Selasa, 08 Maret 2016

Pudarnya Cahaya Malam


Oleh : Nanae Zha

Mata kami beradu, tak lama ia segera menunduk. Bias bulan dan titik-titik kecil yang mengelilingi tampak tersaput kabut malam, menyisakan gelap. Namun, sekelebat saja dapat kulihat jelaga misteri dalam mata gadis itu. Ia memainkan jemari tangannya, tampak gelisah. Ingin sekali aku menghampiri sedikit memberi ketenangan bahwa dirinya tidak sendiri.
“Ini tidak adil!” teriaknya mencoba membela diri. Suaranya memecah keheningan. Angin mendesir meniup tengkukku.
“Sudahlah, rebahkan sejenak segala gundah. Biarlah kita menjalani hukuman ini dengan cara yang indah. Di sini kita bisa memulai kehidupan baru. Untuk apa tinggal di tempat tertinggi, bersinar, tapi tetap berjelaga?”
“Sinarmu adalah petunjuk dalam kegelapan. Tugas kita cukup menyinari meski ada dalam jelaga. Apa artinya jika tak mampu bersinar lagi?”
 “Kamu tahu kenapa langit begitu gelap? Karena cahaya sesungguhnya ada karena cinta. Mereka yang di langit takkan bersinar jika tak memilikinya. Entah di manapun berada, di langit atau di bumi kamulah sinar paling terang.”
Baru sadar saat memandang ke atas sana bahwa jarak kami kini begitu jauh. Sebuah kekeliruan menurut mereka—penguasa malam. Padahal apa yang salah? Hanya karena saling mencintai, bukan berarti menjadi dosa tak terampuni. Dalam sekali lesapan cahaya, kami tersungkur ke bumi seiring pudarnya cahaya malam.


***

Tidak ada komentar: