Sabtu, 05 Maret 2016

Rahasia Cermin Tua


Oleh : Nanae Zha

“Mama ... Adi mau main sama Oma itu.”
Tangannya menunjuk ke arah cermin yang menggantung di antara terap tangga. Cermin itu lagi, rasanya membawa pengaruh mistik di rumah ini. Entah untuk yang ke berapa kali aku merasa terganggu dengan aura rumah yang terasa begitu dingin. Seperti sekarang, tengkukku terasa sepuluh kali lebih dingin dari biasa.
Aku menerawang jauh ke dalam cermin yang  ditunjuk Adi. Tak ada apa pun di sana kecuali bayanganku dan Adi di depannya. Lalu, Oma siapa yang dimaksud Adi? Kutarik lengan Adi yang masih menatap cermin dengan senyum terkembang, tangan Adi menggapai-gapai cermin seolah ada seseorang mengajaknya masuk ke dalam cermin itu.

***

Aku berdiri di bawah jendela kamar, malam ini angin bertiup kencang. Gorden yang terus melambai-lambai seakan mengajak untuk menikmati suasana malam yang jarang kudapatkan selama di kota. Sambil menunggu Mas Rafli pulang dan tentu saja Adi telah tidur dengan nyenyaknya. Tunggu! Siapa dia? Wanita dewasa berusia sekitar empat puluh tahunan, berdiri di bawah pohon beringin di depan rumah. Wanita ini berpenampilan tak seperti biasa, dress putih yang menjuntai panjang menutupi mata kakinya. Potongan rambut ala Marilyn Monroe dengan rambut pirangnya, ah, aku yakin dia bukan warga sini. Lebih mirip noni Belanda. Tak lama ia duduk berayun, terdengar bunyi berderit dari gesekan besi ayunan yang telah lama berkarat, ia bernyanyi..

Paradiso met je palmenstrand, ach die tijd vergeet ik niet
Paradiso met je palmenstrand, wat geluk was werd verdriet

Rasanya aku pernah mendengar lagu itu, iya dulu saat Opa masih ada, dengan piringan hitam yang tampak tua, ia sering memainkan lagu ini. Lagu yang pernah begitu populer di tahun 60-an, aku enggak begitu yakin siapa penyanyi aslinya. Aku membalik cover bagian dalam, di sana kutemukan profil penyanyinya. Joanna Louise Gronloh (Anneke Gronloh), lahir di Tondano Sulut, 1942.

Kata Opa, ia seorang anak keturunan Indonesia- Belanda. Dan hal paling mengejutkan yang aku tahu, lagu nina bobo pengantar tidur di masa kecilku, dialah yang menyanyikan untuk pertama kali.
Wanita itu masih duduk di sana sambil mengayun-ayunkan kakinya, lagu paradiso yang ia bawa bernada rendah tak seperti aslinya. Ia menyanyikan dengan tempo lambat, terasa sedih. Siapa sebenarnya dia? Deg! Noni Belanda itu menatap padaku, lalu tersenyum..
“Anna, aku kesepian ... tolong temani aku!” ia menyebut nama sambil melambaikan tangannya.

Pandanganku kabur seiring kilat yang menyambar. Limbung. Saat tersadar sebuah adegan aneh terjadi di rumahku. Terjadi pergulatan hebat, adegan tarik-menarik baju, hingga akhirnya pria itu menjambak rambutnya yang pirang. Terdengar erangan yang memilukan menahan rasa sakit pada pergelangan tangan yang dibelitkan kebelakang. Perseteruan rumah tangga yang memekakkan setiap dinding, hingga langit membalasnya dengan guyuran hujan yang sangat deras.
Adegan dorong mendorong pun terjadi, akhirnya Noni Belanda itu terjatuh berguling-guling menuruni anak tangga yang terhitung belasan. Tubuhnya berlumuran darah, kulihat cermin di dinding nampak bergoyang-goyang mungkin akibat tersenggol oleh badan yang tadi terjengkang ke bawahnya.
Dan akhirnya PRANG!!! Cermin itu terjatuh dan tepat mengenai Noni Belanda yang tampak menggeliat menahan nyeri serpihan kaca di tubuhnya.
“Aaakkhhh ...!” Aku menjerit.
Kulihat laki-laki itu menghampiri mayat, diikuti seorang wanita muda berkebaya biru sederhana mengikuti dari belakang.
“Oma?” Aku terbelalak, itu adalah Oma di masa mudanya, dan berarti pria itu adalah Opa, bagaimana bisa mereka ada di sini?
“Bagaimana ini? Saya tidak sengaja mendorongnya Sri, saya tidak bermaksud membunuhnya.”
Aku melihat Oma dan Opa membopong mayat yang berlumuran darah itu keluar. Tepat di bawah pohon beringin, mereka berdua menggali kuburan, lalu memasukkan mayat itu ke dalamnya. Aku tersentak kaget, beginikah kisah nenek moyangku? Kesalahan selama puluhan tahun menjadi rahasia yang terkunci rapat dalam hati dan pikiran mereka, kini harus terkuak di hadapanku.

“Kau puas melihatnya Anna?” tanya Noni Belanda itu.
“Apa maksudmu?” Aku berteriak, rasanya ingin segera menghambur ke kamar dan kembali masuk dalam raga. Aku membutuhkan Mas Rafli untuk membangunkan, tapi ia berdiri di sana menghalangi jalan.
“Kejahatan nenek moyangmu! Ini bukan hanya sekedar mimpi, karena malam itu nyata dan pernah terjadi. Nenekmu merebut suamiku, James mencampakkan bahkan merenggut nyawaku!”
“Jika itu kesalahan di masa lalu, enggak ada hubungannya denganku!” seruku dengan suara bergetar.
“Tentu saja ada hubungannya, kamu adalah keturunan dari para pendosa itu!” hardiknya nampak garang kali ini. Matanya melebar menaruh dendam kesumat yang tak berkesudahan.
“Lalu apa maumu?” teriakku yang semakin tak berdaya.
“Aku hanya kesepian Anna, aku hanya ingin ditemani.” Dengan nada memelas dan terdengar sendu.
“Tidak! Ini tidak mungkin! Kita berbeda, aku punya duniaku! Aku takkan sudi menemanimu!”
Di balik tubuh Noni Belanda, Adi yang polos, tatapan mata kosong, tangannya menggapai-gapai cermin besar di depannya. Badanku menggigil, aku merasa seharusnya tak berada di sini. Aku berlari menghampiri Adi, tapi semakin cepat berlari, langkahku semakin menjauh.
“Adi!“ Aku berteriak memanggil namanya. Adi menoleh lalu tersenyum, ia melambaikan tangannya padaku.
“Mama, Adi mau ikut Oma. Kasihan Oma sendiri!” Adi mendekati cermin itu lalu mengulurkan tangannya.
“Adi jangaannn ...!” Jam dinding menunjukan pukul dua dini hari. Aku terbangun dengan napas tersengal-sengal. Mas Rafli nampak kaget dengan keadaanku.
“Ada apa? Mimpi buruk lagi?” tanyanya.
Tapi tak kuhiraukan, langsung menghambur menuju kamar Adi yang berada di sebelah. Saat membuka pintu dengan perasaan berdebar, di sana tak  kutemukan Adi. Aku berlari ke bawah tangga, cermin besar itu pun menghilang.

Paradiso met je palmenstrand, ach die tijd vergeet ik niet
Paradiso met je palmenstrand, wat geluk was werd verdriet

Nyanyian  yang sering kudengar di malam-malam kelam. Cukup hapal dengan nada rendah dan menyayat hati. Namun, kali ini bukan suara Noni Belanda yang terdengar, tapi suara Adi.


 ***

Cianjur, 05 Maret 2016

Tidak ada komentar: