Minggu, 13 Maret 2016

REVIEW NOVEL HUJAN TERE LIYE




REVIEW NOVEL HUJAN
Judul : Hujan
Penulis : Tere Liye
Penerbit :  Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 320 hal.
ISBN 978-602-03-2478-4

Sinopsis
Seorang gadis pecinta hujan, Lail. Di setiap hujan turun selalu ada kejadian tak terlupakan menimpanya. Pertama, dia kehilangan ibu di depan matanya, ayah dan keluarga besar yang entah di mana keberadaannya, lenyap bersama hujan akibat letusan gunung purba menyebabkan gempa vulkanik berkekuatan 10 skala Richter. Mengguncang dunia, beberapa negara di belahan dunia lain mengalami nasib sama bahkan lebih mengenaskan ketika gelombang Tsunami meluluhlantakkan dataran beserta penghuninya. Hanya yang memiliki keajaiban yang bisa bertahan. Dari sana cerita bermula, Lail nyaris jatuh diselamatkan pemuda yang sama-sama kehilangan 4 kakak lelakinya, tertimpa di stasiun bawah tanah. Hujan mempertemukan mereka.

Hujan asam bisa menghancurkan apa pun yang terkena siramannya. Lelaki itu bersepeda sepanjang jalan demi mencari Lail. Dia menyelamatkan lagi hidupnya untuk kedua kali di saat hujan. Lail, melanjutkan hidupnya sebagai relawan hingga lulus menjadi perawat. Saat itu, mereka belum menyadari sebuah perasaan yang terlalu dini. Hingga waktu mengubah segalanya, membentuk rasa yang akhirnya terbukti nyata. Cinta.

Tahun 2042 dengan sistem teknologi canggih, mengubah dunia yang tak terbayang menjadi nyata. Manusia merusak alam, mengubah iklim dunia, suhu dingin, salju tebal, kini panas yang memanggang tanpa hujan. Manusia dan seluruh kehidupan akan punah karena keegoisan umat manusia semata. Kiamat!

Esok, seorang pemuda jenius. Usia 17 tahun telah mampu membuat sesuatu yang menakjubkan. Kehilangan empat kakak tidak membuatnya putus asa. Hingga akhirnya, dalam keterpurukan akibat bencana alam maha dasyat itu, ibunya yang telah kehilangan kaki karena tertimpa harus diamputasi, membuatnya semakin gigih berusaha. Di kamp pengungsian, sama-sama kehilangan, Lail dan Esok sering berbagi cerita. Hingga Esok diangkat anak oleh seseorang penting, yang turut mengubah sejarah dunia. Esok pergi melanjutkan ke universitas di Ibu Kota melakukan banyak hal, bekerja sama denganprofesor menciptakan sebuah mesin. Rahasia. Proyek Kategori 1.
Namun, ada apa denga hujan? Mengapa ingin dilupakan?

Gilaaa! Membaca novel ini pertama dibutuhkan waktu yang khusus. Baiklah, ini dalam kacamata saya sebagai pembaca mengapa jatuh cinta dengan novel karya Tere Liye ini :
Cover, jujur aku suka melihatnya. Cover berwarna biru yang cantik dan lembut mengundang perhatian.
Judul Hujan, secara saya termasuk pecinta hujan. Selalu ada kedamaian saat melihat tetesan air langit menimpa bumi, meski di baliknya tersimpan kenangan yang cukup menyesakkan (malah curhat)
Kembali lagi ke judul yang membuat penasaran, awalnya berpikir tentang cinta romantis seperti film India yang bertemu saat hujan terus menari dan menyanyi. Lupakan! Adegan ini tidak ada! Bab awal cukup membuat agak jenuh, heran, dan bertanya-tanya tidak ada adegan hujan-hujanan yang kentara. Lantas mengapa judulnya hujan?

Setting tahun 2042, ini ide yang menarik. Kecanggihan teknologi mengubah sejarah dunia.
Tokoh, yang pasti bikin baper. Menangis sejadi-jadinya. Baiklah, aku jatuh cinta pada Esok—Soke Bahtera—yang jenius, semangat, bertanggung jawab. Sangat bertanggung jawab akan tugas juga cintanya. Hingga harus menghabiskan masa mudanya bekerja di lab sebagai salah satu ilmuwan ternama. Bekerja dengan para profesor. Dan itu membuat ia kehilangan banyak waktu dengan perempuan yang disayanginya.

Saya sangat gemas dengan novel ini hingga bab terakhir terkuak. Bahkan tidak berani melanjutkan apa yang akan dipilih Esok. Apakah waktu akan membawanya pergi dengan orang-orang yang terpilih, lalu meninggalkan Lail tanpa bisa menikmati hujan? Ini sumpah bikin nyesek. Kumohon, Esok jangan pergi. Itu permintaanku. 

Kehadiran Maryam menyuguhkan guyonan menarik dalam novel ini. Di sela-sela tangis masih bisa tertawa, membayangkan tingkah konyol Maryam, sahabat Lail. Beberapa guyonan Maryam yang menarik saat berada dalam taksi dan meminta taksi otomatis tanpa supir itu terbang, sedang protokol keselamatan melarang taksi untuk terbang kecuali dalam situasi darurat. Dialog Maryam selalu bikin ngakak, ini poin yang menambah hidup cerita :D

Beberapa quote yang menarik :

·         Kesibukan adalah cara terbaik melupakan banyak hal, membuat waktu melesat tanpa terasa (hlm 63)

·     Usianya saat itu baru empat belas tahun, Esok enam belas. Lail belum tahu perasaannya, masih beberapa tahun lagi. Tapi saat itu dia sudah tahu, Esok akan selalu penting baginya (hlm 91)

·         Mereka hanya duduk bersama selama satu jam, setelah setahun tidak bertemu. Sebentar sekali dibanding 365 hari. Tapi bagi Lail, itu lebih dari cukup. Dia sudah sangat senang. Rasa senang yang membuatnya sabar menunggu setahun lagi (hlm 182)

·         Apakah kita akan memilih melupakan atau mengenang semua hal menyakitkan? (hlm. 196)

·         Kenapa dia selalu bahagia memikirkan Esok, tapi kemudian merasa sedih? Kenapa dia ingin mengusir semua pikiran ini, tapi saat bersamaan dia tersenyum mengenangnya? (hlm.206)

·         Bagi orang-orang yang menyimpan perasaan, ternyata bukan soal besok kiamat yang membuatnya panik, susah hati. Cukup hal kecil seperti jaringan komunikasi terputus, genap sudah untuk membuatnya nelangsa (hlm.212)

·         Dia memang tidak menyapamu. Tapi dalam banyak hal, kebersamaan tidak hanya dari sapa-menyapa (hlm.247)

·         Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap di hati kita saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka, biarlah begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh, dunia ini selalu ada misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa kedamaian (hlm 255)

·         Bagaimana aku akan menghabiskan sisa waktu bumi jika kamu melupakanku (hlm.314)

·         Bukan seberapa lama manusia bertahan hidup untuk ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami.(hlm 317)

·         Barang siapa bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, maka dia tidak akan pernah bisa melupakan (hlm 318)


Walau bagaimanapun tetap ada bagian yang menurut saya terasa kurang klop. Setting di tahun 2042 dengan kecanggihan teknologi, sejujurnya saya tidak bisa membayangkan kota ini di suatu tempat. Saya bingung antara membayangkan Indonesia, dipadupadankan Jepang atau negara Eropa. Meskipun berulang kali membayangkan dalam kecanggihan seperti itu tetap saja gagal.

Satu lagi, masa depan memang penuh kejutan* (uhuk ... subjudul novel gue yang belum juga kelar :D
Ini masalah serius sepanjang membaca, entah efek Gerhana Matahari Total kemarin tanggal 9 Maret bikin saya parno sendiri. Bukankah banyak cerita fiksi yang menjadi nyata? Tak terbayang jika di tahun tersebut terjadi hal demikian. Semoga dijadikan pembelajaran bagi para ilmuwan, masyarakat dunia untuk tidak melebihi kuasa Allah. Bahwa manusia tetap bertanggung jawab dalam menjaga alam dan lingkungannya.

But over all, I really like this novel.
Penasaran kan, kalian? Yuk! Segera deh beli novel ini. Nggak bakalan nyesel bacanya. Feel-nya dapet banget. Saya bisa merekomendasikan novel ini kepada siapa pun untuk bisa berimajinasi tentang masa depan. Good job Tere Liye. Di balik namamu yang akhir-akhir ini menjadi banyak sorotan. Keep writing! Saya tetap menunggu karyamu yang ruar biasyaahhh ....

Selasa, 08 Maret 2016

Pudarnya Cahaya Malam


Oleh : Nanae Zha

Mata kami beradu, tak lama ia segera menunduk. Bias bulan dan titik-titik kecil yang mengelilingi tampak tersaput kabut malam, menyisakan gelap. Namun, sekelebat saja dapat kulihat jelaga misteri dalam mata gadis itu. Ia memainkan jemari tangannya, tampak gelisah. Ingin sekali aku menghampiri sedikit memberi ketenangan bahwa dirinya tidak sendiri.
“Ini tidak adil!” teriaknya mencoba membela diri. Suaranya memecah keheningan. Angin mendesir meniup tengkukku.
“Sudahlah, rebahkan sejenak segala gundah. Biarlah kita menjalani hukuman ini dengan cara yang indah. Di sini kita bisa memulai kehidupan baru. Untuk apa tinggal di tempat tertinggi, bersinar, tapi tetap berjelaga?”
“Sinarmu adalah petunjuk dalam kegelapan. Tugas kita cukup menyinari meski ada dalam jelaga. Apa artinya jika tak mampu bersinar lagi?”
 “Kamu tahu kenapa langit begitu gelap? Karena cahaya sesungguhnya ada karena cinta. Mereka yang di langit takkan bersinar jika tak memilikinya. Entah di manapun berada, di langit atau di bumi kamulah sinar paling terang.”
Baru sadar saat memandang ke atas sana bahwa jarak kami kini begitu jauh. Sebuah kekeliruan menurut mereka—penguasa malam. Padahal apa yang salah? Hanya karena saling mencintai, bukan berarti menjadi dosa tak terampuni. Dalam sekali lesapan cahaya, kami tersungkur ke bumi seiring pudarnya cahaya malam.


***

Sabtu, 05 Maret 2016

Rahasia Cermin Tua


Oleh : Nanae Zha

“Mama ... Adi mau main sama Oma itu.”
Tangannya menunjuk ke arah cermin yang menggantung di antara terap tangga. Cermin itu lagi, rasanya membawa pengaruh mistik di rumah ini. Entah untuk yang ke berapa kali aku merasa terganggu dengan aura rumah yang terasa begitu dingin. Seperti sekarang, tengkukku terasa sepuluh kali lebih dingin dari biasa.
Aku menerawang jauh ke dalam cermin yang  ditunjuk Adi. Tak ada apa pun di sana kecuali bayanganku dan Adi di depannya. Lalu, Oma siapa yang dimaksud Adi? Kutarik lengan Adi yang masih menatap cermin dengan senyum terkembang, tangan Adi menggapai-gapai cermin seolah ada seseorang mengajaknya masuk ke dalam cermin itu.

***

Aku berdiri di bawah jendela kamar, malam ini angin bertiup kencang. Gorden yang terus melambai-lambai seakan mengajak untuk menikmati suasana malam yang jarang kudapatkan selama di kota. Sambil menunggu Mas Rafli pulang dan tentu saja Adi telah tidur dengan nyenyaknya. Tunggu! Siapa dia? Wanita dewasa berusia sekitar empat puluh tahunan, berdiri di bawah pohon beringin di depan rumah. Wanita ini berpenampilan tak seperti biasa, dress putih yang menjuntai panjang menutupi mata kakinya. Potongan rambut ala Marilyn Monroe dengan rambut pirangnya, ah, aku yakin dia bukan warga sini. Lebih mirip noni Belanda. Tak lama ia duduk berayun, terdengar bunyi berderit dari gesekan besi ayunan yang telah lama berkarat, ia bernyanyi..

Paradiso met je palmenstrand, ach die tijd vergeet ik niet
Paradiso met je palmenstrand, wat geluk was werd verdriet

Rasanya aku pernah mendengar lagu itu, iya dulu saat Opa masih ada, dengan piringan hitam yang tampak tua, ia sering memainkan lagu ini. Lagu yang pernah begitu populer di tahun 60-an, aku enggak begitu yakin siapa penyanyi aslinya. Aku membalik cover bagian dalam, di sana kutemukan profil penyanyinya. Joanna Louise Gronloh (Anneke Gronloh), lahir di Tondano Sulut, 1942.

Kata Opa, ia seorang anak keturunan Indonesia- Belanda. Dan hal paling mengejutkan yang aku tahu, lagu nina bobo pengantar tidur di masa kecilku, dialah yang menyanyikan untuk pertama kali.
Wanita itu masih duduk di sana sambil mengayun-ayunkan kakinya, lagu paradiso yang ia bawa bernada rendah tak seperti aslinya. Ia menyanyikan dengan tempo lambat, terasa sedih. Siapa sebenarnya dia? Deg! Noni Belanda itu menatap padaku, lalu tersenyum..
“Anna, aku kesepian ... tolong temani aku!” ia menyebut nama sambil melambaikan tangannya.

Pandanganku kabur seiring kilat yang menyambar. Limbung. Saat tersadar sebuah adegan aneh terjadi di rumahku. Terjadi pergulatan hebat, adegan tarik-menarik baju, hingga akhirnya pria itu menjambak rambutnya yang pirang. Terdengar erangan yang memilukan menahan rasa sakit pada pergelangan tangan yang dibelitkan kebelakang. Perseteruan rumah tangga yang memekakkan setiap dinding, hingga langit membalasnya dengan guyuran hujan yang sangat deras.
Adegan dorong mendorong pun terjadi, akhirnya Noni Belanda itu terjatuh berguling-guling menuruni anak tangga yang terhitung belasan. Tubuhnya berlumuran darah, kulihat cermin di dinding nampak bergoyang-goyang mungkin akibat tersenggol oleh badan yang tadi terjengkang ke bawahnya.
Dan akhirnya PRANG!!! Cermin itu terjatuh dan tepat mengenai Noni Belanda yang tampak menggeliat menahan nyeri serpihan kaca di tubuhnya.
“Aaakkhhh ...!” Aku menjerit.
Kulihat laki-laki itu menghampiri mayat, diikuti seorang wanita muda berkebaya biru sederhana mengikuti dari belakang.
“Oma?” Aku terbelalak, itu adalah Oma di masa mudanya, dan berarti pria itu adalah Opa, bagaimana bisa mereka ada di sini?
“Bagaimana ini? Saya tidak sengaja mendorongnya Sri, saya tidak bermaksud membunuhnya.”
Aku melihat Oma dan Opa membopong mayat yang berlumuran darah itu keluar. Tepat di bawah pohon beringin, mereka berdua menggali kuburan, lalu memasukkan mayat itu ke dalamnya. Aku tersentak kaget, beginikah kisah nenek moyangku? Kesalahan selama puluhan tahun menjadi rahasia yang terkunci rapat dalam hati dan pikiran mereka, kini harus terkuak di hadapanku.

“Kau puas melihatnya Anna?” tanya Noni Belanda itu.
“Apa maksudmu?” Aku berteriak, rasanya ingin segera menghambur ke kamar dan kembali masuk dalam raga. Aku membutuhkan Mas Rafli untuk membangunkan, tapi ia berdiri di sana menghalangi jalan.
“Kejahatan nenek moyangmu! Ini bukan hanya sekedar mimpi, karena malam itu nyata dan pernah terjadi. Nenekmu merebut suamiku, James mencampakkan bahkan merenggut nyawaku!”
“Jika itu kesalahan di masa lalu, enggak ada hubungannya denganku!” seruku dengan suara bergetar.
“Tentu saja ada hubungannya, kamu adalah keturunan dari para pendosa itu!” hardiknya nampak garang kali ini. Matanya melebar menaruh dendam kesumat yang tak berkesudahan.
“Lalu apa maumu?” teriakku yang semakin tak berdaya.
“Aku hanya kesepian Anna, aku hanya ingin ditemani.” Dengan nada memelas dan terdengar sendu.
“Tidak! Ini tidak mungkin! Kita berbeda, aku punya duniaku! Aku takkan sudi menemanimu!”
Di balik tubuh Noni Belanda, Adi yang polos, tatapan mata kosong, tangannya menggapai-gapai cermin besar di depannya. Badanku menggigil, aku merasa seharusnya tak berada di sini. Aku berlari menghampiri Adi, tapi semakin cepat berlari, langkahku semakin menjauh.
“Adi!“ Aku berteriak memanggil namanya. Adi menoleh lalu tersenyum, ia melambaikan tangannya padaku.
“Mama, Adi mau ikut Oma. Kasihan Oma sendiri!” Adi mendekati cermin itu lalu mengulurkan tangannya.
“Adi jangaannn ...!” Jam dinding menunjukan pukul dua dini hari. Aku terbangun dengan napas tersengal-sengal. Mas Rafli nampak kaget dengan keadaanku.
“Ada apa? Mimpi buruk lagi?” tanyanya.
Tapi tak kuhiraukan, langsung menghambur menuju kamar Adi yang berada di sebelah. Saat membuka pintu dengan perasaan berdebar, di sana tak  kutemukan Adi. Aku berlari ke bawah tangga, cermin besar itu pun menghilang.

Paradiso met je palmenstrand, ach die tijd vergeet ik niet
Paradiso met je palmenstrand, wat geluk was werd verdriet

Nyanyian  yang sering kudengar di malam-malam kelam. Cukup hapal dengan nada rendah dan menyayat hati. Namun, kali ini bukan suara Noni Belanda yang terdengar, tapi suara Adi.


 ***

Cianjur, 05 Maret 2016

Jumat, 04 Maret 2016

Aku, Perempuan yang Sulit untuk Jatuh Cinta


Oleh : Nanae Zha

Jawaban apa yang kamu mau? Aku bukanlah penerjemah terbaik dari setiap isyarat. Semua katamu masih ambigu apalagi rasa. Ini tentang hati yang sulit dimengerti, jangankan dirimu bahkan pemiliknya pun masih bertanya, apa mau sebenarnya jiwa.

Aku memang sederhana tak perlu banyak kata untuk meluluhkan. Dengan segala khidmat mampu kuurai segala perasaan. Namun, aku bukan perempuan biasa yang dengan untaian kata lantas menjura, karena seribu puisi cinta kemudian memuja laksana dewa. Bukan!
Benar terlalu banyak perempuan berkata, “ Kami tidak ingin pacaran! Jika serius bawalah orang tua ke rumah.”

Ini merupakan tantangan bukan? Nyatanya ketika perempuan kembali ditantang dengan pembuktian cinta. Lalu seribu alasan kan terujar. “Apa yang kau tahu tentangku? Kita berdua masih asing, terlalu cepat memutuskan. Sama-sama hidup dalam kemayaan, bahkan cinta ini bisa saja fatamorgana.”Akhirnya tak pernah kau temukan jawaban.

Tak ada niat menorehkan luka jika berkata tidak. Namun, tak berani berkata iya pada sesuatu yang belum semestinya. Maaf ... atas ketidakberdayaan karena pertanyaanmu. Hati ini memang milik diriku, tapi tak selalu aku yang memiliki jawaban itu. Jika persahabatan adalah kata lain dari cinta, mungkin cukupkan sekian jawaban ini.

Terima kasih padamu yang mencintai dari kejauhan. Segala kepastian hanya milik-Nya. Cukup kuatkan aku dalam doamu, tak ada yang tahu ketika Sang Maha membolak-balikkan hati. Adalah aku perempuan yang sulit untuk jatuh cinta.


Cianjur, 18 Februari 2016

Kamis, 03 Maret 2016

Tiga Puluh Februari


Semalam tak henti merapal dedoa, berharap hari lekas berganti. 30 Februari, tak jemu kutunggu, semoga kelak bertemu.

Pagi ini telah dikejutkan pada kenyataan yang tak mampu kuterima. 30 Februari tak ada! Oh, adilkah ini?
Sama sesaknya ketika kau kunanti namun tak kunjung kembali.

Hey! Sadarilah!
Jika tak temukan 30 Februari, bukankah Allah mengganti dengan 1 Maret?
Walaupun dia tak pernah hadir, akan ada saat kau dipertemukan seseorang dalam takdir.
Allah selalu punya rencana yang lebih baik daripada apa yang kamu duga. Percayalah!

Cianjur, 01 Maret 2016

Selasa, 01 Maret 2016

Sambatan Senja


Oleh : Nanae Zha
geletar fajar berpijak pada sebongkah asa
berleret menapaki tapaltapal mimpi
terurai kisah pada mata cakrawala
mendikte setiap lembaran hidup yang hakiki
adalah kamu berdiri di puncak rasa
menyemai percikan cinta yang meraja
sayang ; semua tak lagi sama
yang tersisa hanya senja dalam nestapa
Cianjur, 12 September 2015