

Tak bisa dipungkiri memang selama ini ia mencoba menganggap Ardhi seperti ayah angkatnya. Tapi segala kebaikan Ardhi, perhatiaan, kasih sayang bukan hanya padanya, tapi juga kepada keluarga telah meluluhkan hati dan keegoannya. Ia bersedia menerima Ardhi meski statusnya akan menyulitkan.

Nazwa mungkin tak bisa memberi apapun untuk membalas budi, mungkin dengan menikah ia bisa membahagiakan keluarga.

Selang seminggu setelah Nazwa bercerita, akhirnya mereka menikah. Mungkin istilah sekarang adalah nikah siri.  Aku tak tahu apa mereka tercatat di KUA atau tidak. Karena Ardhi menikah tanpa izin dari istri pertamanya apalagi ia seorang PNS.

“Apa yang akan kita lakukan?” Desi membuka pembicaraan malam itu.
“Aku tidak tahu, masalahnya kita belum dapat kabar apapun dari Nazwa. Jika lapor ke polisi akan tambah rumit. Jika kita ceritakan ke keluarganya akan menambah beban mereka.”
“Kamu benar, satu-satunya yang harus kita lakukan menunggu Nazwa menghubungi kita.” Aku mengangguk setuju, membaca SMS dari orang asing tersebut jelas Nazwa dalam masalah besar.
“Menurutmu siapa yang mengirim SMS ini?”
“Entahlah, darimana dia tahu nomor kita? Berarti dia pun tahu sedekat apa hubungan kita dengan Nazwa.”
“Apa mungkin Ardhi? Atau istri pertamanya?”

Tok ... tok ... tok ...

Terdengar suara pintu diketuk. Aku dan Desi saling menatap. Lama kami berpikir, pada jam segini siapa yang bertamu. Namun, penasaran mengalahkan rasa takut. Kubuka pintu perlahan.

“Nazwa?!” Ia datang di saat yang tepat, tapi di dahinya ada segaris luka yang mulai mengering. Dagunya tampak lebam. Ia tersenyum di ambang pintu, tapi senyum penuh luka. Kami menghampirinya, berusaha bersikap wajar.

“Naz, lama tidak bertemu. Apa kabarmu?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatian pada kondisi fisiknya. Nazwa akan bercerita dengan sendirinya kalau dia ingin menceritakan masalahnya. Kami bertiga berpelukan dalam haru. Masa begitu cepat berlalu, kebersamaan ini akan sulit kami dapatkan lagi.

“Apa yang terjadi? Ini luka apa?” tanya Desi.
“Aku baik-baik aja, kok.”
“Jangan bohong, Naz. Pasti ada yang enggak beres. Bagaimana dengan suamimu?”
“Des, aku baik-baik aja, percaya deh,” ujarnya enggak mau kalah.
“Naz, kalau semua baik-baik saja, enggak mungkin kamu datang ke sini tengah malam seperti ini,” ucapku mulai menyelidik. “Lagipula, kami mendapat SMS tentang kamu.”
“Apa?!” Nazwa tampak kaget.

Akhirnya kami memperlihatkan SMS dari nomor asing tadi siang. Nazwa mulai menangis, ia menceritakan segalanya. Ternyata  Ardhi tidak sebaik dugaan sebelumnya. Mungkin dia pria yang terlihat dewasa dan bijak, tapi nyatanya ia lebih dari seorang phsyco.
“Apakah kamu akan tetap bertahan dengan suami yang seperti itu?! Kita ke rumah sakit, ini harus divisum agar bisa mengajukan semua ini ke HAM!” ujar Desi dengan menggebu-gebu.
“Dari istri simpanan?” tanya Nazwa mengejutkanku. “Apa hak seorang isteri simpanan?” tanyanya lagi.
“Naz, ini bukan soal istri simpanan, tapi ini tentang kemanusiaan dan kamu berhak hidup bahagia karenanya! Suami kamu phsyco!” geram Desi.
“Enggak Des, ini bukan soal kebahagiaanku saja, tapi ini tentang keluarga dan masa depan adik-adikku. Semoga Tuhan lebih tahu apa yang terbaik dan menguatkan dalam cobaan ini,” terangnya dengan mata masih berkaca-kaca. “Terima kasih, tapi ini pilihanku. Asal ada kalian yang selalu mendukung dan mendoakan, aku pasti baik-baik saja.”
“Kalau mau nangis, sini! Meski pundakku tak cukup lebar, tapi aku akan membagi bahuku untukmu,” ucapku meraih tangannya yang mulai menghangat.

Masa-masa seperti ini telah kami lupakan dalam jarak beberapa tahun. Tak ingin melihatnya berduka. Aku dan Desi sepakat menyelesaikan masalah ini, karena walau bagaimanapun susah senang selalu kami tanggung bersama. Meski tanpa pertalian darah, tapi kontak batin dengan sahabat itu ada.

“Keluar kalian! Aku tahu kalian menyembunyikan Nazwa. Buka pintunya!” teriakkan itu mengejutkan kami.

Nazwa berdiri ketakutan. Kami sempat gentar. Tak terbayang bagaimana Nazwa menjalani hari selama setahun dengan perasaan was-was setiap saat. Aku merangkulnya. Desi dengan sigap, mengambil tongkat kasti dari atas lemari.

Ia pun segera menelepon kakaknya yang notabene seorang polisi. Pintu itu terkuak, tak mampu menahannya lebih lama. Ardhi dengan beringas menarik tangan Nazwa. Aku mencoba menghalanginya, tamparan mendarat di pipiku. Desi memukulkan tongkat kasti tepat ke atas ubun-ubunnya. Ia menjerit, tapi tak lama kembali menyerang.

Kami bertiga berjibaku melawan sekuat tenaga. Membela kehormatan dan harga diri wanita. Istri selalu dianggap mulia, bukan untuk dipermainkan dan disiksa. Emosi Ardhi diluar kendali, ia melempar apapun yang ada di dekatnya. Meja tamu yang terbuat dari kaca itu dibanting ke arah kami. Pecahan kacanya tepat mengena pelipis mataku. Darah mengucur deras.
“Hentikan, Mas. Hentikan! Kamu sudah gila!” teriak Nazwa.
“Kamu tahu, aku gila karena kamu!”
“Kumohon hentikan semua ini.” Nazwa memelas, melihat darah di seputar dahiku terus mengucur. Mataku kunang-kunang ada rasa perih.
“Kalau begitu ikutlah denganku, Naz. Jangan tinggalkan aku.” Bicara Ardhi tampak terkendali. Ia sangat manis mendekati Nazwa, aku heran melihat semua kejadian ini. Ardhi benar-benar pshyco.
Tak lama polisi datang. Mereka meringkus Ardhi yang berteriak seperti orang gila dengan terus mengancam. Bersyukur malam itu kami selamat. Malam yang mengembalikan lagi petualangan persahabatan.
“Key, Des ... terima kasih atas bantuan kalian. Tapi semalaman aku berpikir, walau bagaimanapun Mas Ardhi adalah suamiku. Dia punya tanggung jawab bukan hanya padaku, tapi istri pertama juga anak-anaknya. Aku telah putuskan akan mencabut tuntutan, dan menerimanya kembali. Dia sebenarnya baik, hanya saja tidak bisa mengendalikan emosi. Dia butuh perhatian. Itu saja.”
Aku dan Desi bengong, mencoba untuk memahami setiap kata yang ia ucapkan. Kami berusaha menerimanya. Entah Nazwa terlalu baik atau terlalu bodoh, bagiku sama saja. Desi yang biasanya memberondong berbagai argumen, entah apa yang mengubahnya hingga ia pun hanya terdiam sambil menggelengkan kepala.
Kami bertiga berpelukan, manisnya sebuah hubungan berlandaskan kepercayaan. Aku menghargai privasi, dan percaya dengan keputusannya meski sulit logikaku menerima. Namun, persahabatan ini takkan berakhir begitu saja. Aku dan Desi sepakat, apapun yang terjadi kami akan selalu menjaga, dan saling mendukung. Hari ini mengisahkan banyak hal tentang persahabatan dan juga cinta yang akan dikenang sepanjang masa.

***

Satu Kenangan yang Tertinggal




“Don, Astroboy lu mau married!” ucap Laras jelas tanpa sensor.
Jleb! Ada sakit di tengah sini, butiran bening mulai menggenang, lantas kubuang muka menghindari Laras.
Tiba-tiba telepon berbunyi di saat tepat. Pesan pendek dari seseorang yang baru saja menjadi topik pembicaraan. Ah, Doel, my astroboy_panggilan kesayanganku dulu_panjang umur dia.

Don, apa kabar? Maaf kalau ganggu, minggu depan aku nikah. Aku harap kamu bisa datang ya...

Kubaca sms perlahan, takut ada satu kata terlewat atau salah baca hingga artinya lain. Dan ini bukan pesan pendek, tapi pesan panjang yang sempurna untuk memperpanjang penderitaan.
Married? sebulan lalu kami masih bersama, dia bilang belum siap untuk nikah. Tapi, kini sudah berencana menikah. Entah sandiwara apa yang ia mainkan. “Jangan menangis lagi, Dona.” Laras menghiburku.

~0~

Soal cinta aku lemah, kata gagal nampaknya bersahabat  denganku. Tapi, yakin seseorang telah dipersiapkan, tinggal memantaskan diri, banyak cara cinta itu bertemu.
“Dona, ya?” Wajahnya tidak asing, tapi sumpah berani salto tetap nggak bisa mengingatnya.
“Aku kira ini pernikahan kamu sama Doel.” Semoga ia orang pertama dan terakhir yang mengatakan itu di pesta ini.
Entah darimana kekuatan menerima undangannya? Sempat meragu, lalu ia menggandengku. Aneh, kubiarkan saja tautan jemarinya yang hangat, seperti memiliki kekuatan kedua dan rasa percaya diri untuk menampakkan batang hidung di depan Doel.
“Hai! Selamat ya,” ucapnya, Doel melirik padaku, terpana menatap tanpa berkedip.
“Kalian bersama?”
Pria yang masih belum bisa kuingat itu mengangguk, meraih tanganku. Semula ingin kutepis, tapi bukankah bagus melakukan didepan Doel? Dia pikir hanya dia pria hebat, dengan cepat berpindah ke lain hati. Dia pikir aku nggak bisa move on dari jerat cintanya?

Keluar dari resepsi membuat lega, bersyukur takada tetes airmata, entah karena telah mengering atau mungkin karena dia yang tak bisa kuingat namanya.
“Eh, tunggu! Maaf ... nama kamu siapa?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga.
“Dendy,” ucapnya jelas, nama yang rasanya pernah kudengar tapi entah dimana.

~0~

Malam ini langit tak bersahabat, tetesan air hujan membasahi kaca jendela. Malam yang akan dilewati oleh Doel dan isterinya. Sial! Sakitnya masih terasa, air mata pun bergulir bebas tanpa perlu komando.

Kupandangi layar laptop, niat mengerjakan tugas, tapi tak satu pun kata kutulis. Kubuka facebook yang lama tak terjamah, foto kenangan Doel belum kuhapus.
“Dendy?” Nama itu muncul di inbox.

Hey! kamu yang gagal move on ... terus saja menangis seperti itu, hingga sumber airmata mu tak bersisa. Asal jangan kamu habiskan sumber senyummu itu buatku. Semangat!! J

Memoriku kembali ke beberapa tahun lalu. Saat SMA, seragam olahraga berwarna biru, tas gendong melingkar di bahu.
“Don, ini buat kamu.” Seorang cowok berseragam putih abu dengan kaca mata minusnya, memberi amplop berwarna biru muda, disana tertulis :

“One day in your life, when you find
that you’re always waiting for the love we used to share
just call my name
and I’ll be there...”

Dendy

Seingatku itu lirik lagu One Day in Your Life dari Michael Jackson. Aku langsung mencari CDnya. Dialah pemuda yang untuk pertama kalinya mengajariku untuk tersenyum diam-diam.

***

Tutup Auratmu!



Oleh : Nanae Zha

 “Tidak akan dihormati jika bukan dirimu yang menghormati.” Masih terngiang ucapan almarhumah nenek yang lebih sering kuanggap sebagai angin lalu. Entah apa maksudnya, masih belum mengerti, tapi juga tak ada niat bertanya lebih jauh. Kuabaikan saja petuahnya.
“Eh, Na ada salam tuh dari Heri,” ucap kakak kelasku saat pulang sekolah.
Saat itu aku masih kelas satu SMP, sebenarnya belum mengerti arti kata salam, apakah sama dengan cinta atau sebuah kata iseng tanpa makna? Hampir setiap harinya, setelah pulang sekolah dengan satu geng, selalu dibuntuti anak kelas tiga. Membuatku dan teman-teman merasa risih dengan keberadaan mereka.
Sampai suatu hari, aku berjalan sendiri saat pulang sekolah. Di tikungan itu aku dikagetkan oleh Bambang temannya Heri.
“Na, Heri mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Ada apa? Kalau mau ngomong di sini saja,” ucapku mencoba berani menghadapi kakak kelas yang terbilang garang, mereka termasuk anak-anak yang rajin masuk ruang BP karena sering tawuran.
“Dia mau kamu datang ke sana.” Ia menunjukkan tempat di ujung gang yang lumayan agak sepi.
“Enggak mau, ah!”
“Ayo, kalau kamu enggak nurut nanti aku yang kena marah.”
Tanpa ancang-ancang ia menarik tanganku erat, diseret-seret untuk mengikuti kemauannya. Jantung dag dig dug, keringat dingin mengucur di dahi. Aku pun berteriak sekencang-kencangnya, dan beruntung ada teman sekelas yang lewat di sana.
“Hey! Ada apa, Na?” Mereka mendekat. Bambang yang masih menarik paksa tanganku, menoleh ke arah teriakan. Karena banyak yang datang dan mungkin dia malu, akhirnya ia melepas tanganku dan pergi menjauh.
Lalu, aku menceritakan kejadian itu sama nenek. Ia masih menatapku lekat, ada rasa khawatir di pelupuk matanya. Namun, ia mencoba tersenyum sebijak mungkin.
“Nenek bilang juga apa, tidak akan ada yang menghormati jika kamu tidak menghormati dirimu sendiri.”
“Maksud Nenek? Bagaimana caraku menghormati diri sendiri?”
“Tutup auratmu! Maka Allah akan melindungi kehormatanmu. Setiap helai rambut, akan meminta pertanggungjawaban di akhirat, setiap langkah tanpa menutup aurat sama dengan kamu mendorong bapakmu ke neraka.”
Aku terperenyak, sesaat aku terdiam. Aku kira masih muda, bukan Emak-emak yang harus selalu pake jilbab panjang dan gamis menjuntai-juntai sampai bisa membersihkan lantai tanpa perlu menggunakan sapu.
Tapi, aku enggak mau mengalami kejadian buruk seperti itu lagi. Keesokan harinya aku minta Nenek membeli seragam panjang dan jilbab. Aku mau belajar berhijab. Setelah penampilanku berubah, entah bagaimana caranya perilaku pun berubah. Aku merasa lebih tenang dalam setiap kata juga perbuatan. Mungkin aku harus berterima kasih pada Heri dan temannya, jika saja dulu itu tidak terjadi belum tentu saat ini aku memakai hijab. Selalu ada hikmah di balik musibah.
Nenek meninggal tujuh tahun lalu, dan aku masih terus teringat akan nasihatnya hingga sekarang. Semakin hari hanya ingin menjadi pribadi lebih baik. Aku ingin mendapatkan suami yang kelak akan membimbingku dunia akhirat, karena pada dasarnya jodoh kita adalah cerminan pribadi kita.
Wahai calon imam yang masih dirahasiakan, temukan aku dalam doamu. Semoga dengan ridho-Nya kita akan bertemu dengan cara yang indah. Semoga dengan menutup auratku, sama dengan membuka jodohku.

***
Cianjur, 12 Februari 2015

Kamis, 19 Februari 2015

Berjihad Dalam Diam (Say No To Pacaran)



 

Oleh : Nanae Zha

“Kapan kamu menikah? Mama sudah ingin menimang cucu,” ucap mama tersirat harap di matanya.

Aku terdiam, mencari jawaban tepat agar tidak menyisakan pertanyaan baru.
“Insya Allah, Ma. Kalau sudah waktunya, jodoh pasti bertemu.” Matanya berkaca-kaca. Secara tidak langsung, mungkinkah aku menyakiti hatinya?

***

“Na, malam minggu ini ada konser lho, mau ikut?” tanya Richie. Cukup lama aku mengenalnya, tapi masih saja ia belum mengenalku. Aku tidak menyukai keramaian seperti itu.
“Maaf, aku tidak bisa,” ucapku menolak sehalus mungkin.
“Itu yang aku suka dari kamu, Na.”

Richie memang baik, tampan, tapi aku menjaga hati agar tidak luluh karena ketampanan yang tak abadi. Jarak pun tercipta bukan berarti tidak suka, kuputuskan tidak ingin pacaran. Berjihad melalui cinta dalam diam untuk mendapatkan ridho Allah.

Dua tahun berlalu, Richie pindah ke luar kota. Takada kabar, jujur kehilangan, tapi kucoba berserah diri pada Allah. Siang itu, setelah acara pengajian, Mbak Mutia-kakak seniorku di kampus-menemuiku.

“Na, apakah kamu sudah siap berumah tangga?” tanyanya membuatku jadi salah tingkah. Aku hanya bisa menunduk. “Diam itu, Mbak anggap iya. Begini, saudara Mbak lagi mencari istri.  jika bersedia kami akan mengkhitbahmu,” ucapnya.
Sudah saatnya menunaikan sunnah Rasul dan menuruti kehendak ibu.

***

Malam itu, kedua keluarga bertemu. Aku menunggu di dalam kamar, perasaan campur aduk tidak karuan.
“Ya, Allah kuatkan hamba yang ingin mendapat ridho-Mu.”
“Na, keluarlah!” Ibu memanggilku. Jelas di matanya terpancar kebahagiaan.
Aku berjalan mengikuti ibu, di sana sosok pemuda duduk dengan pandangan tertunduk. Entah apa yang ia lihat di bawah sana. Aku menyapa keluarga Mbak Mutia. Saat pemuda itu mengangkat wajahnya hampir saja terperenyak.
“Richie?!” Ia tersenyum.
Inilah yang dinamakan jodoh, tanpa bisa diduga. Sejauh apapun berharap ia takkan datang, begitupun ratusan kali menolak jika jodoh takkan lari ke mana. Semoga Richie bisa menjadi imamku kelak.


***

_END_