Selasa, 17 Mei 2016

Annora yang Terluka




Perempuan adalah kemisteriusan. Katanya mereka tercipta dari tulang rusuk pria, pakai bim salabim, abra kadabra atau kun fayakun?

Aku masih belum paham. Andai saja perempuan diciptakan dari hati, mungkin pria takkan serumit ini untuk menyelami jiwanya. Dengan begitu, kaum Adam pun akan berhati-hati untuk menyakiti hati mereka.

“Ini gila!”

Perempuan itu membanting koran pagi yang dia baca. Berita tentang kasus pelecehan seksual dan pembunuhan seorang belia. Pagi yang dipenuhi dengan ocehan, sedang aku hanyalah pendengar setia.

Entah dia tercipta dari tulang rusuk, hati, atau pun otak lelaki, tetap saja jiwanya takkan terselami, pemikirannya tak mampu kubaca. Aku selalu menjadi orang paling dungu di depan kaum perempuan.

“Selamat pagi, Annora.”

Dia terdiam, masih memberengut kesal pada berita itu. Kuhidangkan secangkir kopi yang masih mengepul dengan dua helai roti. Sarapan sederhana yang bisa kubuat. Andai dia menyadari, kurang apa lagi pengorbananku?

Pernah suatu hari, dia basah kuyup dan kedinginan di jalanan. Kubalutkan jaket untuk menghangatkan tubuhnya. Esoknya, aku sakit berhari-hari, tak apa, asal jangan dia—wanita yang kucintai. Setelah kehilangan cinta pertamanya, dia begitu lemah dan terpuruk. Melupakan segala hal dalam hidupnya. Bagaimana bisa dia lupa padaku? Sementara, aku yang rela terluka untuknya.

Annora, aku sakit jika melihatmu menangis.

“Bri ...,” panggilnya. Tatapannya tiba-tiba meneduh. Ada sesuatu yang terasa janggal pagi ini. Lantas, dia menyodorkan bungkusan kecil dari balik punggungnya. Entah kapan dia menyembunyikannya di sana, luput dari penglihatanku.

“Selamat ulang tahun, Brian,” ucapnya membuatku terperanjat.

Thank’s, Annora.”

“Panggil aku ibu, Bri!” bentaknya.

Oh, pagi ini dia kembali. Ada gurat bahagia di wajahnya, seperti sebuah rasa yang meletup-letup dari dasar hatiku. Hidupku adalah permainan, jika sekarang menjadi teman, bisa jadi esok keluarga, bahkan orang asing.

Terima kasih, hari ini kau hadir sebagai ibu, entah esok hari. Bisakah kau mengingatku sebagai anakmu tiap hari? Meski hari ini bukan hari lahirku.

***

Senin, 16 Mei 2016

Teruntuk Cinta di Surga


 
Oleh : Nanae Zha
Harum bunga lili putih pemberianmu mewangi abadi
Lihatlah! Malaikat cinta di antara kita
Dialah yang menyatukan benang asa, tancapkan panah asmara
Dalam kekang layar mengembang penuhi angan di langit sepi
Rindu menggunung di ceruk jantung
Menganak sungai, mendebur ombak air mata
Gairah cinta memudar, sekujur batin limbung terkungkung
Balutan sunyi hitung detak tiap detik luka menganga

Ah, aku bukan pujangga
Tak pandai merangkai sajak yang gemetar
Namun, rindu ini menyiksa memaksa iringan duka
Hikayat pedih merajut sabar
Buncah rasa pada penghuni surga
Titipkan gelora rindu dalam untaian dedoa
Lantunan Alfatihah kupanjatkan pada-Nya
Aku yang terluka di atas pusara


Cianjur, 20 Maret 2015


CERMIN


Kutatap cermin di balik kegelapan malam
Remang cahaya menerawang ke dasar
Tertutup tirai kelam
Bayanganku mengakar
Terpalut aura sunyi dalam diri
Siapa itu di belakang?
Tiada namun terasa ada, kosong namun berisi
Mungkinkah itu aku? Ah, bukan!
Aku adalah aku,
Tetap aku,
bukan kamu!
dia, atau
mereka.
Biarkan waktu membakar cermin bangkai penuh kenangan
Menggarit mimpi yang tak bertepi
Meraba hidup dalam angan
Hitam putih tanpa arti
Cermin ...
Tunjukkan pemilik bayang semu
Jiwa bergetar dalam ruang geming
Aku ambigu ... dan tak tahu dari mana asalku?

Cianjur, 16 Oktober 2014



Sabtu, 14 Mei 2016

Prompt#115 - Laba-laba Tak Bersayap




Dia berjalan perlahan mengitari taman. Di depannya ada kupu-kupu hinggap di salah satu kuncup berwarna merah darah. Warna favoritnya. Senyumnya terkembang, sehelai benang tipis ditambatkan pada ranting, membentuk sebuah pola yang tampak terencana. Ada kepuasan saat selesai mengerjakan tugasnya. Lelaki itu mendekat pelan, bersandar pada bilah pohon yang mulai lapuk. Sesekali dia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan atau kadang membuang napasnya dalam satu kali hentakan.

Dari berbagai tempat, dia selalu memilih taman bunga sebagai tempat persinggahannya. Karena di taman itu, dia bisa melihat warna merah lebih banyak lagi. Dari bunga yang bertebaran, dari orang yang lalu lalang, bahkan dari warna langit sore yang memodifikasi jingga. Tak ada kegiatan lain yang menarik baginya selain menyulam jaring, memandangi warna favoritnya, sambil mencuri pandang gerak-gerik kupu-kupu yang bersayap merah.

“Hey, apa kau tidak ada kerjaan lain selain memerhatikanku?” tanya kupu-kupu gerah.

Lelaki itu tertegun. Sial! Dia ketahuan. Kupu-kupu itu  bicara padanya, setelah sekian lama mengasingkan diri dari kenyataan.

“Jangan mendekat!” teriak lelaki itu, tapi sayang, dia terlambat. Kupu-kupu telah terperangkap dalam jaringnya.

“Kau yang menjeratku dengan jaring laba-labamu!”

“Kau baru saja terlahir dari kepompong, kan? Belajar saja terbang, sayapmu masih belum stabil,” ucapnya sambil membantu melepas jeratan pada kaki-kakinya.

“Tahu apa kau tentang terbang? Bahkan tubuhmu pun tak bersayap.”

Lelaki itu tergeming. Ada sesuatu yang dia lihat dari kupu-kupu. Ia memang cantik. Namun, satu hal yang disayangkan, umur kupu-kupu tak pernah bertahan lama. Dan dia menyadari betul akan hal itu. Percuma cantik jika tak bisa hidup lebih lama!

“Mau mengajariku terbang?” tanya lelaki itu.

“Lepaskan dulu aku dari jeratanmu!”

Pertemuan singkat itu membekas dalam benaknya. Bukan soal jerat pada jaring yang menjadi persoalan. Tapi lebih rumit dari itu, jatuh cinta. Kesukaannya pada warna merah memberi celah pada hatinya, sebuah perasaan yang tak seharusnya ada. Cinta kadang hadir dengan ketidakadilan, memberi secercah harapan lantas kandas di tengah jalan. Seharusnya pertemuan itu tidak pernah terjadi.

“Mudah saja bagiku, tapi bagaimana aku bisa lepas dari jeratmu?”

“Maksudmu?”

“Jeratan tanpa pola, jaring yang tak kasatmata itu lebih rumit daripada jaring laba-labaku.” Mariposa namanya, dalam sekali pandang getar itu hadir tak terkendali.

“Sini! Ulurkan tanganmu,” perintahnya.

Mereka terbang menjelajahi setiap sudut kota, menghabiskan waktu bersama, menjelang langit berubah jingga. Sayapnya kelelahan, mereka terjatuh dari ketinggian, berguling-guling hingga sayapnya koyak. Lelaki itu tak bersayap, dia hanya pintar memintal jaring sutra. Sutra yang akan ia persembahkan untuk Mariposa, kekasihnya yang hanya hidup sehari, tak lebih.

Peluh membanjiri tubuh Mariposa, rasa nyeri di sayapnya yang mudah rapuh tak berarti apa-apa. Dia bahagia. “Terima kasih, telah membuat hidupku yang sehari begitu istimewa. Entah di kehidupan selanjutnya, aku belum tentu bisa mengajakmu terbang lagi,” ucap Mariposa.

“Seharusnya aku tak memintamu untuk mengajakku terbang,” ujarnya menyesal.

Lelaki itu diajari terbang, tapi lupa bahwa dirinya tak bersayap. Cinta telah mematahkan hatinya. Kini, dia memintal jaring laba-laba bukan hanya sekadar tempat bernaung. Namun, memintal asa. Semoga di kelahiran selanjutnya, Mariposa membawakan sayap untuknya. Sayap yang bisa melambungkan cintanya lebih tinggi.

Mariposa, aku tetap menyulam jaring laba-laba, berharap engkau hadir dan terjerat lagi di dalamnya.

***


Cianjur, 15 Mei 2016

Kamis, 12 Mei 2016

#FFKamis-Pinangan Kumbang




Aku telah mengenalnya cukup lama, perlahan dia memainkan bibir merahnya yang merekah. Ada pancaran ketenangan di sana. Dia tak banyak berkata, namun semua ucapannya telah meluncur dan meresap ke jantung hatiku. Lewat senyum, lewat kerling, lewat angin atau apa pun yang menguar dari tubuhnya merupakan kata-kata terangkai indah, seolah meminta untuk segera kupinang. Tentu saja, itu memang niatku. Tinggal memohon restu pada orang tuanya, lantas kami bisa hidup bahagia selamanya.

Seperti hari ini, aku diam-diam memerhatikan gerak-geriknya. Aku tahu, dia menyadari kehadiranku. Baru saja beberapa langkah kuhampiri, terdengar lengkingan dari si empunya.

“Kumbang hanya datang untuk mengisap madumu! Bukan menikahimu!”

***

#FFKamis 100 kata
#MFF


Senin, 02 Mei 2016

PELEBAYA






By : Nanae Zha 

Engkau melihat gadis itu dengan tatapan jijik. Mukamu memerah saat mendengar desahan napasnya mulai tak beraturan, liuk tubuh seirama dengan erangan penuh napsu. Gadis itu masih belia, bahkan belum cukup umur untuk memiliki KTP. Namun, permainannya di atas ranjang sudah sangat profesional.

Seorang bapak gendut terengah-engah di bawah tubuhnya. Terimpit. Umurnya sudah lebih dari setengah abad. Engkau datang di saat yang tidak tepat, semestinya bisa lebih tahu waktu. Biarkan dia menyelesaikan tugasnya, mungkin setelah mendapat bayaran atas kerja kerasnya malam ini. Namun, engkau terlalu gerah sedang titah telah diterima.

Dalam hentakkan terakhir yang seharusnya menjadi puncak kenikmatan, engkau menariknya paksa. Tanpa memberinya aba-aba atau kesempatan merapikan diri sejenak. Gadis itu kaget. Berontak, menolak untuk ikut denganmu. Engkau tak peduli, bahkan tak memberinya kesempatan untuk berpakaian. Percuma! Bagimu berpakaian atau telanjang sama saja.

“Lepaskan!”

“Kau telah lama bersenang-senang bukan?” tanyamu sinis.

“Lantas? Kau tak pernah bisa menikmati kesenangan ini, jadi untuk apa mengganggu kami? Apa kau ingin bercinta denganku? Huh! Kau memang tak punya rasa cinta!”

Engkau berang, memasang wajah garang, tak ada kompromi bagimu. Malas beradu argumen apalagi mendengar segala racaunya tanpa tahu malu. Sekali bubut, gadis itu lunglai tak bernyawa. Si Om-om cuma bisa bengong, lalu kalut setelah ditinggalkan gadisnya dalam keadaan telanjang di dalam sebuah hotel berbintang.

***

Engkau datang sendiri, dengan jubah hitam yang membungkus hampir seluruh tubuhmu. Ada senjata khas kau pegang di tangan. Mulut komat-kamit seolah membaca mantra. Mungkin mantra penenang jiwa, agar jiwa-jiwa rapuh itu pasrah menghadap. Tak ada yang bisa melihat sorot matamu. Terlalu gelap, cekung ke dalam atau bahkan mungkin membulat. Siapa yang tahu di balik tabirmu?

“Sudah saatnya kita melawan!”

“Siapa yang bisa melawan kehadirannya?”

“Kita! Makanya kita harus bersatu!”

Suara-suara itu cukup jelas kau dengar. Engkau diam tanpa reaksi, tetap tenang meski tak ada yang melihat raut ketenangan atau ketegangan di wajahmu. Tertutup tirai kelabu. Entah apa yang kau tunggu. Kemudian orang-orang berkata bahwa kau tak punya hati, tiada cinta pun rasa manusiawi.

Demo orang-orang yang menolak kehadiranmu semakin besar. Suara-suara semakin terdengar panas di telinga. Pagi, siang, malam engkau belum juga bosan, membiarkan ocehan itu mengendap seiring waktu.

“Bubarkan! Bubarkan! Bubarkan!”

Ternyata kau salah. Lihatlah! Jajaran tubuh-tubuh tangguh yang rela kedinginan saat hujan, kepanasan di tengah terik matahari. Malah jumlahnya semakin bertambah. Setiap hari teriakan mereka semakin lantang.

“Apakah dia akan mendengar kita?” tanya salah seorang pendemo.

“Dia pasti dengar.”

“Bagaimana kalau dia tidak mendengar?”

“Dia harus dengar!”

“Bagaimana kalau tidak?” Si pendemo keukeuh.

“Tuhan pasti mendengar.”

“Tapi dia kaki-tangan Tuhan.” Keduanya terdiam.

Inilah zaman ketika tabir mulai menipis. Tak ada sekat antara dua dunia, ketika manusia semakin lantang dalam bicara dan bertindak. Namun, mengindahkan adat, agama, dan logika. Mereka lebih suka menyebutmu pelebaya. Makhluk tak punya hati kata mereka. Mengapa engkau dibenci? Atas dasar apa mereka memintamu pergi?

***

Engkau selalu hadir tak terduga. Di pagi buta, terang benderang, bahkan gelap gulita tak ada waktu dan tempat yang membuat langkahmu surut. Seperti malam itu, engkau datang, lelaki tua sedang menggelar sajadah.

Hanya terpaku memerhatikan ritualnya sampai selesai, tak mengganggu. Selama itu menunggu dengan sabar. Wajahmu begitu teduh menatap lelaki tua, seperti wajah seorang anak yang merindukan ayahnya. Engkau ingin mendekapnya dalam pelukmu, hangat memberinya ketenangan dan kenyamanan di dada. Biji-biji tasbih bergulir di tangannya. Engkau masih berdiri di sudut kamar.

Seperti telah melihat kedatanganmu, dia menoleh lantas melambaikan tangan. “Aku sudah menunggumu. Kemarilah!” ucap lelaki tua.

Engkau beringsut mendekati. Tak banyak bicara, namun sinar matamu menjanjikan sebuah kedamaian di sana. Lelaki tua tersenyum. Kali ini engkau hadir dengan ribuan cahaya di tubuhmu. Berpendar mengisi ruangan. Malam yang sekiranya bisa disaksikan ribuan mata, maka akan menjadi malam terindah tanpa perlu sinar lampu.

Dia merebah pasrah. Kau membimbingnya, bahkan membiarkan dia untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Perlahan dia menyeka keringat di dahinya, mungkin tampak gugup berhadapan denganmu.

“Apa kau takut?” tanyamu.

“Bagaimana aku bisa takut setelah melihat sinar di matamu?”

“Aku hanya akan membawamu ke tempat yang lebih baik. Dunia ini terlalu sumpek untukmu, bukan?” tanyamu lagi.

Lelaki tua mengangguk setuju, dia terlalu baik untuk terus menghadapi kerasnya dunia. Engkau pernah mendengar bahwa kebanyakan dari manusia ingin abadi, bahkan sempat menyalahkan leluhurnya karena begitu mudah terkena bujuk rayu. Kini mereka meminta hak, setelah terusir dari surga setidaknya berikan keabadian di dunia. Mungkin itu sebabnya mereka membencimu, karena kehadiranmu hanya menggagalkan keinginan. Sialnya! Engkau tak mudah goyah oleh uang dan wanita.

Bukan rahasia, engkau lebih senang mengajak orang-orang baik terlebih dahulu daripada orang jahat. Tak ada yang bisa mengalahkan karena tugasmu bukan sebagai pelebaya semata. Makhluk suci yang dimuliakan, terbuat dari cahaya kemilau. Kemunculanmu bisa begitu anggun, namun di lain waktu engkau datang dengan wajah garang. Tergantung seberapa banyak kadar iman seseorang. Tak peduli orang memanggilmu apa, yang pasti namamu bersembunyi di balik tabir Tuhan.

“Kumohon cabut nyawaku segera!” ujar lelaki tua.

***

Catatan Mei, 2016