Minggu, 28 September 2014

Di Sisi Lainku...





Dalam hidupmu pernahkah sekali saja kamu berpikir, tentang sisi lain dari kehidupan? Jika di sini, saat ini, kau bisa tertawa dan bahagia. Mungkin saja di waktu yang sama dan menit yang sama ada yang berduka dan menangis penuh ratapan kemalangan. Lalu apa itu bahagia?


5 tahun lalu kau tanyakan hal itu padaku, dan aku hanya duduk termangu, menunggu kau sendiri yang akan mejawabnya. Tapi, semua hening, aku, kamu, kita berdua terdiam dan masih belum mengerti apa arti kebahagiaan. Saat itu yang terpikir olehku adalah uang, iya karena uang bisa membeli apapun termasuk kebahagiaan, kan? Tapi, kuurungkan niat untuk mengatakan itu karena akhirnya kau akan mengira bahwa aku gadis yang materialistis. Meskipun kenyataannya iya! Aku gadis matre.
“Hap, lu free kan malam ini?” tanya Desi sambil melongokan kepalanya ke kamar kosan.
Yups! Ada apa?”
Hang out yuk! Dah lama nih kita gak jalan bareng” bujuk Desi dengan senyum yang dibuat paling manis saat itu. Ah, bukan senyum manis, senyum licik dan penuh akal bulus.
“Ok!” jawabku singkat.
Seperti janjiku pada Desi pukul 19.00 wib. Aku telah bersiap-siap menghabiskan malam minggu yang panjang tanpa kekasih. Kekasih? Apakah aku memang punya kekasih? Rasanya iya, tapi mungkin juga tidak! Ah, entahlah aku nggak peduli toh tanpa mereka aku masih bisa hidup, bisa tersenyum bahagia.
“Raka, mana?” tanya Desi.
“Hmmm.. Raka?” siapa yang peduli sama anak mami itu, baru jalan 10 menit pasti udah ada yang nelepon. Raka kamu di mana? Sama siapa? Jangan pulang malam-malam! dan sialnya uang saku Raka dibatasi sama mamanya. Mana bisa aku manfaatin dia untuk membeli semua kebutuhan make up ku! Hanya bertahan dua jam akhirnya aku memutuskannya. Anak yang malang!
“Jadi, siapa sekarang cowok inceran lu?” pertanyaan Desi membuatku bergidik, seakan-akan aku seperti kupu-kupu malam profesional dalam merekrut pelanggan. Tidak! Kalian jangan salah paham menilaiku. Aku hanya gadis biasa, hanya saja aku memiliki kelebihan yang luar biasa. Aku cantik, pipi mulus, kulit halus, leher jenjang, rambut wangi dan lembut, ah, bukan soal fisik saja, tapi pada dasarnya aku memang menyenangkan dan itu semua bukan salahku! Jika pria-pria itu membutuhkan kehangatan dan kenyamanan dariku, aku hanya memanfaatkan anugerah yang ada dalam diriku. Tunggu! Sekali lagi kukatakan aku bukan seperti apa yang kalian pikirkan. Aku hanya menemani mereka ngobrol, makan, jalan-jalan, dan reward-nya mereka memberi apapun yang kuminta. Dan aku bukan pelacur! Apa aku masih dianggap salah juga? Hanya ini caraku berbagi kebahagiaan.
“Hmmm.. terus kabar Radit gimana?” tanya Desi pada akhirnya, jelas sudah maksudnya mengajakku jalan selalu ada tujuan.
“Entahlah, aku udah lama loose contact sama dia.”
“Ah, jangan bohong kalian kan sahabat masa sih enggak pernah chat atau apa kek gitu?!”
“Dia marah padaku, jadi sepertinya dia mulai menghindariku,” tegasku.
“Marah kenapa?”
“Entahlah, itu juga yang aku tanyakan padanya dan nggak pernah ada balasan sampai sekarang.”
Radit sahabatku, pria yang memiliki daya tarik luar biasa. Bukan karena fisiknya, jika soal fisik cowok yang mendekatiku banyak yang lebih sempurna dari Radit. Mereka cakep sampai ke isi dompetnya pun luar biasa cakep. Ah, lagi-lagi ngelantur ke isi dompet! Mungkin karena hal itu juga yang membuat Radit menghindariku. Radit tidak pernah menyukai caraku mencari uang, padahal ini halal. Aku tidak menjual tubuh, aku hanya memaksimalkan kelebihanku, dan satu-satunya kelebihan hanya pada tubuhku.
“Berhenti bermain-main! Dan buatlah harga dirimu tak serendah yang orang kira!”
Itu e-mail terakhir yang aku terima darinya. Puluhan kali aku bertanya, dan meminta kejelasan soal harga diri mana yang dia maksud? Tapi, tetap nggak ada balasan. Dan sejak saat itu pun aku berhenti bertanya.

***

“Kamu bersedia menikah denganku?” tanya Angga malam itu, malam dengan suasana yang romantis, iringan musik, lampu yang dibuat redup, seorang pangeran tampan di hadapanku. Kurang sempurna apalagi coba? Soal duit? Jangan khawatir! Dia bisa menyewa restoran semewah ini cuma untuk berdua bisa dibayangkan berapa tumpuk uang di brangkasnya? Apa lagi yang di tunggu? Hey, kesempatan enggak datang dua kali. Jerit hatiku. Tapi, rasanya ada yang aneh, apa cuma itu ukuran untuk menentukan kebahagiaan seseorang? Cinta? Aku lupa dengan rasanya cinta? Entah kapan aku merasakan degup jantung yang berdebar keras, keringat dingin yang mengucur saat kumenatap sorot mata itu, wajah yang tersipu malu, cinta yang polos tapi tulus. Sudah lama, lama sekali, saat punggung Radit meninggalkanku semakin jauh, dia cinta pertamaku yang hanya menganggapku sebagai adik dan tak lebih. Padahal aku berharap kita lebih, Dit!
Happy, are you ok?” tanya Angga menatapku dengan mengharap jawaban yang masih terus mengawang dalam kenangan. Ia merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari sana. Cincin bermahkotakan permata, indah! Lamaran yang sempurna.
Would you marry me?”
Lidahku kelu, mulut membisu, butiran air mata menetes di pipi. Entah seperti apa rasanya, bahagiakah ini? Angga meraih tanganku lembut, jemari tangannya hangat meski tak kurasakan kehangatan itu menembus dadaku. Ia mencoba meyakinkanku. Apa lagi yang kurang darinya, bukankah ini yang aku harapkan. Bertahun-tahun hidup di panti, membuatku banyak bermimpi tentang keluarga, cinta dan kebahagiaan. Mungkin dari Angga akan kutemukan apa itu bahagia. Maafkan aku Radit...

***

Happy, bahagia itu saat aku bersamamu! Sederhana kan?

Tapi kamu terlalu naif, atau mungkin kamu terlalu realistis melihat arti hidup. Bahwa seeorang hanya akan hidup jika ia memiliki uang. Bahwa uang memiliki segalanya? Dan aku tak memiliki apa yang kamu cari. Jika yang kamu cari hanya uang, maka aku menjadi bagian yang salah dalam hidupmu. Aku tak pernah tahu seberapa besar kamu mengerti tentang arti kehidupan, dan aku benci mengakui apa yang kamu suka adalah sebuah kenyataan. Tapi, aku hanya akan bekerja untuk kamu dan masa depan kita. Setiap hari aku kerja keras dan banting tulang untuk memenuhi apa yang kamu inginkan. Aku seperti robot, pulang malam, lembur selalu jadi santapan. Aku sisihkan uang  makan  untuk menabung, toh aku pun sering lupa kapan seharusnya aku makan. Aku lupa kapan waktunya aku tidur, aku sedang bekerja keras Hap. Bisakah kamu bersabar barang sejenak? Berhentilah bertingkah seperti itu, karena kita tak selayaknya seperti kacang lupa pada kulitnya. Dari mana kita berasal, siapa dan apa kita dahulunya.
Rumah Panti Asuhan Budi Dharma telah menjadi saksi, bahwa kita pernah mengikat janji, sebagai adik kakak. Benarkah? Tapi hatiku dulu tidak berkata demikian. Aku takkan menganggapmu adik sampai kapanpun tidak akan pernah! Karena kamu lebih dari sekedar adik.
“Aku mencintaimu Happy!”

***

Radit masih terbatuk-batuk, saputangan di tangannya meningggalkan bercak darah. Sesuai dugaan, rasa sakit yang ia tahan selama ini bukan hal yang wajar. Kerja kerasnya selama ini, membuatnya lupa dengan kesehatan dirinya sendiri. Tiba-tiba tubuhnya limbung. Semua yang ada di hadapannya kian memudar, ia mencoba meraih gelas di atas meja makan, namun tak berhasil yang ada gelas itu terjatuh dan Praaaannggg... seiring dengan jatuhnya gelas, ia pun terjatuh. Gambaran tentang kenangan di panti berseliweran dalam benaknya. Happy, senyumnya yang riang selalu membuatnya bahagia, itu juga yang membuat dirinya berjanji akan selalu mengukir senyum itu di wajah Happy, bagaimana pun caranya! Radit, merasakan sesak di dadanya, pandangannya semakin kabur, tubuhnya melemah, ia meregang penuh penderitaan...
Tanpa ia tahu di sisi lain, ada yang sedang berbahagia...

***

Dua Pelangi dalam Hidupku




 

17 November 2010

Pelangi di cakrawala senja, menebar cahaya penuh makna. Langit masih menyisakan tetesan air hujan, dari balik jendela kamar kumenatap, “kenapa ada pelangi?” tanyaku ketika kecil. Nenek mulai bercerita tentang legenda tujuh bidadari. Jika saja semua itu benar, maka akan kucari tujuh bidadari, maka akan kubawa selendang peri, agar kubisa terbang dengan kekuatan sihir, menembus kahyangan meraih bintang. Ah... itu dulu, kini yang kudengar. Pelangi ada karena biasan cahaya, seperti kata guruku di sekolah. Mana yang harus kupercaya? Cerita orang tua atau teori fisika? Aku tak peduli karena engkau tetap pelangi. Warna indahmu murni takkan terganti, takkan terjamah hingga zaman berubah.

“Kika, ayo masuk! Di luar dingin sayang,” teriak Nenek dari dalam. Dan Kika masih seperti biasa, memandang kagum pada pelangi di atas balkon rumah.
“Nanti, Nek! Kalau pelanginya sudah bobo.”
“Pelangi nggak bisa bobo, Kika!” ujarku tanpa mau tahu daya khayalnya mulai berimajinasi. Karena tak seharusnya anak kecil diberi mimpi indah dari sebuah dongeng, pada akhirnya mereka harus mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
“Isshh.. Kakak! Kalau nggak bobo nanti tujuh bidadarinya  gimana!?” serunya.
“Bidadari itu gak ada, Kika!” seruku lagi, teringat dengan dongeng waktu kecil yang mengubah semua mimpiku seketika.
“Ada!”
“Enggak!” aku gak mau kalah.
“Sssttt.. malah ngadon debat sama adek sendiri! Biarkan namanya juga masih anak-anak Vika!” Nenek menegur dari belakang. Aku masih menahan nada protes, rasanya menyenangkan membuat adik yang satu ini kehilangan mimpi. Aku tersenyum licik padanya. Dia kesal lalu menjulurkan lidahnya padaku!

Mejikuhibiniu,  menyimpan sejuta misteri, kualihkan pandangan keluar. Warnanya hampir memudar, karena langit senja lebih berkuasa untuk mengusirnya.

***

25 November 2010

Kapankah pelangi datang, setelah redanya hujan...
Begitupun gelap malam takkan tetap takkan diam, akan pergi digantikan pagi.
Ada tangis lalu ada tawa, ada manis di balik kecewa.
Begitulah biasanya habis duka datang suka, terimalah dengan hati yang rela...

Entah sejak kapan aku menyukai lirik lagu ini, mungkin juga karena aku menyukai suara dari dua penyanyi bersaudara ini, Gamal dan Audrey. Tapi, bukan itu point pentingnya karena dalam liriknya menyebut pelangi. Dan aku jatuh cinta pada pelangi.
“Vika!” seru Citra yang kedatangannya mengejutkanku. Aku menoleh ke arahnya, kulihat rambutnya yang hitam pekat, tergerai panjang berayun-ayun di bahunya.
“Huh.. hah..Yonan.. hmmm uhuk..uhuk...” masih dengan tersengal-sengal ia mengatur napasnya.
“Kenapa Yonan?”
“Dia sakit. Sekarang dirawat di Rumah Sakit!”
Tanpa banyak bertanya tentang sakit apa yang diderita Yonan aku langsung menghambur kemudian diikuti Citra dari belakang. Anak satu itu, kenapa dia gak pernah berbicara dengan apa yang dirasakannya. Sepanjang jalan aku hanya bisa termenung, mengingat setiap moment persahabatan kami.
“Kamu sakit apa, Yon?” tanyaku lirih di telinganya. Selang infusan telah mendandani dia dalam bentuk yang tak seperti biasanya. Mata sayu itu tampak sendu, namun bibirnya masih mencoba mengembangkan senyum. Mungkin senyum terakhir yang akan aku lihat setelah kulihat pelangi dari balik jendela rumah sakit.
“Pelanginya indah,” bisik Yonan lirih.
Aku menatap warna rainbow untuk yang kesekian kalinya. Indah, tapi tak seindah dulu, bahkan untuk saat ini pun masih lebih indah senyum Yonan padaku.
“Jika kita dewasa nanti, lulus SMA, kuliah, kerja, apakah kamu mau menikah denganku?” tanyanya tiba-tiba. Aku terdiam, aku baru kelas tiga SMA dan Yonan membicarakan pernikahan? Aku tak menjawab sepatah kata  pun saat itu, tapi aku mengangguk penuh keyakinan. Keyakinanku yang masih labil....

***

Maret, 2013

“Vika, lu mau ikut gak?” tanya Sonia mengagetkanku dari belakang.
“Hah? Kemana?”
“Galeri seni, hari ini ada pameran lukisan. Kebetulan gue dikasih dua tiket gratis. Gimana?” tanyanya.
“Ehmm.. aku nggak ngerti soal lukisan, coret-coret nggak jelas aja harganya bisa puluhan juta!”
“Yee.. ke galeri seni lukis nggak harus beli, kok! Dan nggak harus mengerti untuk menikmati!” ujarnya masih nggak mau kalah argumen denganku.
“Hmm.. Ok lah! Lagian hari ini aku nggak ada acara,” akhirnya aku mengalah, pada sorot mata yang setengah memaksa itu.
Setengah jam kemudian kami telah sampai di tempat, Sonia memarkirkan motor matic-nya di antara barisan kendaraan beroda dua yang lain. Baru di lima belas menit pertama, aku sudah cukup merasa jenuh dalam ruang penuh gambar yang terpampang di setiap dinding. Aku bukan pecinta seni lukis, jadi bagaimana bisa aku menyukai semua ini. Aku hampir menyerah, sebelum akhirnya kutemukan sesuatu yang unik di sudut galeri.
“Pelangi,” gumamku.
Tanpa kusadari aku menghampiri sebuah lukisan penuh warna, mejikuhibiniu. Aku menatap cukup lama, satu-satunya lukisan yang menarik perhatianku saat itu. Bahkan keberadaan Sonia pun aku gak peduli, entah di mana saat terakhir kami bersama. Sudah kukatakan berulang kali aku mencintai pelangi!
“Eheemmm,”
“Ehmm... ehhemm...,” seseorang berdeham di sampingku untuk yang kedua kalinya, membuatku kehilangan mood dalam menikmati maha karya yang luar biasa ini. Aku menoleh sesaat lalu lebih memilih mengamati lagi karya indah di hadapanku.
“Apa yang kamu lihat?” tanya seseorang yang berdeham tadi.
“Lukisan,” jawabku sekenanya.
“Maksud aku, apa makna dari lukisan yang kamu lihat?” tanyanya masih belum jera dengan sikap dinginku.
“Pelangi dengan warna yang indah,” sumpah aku bukan pecinta lukisan yang bisa mengetahui setiap makna dari garis yang terbentuk, dan aku bisa mati berdiri kalau pria ini masih bertanya tentang lukisan.
“Hanya itu?” tanyanya, aku mengangguk lalu ia tersenyum, entah apa arti di balik senyumnya? Menilaiku bodoh? Whatever! “Kamu suka pelangi?” tanyanya entah untuk yang keberapa kali, dan aku hanya menjawab dengan anggukan. “Tahu siapa orang pertama yang menjelaskan asal-usul pelangi secara tepat?” lagi-lagi ia bertanya. Dan tanpa mengeluarkan suara aku menggeleng.
“Rene Descartes, seorang ilmuwan dari Perancis yang menjelaskan keajaiban sinar matahari dan butiran air yang akhirnya membiaskan cahaya indah itu” terangnya, membuatku terpaksa harus menatapnya lebih lama. Gila! Aku benar-benar bisa gila! Ada cowok yang menyukai pelangi juga, bahkan mungkin dia tahu banyak tentang pelangi. Ia menatapku lalu mengulurkan tangannya. “Adi Putra,” ucapnya.
“Vika,” balasku sambil mengulurkan tangan.
“Eh, kamu yang melukis pelangi itu?” tanyaku ketika sadar di ujung paling bawah kutemukan simbol A.P dari kata Adi Putra.
“Pintar!” ujarnya.

Itu setahun lalu, pertemuan pertama di galeri telah mendekatkan jarak kami. Kecintaan kami pada satu hal yang sama membuatku merasa nyaman bercerita apapun dengannya. Satu tahun juga kami telah menjalin hubungan dalam status. Aku mencintainya lebih dari pelangi yang pernah kita nikmati bersama. Adi Putra, pelangi senjaku...

***

29 September, 2014

Menikahlah denganku!
Pagi ini aku menerima sms konyol entah dari siapa, sedikit mengerutkan kening saat kutatap nomer baru di kontak Hp ku. Pasti kerjaan orang iseng.
Menikahlah denganku!
Sms kedua kuterima saat jam makan siang di kantor, masih dari nomer yang tadi pagi. Kurang kerjaan!
Menikahlah denganku!
Untuk ketiga kalinya nomer asing ini meng-sms kalimat yang sama, dan membuatku kehabisan kesabaran.
Kamu siapa? Kalau berani datang saja ke rumah jangan lewat sms! balasku.
OK! Tunggu aku!
balasan dari nomer tak dikenal.

***

“Kak Vikaaaa... ada tamu tuh nyariin!” teriak Kika dari balik pintu.
Jam di dinding menunjukan jam 8 malam, jarang ada yang datang ke rumah jam segini kecuali kalau urusan penting dan biasanya mereka sms dulu. Karena Adi minggu ini sedang ada workshop di luar kota enggak mungkin dia. Aku menuruni derap anak tangga, lalu menjurus ke arah ruang tamu. Seseorang berdiri membelakangiku.
“Cari siapa?” tanyaku masih bingung dengan sosok pria yang dari perawakan pastinya bukan Adi. Ia membalikkan badannya, membuatku seakan mendapatkan bintang jatuh di tangan. Aku berteriak girang.
“Yooonnnaaaaaaannn!!!” teriakku sambil menghambur ke arahnya, aku memeluknya sahabat terbaikku. Lima tahun telah berlalu dan aku kehilangan kontak dengannya selama itu. Terakhir saat perpisahan kami di SMA, dia bilang akan kuliah ke luar negeri. Dan itu membuatku semakin bangga padanya, sekaligus mematahkan hatiku kala itu. Karena aku akan kehilangan banyak waktu berharga dengannya.
“Kapan kamu pulang?” akhirnya setelah aku melepaskan pelukan.
“Kemarin malam,” jawabnya penuh karisma. Ah, dia semakin dewasa dan tampan.
“Semalam? Terus kenapa baru datang sekarang? Bukannya kasih kabar!” aku ngedumel kesal padanya.
“Aku sudah kirim kabar,” jawabnya.
“Nggak ada!” seruku sambil manyun.
“Udah, aku sms tiga kali malah! Tapi baru dibalas barusan...” ucapnya.
“Apa?” aku mengingat sms yang masuk hari ini, hanya dari beberapa teman kerja yang nggak begitu penting. Lalu dari Adi, dan juga sms konyol dari seseorang tanpa nama. Tunggu, sms konyol?
“Kamu?” aku masih nggak percaya dengan dugaanku.
“Menikahlah denganku!” ujarnya. Aku tersenyum, dasar jail. Kelakuannya masih sama seperti dulu.
“Aku pulang karena merindukanmu, dan aku ke sini untuk menagih janjimu dulu. Jika kita dewasa nanti, lulus SMA, kuliah, kerja, apakah kamu mau menikah denganku?” ia mengulang ucapannya saat itu.
Aku tertegun, mengingat kembali kejadian 5 tahun lalu di rumah sakit. Aku enggak menyangka Yonan serius dengan ucapannya saat itu. Dan aku ingat, aku mengangguk penuh keyakinan, bahwa suatu saat aku akan menikah dengannya. Keyakinan yang sama kuatnya sebelum aku bertemu Adi. Yonan dialah pelangi pagi hariku...

Lalu, Adi? Ah, aku tak ingin kehilangan kedua-duanya... bisakah kudapatkan kedua pelangiku!?

***

Jumat, 26 September 2014

Semangkuk Es Krim (part2)





“Mulai dari titik ini aku menyukaimu, maka aku berharap bisa berhenti di titik ini agar rasaku tak berubah padamu.”




Bodoh!!! Saat aku menyatakan hal itu padamu artinya adalah aku rela mati untukmu detik ini juga. Tapi apalah arti kata itu, karena Rania enggak pernah memahami perasaanku.
“Juno, mama tadi ketemu sama Tante Sari lho!” tiba-tiba Mama menyela saat acara makan malam.
“Tante Sari mana, Ma?” tanyaku sedikit mengerutkan kening untuk mengingat seseorang yang rasanya belum aku kenal.
“Itu lho, mamanya Fara yang satu fakultas juga sama Rania, Fara pernah cerita soal Rania, masa kamu enggak kenal Fara, sih?” tanya Mama dengan nada kecewa.
“Ah, Ma, kan banyak kali yang namanya Fara di dunia ini. Lagian aku ke kampus untuk belajar bukan cari cewek,” terangku sambil memasukan satu sendok penuh makanan ke mulutku.
“Fara itu anaknya baik lho, dia juga cantik, rajin, ramah, cewek mana lagi yang bisa jadi istri yang sempurna buatmu.” Ah, Mama lagi-lagi  ia berbicara tentang pernikahan, jika Tiara memang mau menikah aku takkan menentangnya, dia perempuan wajar saja kalau dia menikah terlebih dahulu.  Mama mencoba menggambarkan sosok Fara yang kelihatannya menjadi istimewa baginya akhir-akhir ini. Padahal tentu saja aku mengenal Fara, secara dia termasuk cewek populer di kampus, banyak juga anak-anak cowok yang kelepek-kelepek melihatnya. Sejujurnya sebagai pria normal, secara fisik aku memang suka dengan bodinya yang tinggi semampai, kulit putih, matanya yang bulat indah itu membuat semua mata terjerat dalam tatapannya.

Teringat beberapa bulan lalu, saat Fara mendekati mejaku di kantin.
“Juno, ya?” tanyanya tiba-tiba.
“Iya,” jawabku masih dengan memasang tampang heran, seorang Fara yang menjadi bahan rebutan di kampus malah mendekatiku.
“Kamu temannya Rania, ya?” tanyanya lagi.
“Iya,” lagi-lagi aku hanya bisa menjawab singkat.
“Aku Fara, temannya kebetulan kita satu kelas,” ia masih mencoba menjawab seramah mungkin.
“Terus...?” tanyaku dengan nada datar.
“Ehhmmm... Mama aku sering cerita tentang kamu, katanya Mama kamu temenan sama Mama aku lo!” ceritanya lagi, dan sumpah banget aku nggak peduli sebenarnya tentang emak-emak yang suka banget bergosip itu.
“Kamu sama Rania punya hubungan, ya?” tanyanya lagi membuatku tiba-tiba mengalihkan perhatian padanya. Aku rada heran juga sejak kapan dia mulai kepo sama hubungan orang lain. Bukannya selama ini lebih banyak orang yang kepo-in dia.
Aku hanya tersenyum, tak ingin terlalu mengumbar sebenarnya ada hubungan apa antara aku dan Rania. Biarkan semua mengalir apa adanya.
Rania sahabatku sampai kini dan entah sampai kapan status itu akan berubah, anak manja itu selalu membuat mati kutu dan tak pernah bisa menjadikan aku sosok pria sejati di hadapannya. Dia sungguh keras kepala, dia tak kan bisa jujur dengan perasaannya semudah itu, begitupun aku. Tapi, apakah dia tidak bisa melihat gelagatku selama ini?

Aku ingat satu tahun lalu, satu tahun yang merupakan awal perubahan hidupku. Saat itu tiba-tiba ia berteriak padaku, “pokoknya aku mau es krim!!”
Dengan perasaan bersalah aku sungguh menyesal telah datang ke tempat itu dengan tangan kosong, aku lupa dengan permintaannya untuk membawakan semangkuk es krim hari itu. Sebenarnya aku enggak begitu suka es krim, tapi aku berusaha menyukai es krim karena aku menyukai Rania. Saat itu aku hanya bisa minta maaf, entahlah kaum wanita begitu rumit. Jika aku datang terlambat pasti ia ngomel-ngomel, kali ini aku berlari tak karuan agar bisa datang tepat waktu sesuai keinginannya. Tapi bodohnya, aku lupa dengan pesanan es krimnya.
“Kamu memang salah!” dia berteriak lagi padaku, saat aku mencoba menjelaskan dan mencari alibi saat itu. Dan kami lebih sering beradu argument setiap kali bertemu.

***

Mama terus membujukku sampai sebulan lalu aku putuskan mengikuti kemauan Mama. Setelah aku mengalami putus asa, dan rasa kepercayaan diriku berkurang, sudah saatnya aku menjadi anak yang berbakti untuk Mama. Entah ini sebagai tanda bakti atau ini hanya alasan atas ketidak mampuanku sebagai pria untuk menyatakan cintanya pada wanita yang aku cintai. Tapi tunggu, aku pernah berusaha melakukannya, saat itu setelah pulang kuliah aku mengajak Rania bertemu di taman. Dia begitu bersikeras untuk berbicara di telepon saja, tapi untuk hal ini aku akan lebih keras kepala darinya. Aku melajukan motorku menuju taman dengan semangkuk es krim vanilla kesukaannya, tiba-tiba tengah jalan aku melihat anak kecil menyeberang jalan sendirian, dan Braaakkkk!!! Tanpa terkendali motorku menabraknya tepat di waktu yang tak seharusnya terjadi.
Aku berlari menghampiri anak kecil ini yang mulai dikerumuni orang-orang. Banyak wajah-wajah dengan ekspresi kasihan dan getir menatap anak tanpa nama, bahkan mungkin tanpa keluarga. Akhirnya dengan mengedepankan rasa kemanusiaanku dan tentu saja rasa bersalahku, akhirnya aku membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Beruntungnya ternyata anak itu baik-baik saja, tak terbayang jika hal buruk terjadi padanya. Iya, karena kejadian itu, akhirnya aku kehilangan moment yang mungkin takkan pernah kudapatkan lagi, mengingat Rania bukan tipe gadis yang bisa dengan mudah mentolelir sebuah keterlambatan.
Dengan sisa waktu yang tersisa aku segera berlari ke taman, dengan semangkuk es krim yang mulai mencair. Aku berlari tak karuan menuju taman, dengan napas terengah-engah akhirnya aku menemui dia.

“Maaf, aku terlambat!” masih dengan mengatur napasku yang masih terbatuk-batuk. “Ini untukmu!” tapi Rania seperti dugaanku, dia marah. Aku berusaha menjelaskan, tapi sepertinya ia nggak peduli. Aku benar-benar berusaha saat itu, hingga akhirnya ia menepis tanganku, dan satu mangkuk es krim yang kubawa tumplak di atas tanah.

Perasaanku hancur saat itu, andai dia tahu apa yang ingin aku katakan dengan es krim itu, andai dia bisa mengerti keadaanku mungkin aku pun takkan seegois itu  meninggalkannya di sana seolah-olah aku tidak peduli padahal kenyataannya aku sangat peduli. Aku berlari menuju parkiran dan mendapatkan motorku di sana, masih kudengar suaranya memanggil, tapi emosi telah menguasai egoku. Aku pun pergi meninggalkannya. Semangkuk es krim diwaktu yang salah!
Setelah kejadian siang itu, semalaman dia menelepon, tapi aku tak mengindahkannya, sms darinya masih kuabaikan. Aku tertidur, mataku terpejam, tapi pikiran dan hatiku masih terus menerawang tentang  yang terjadi hari ini. Keesokan harinya ia menghampiriku, dasar gadis bodoh bahkan dia enggak minta maaf atas kejadian kemarin. Malah dia menanyakan cincin, dan aku kehilangan mood untuk membahasnya.

“Aku mau menikah” akhirnya kata-kata itu terlontar dari mulutku juga. Dia sempat terdiam, lalu bertanya aku akan menikah dengan siapa? Tentu saja aku telah berteriak ribuan kali kalau aku ingin menikah denganmu Rania. Tapi, kamu terlalu jauh untuk kurengkuh, hingga akhirnya aku harus tahu diri untuk tak berani mengharapkanmu lagi. Oke! Untuk hal ini aku memang seorang pecundang.

***

“Juno!!! Ayo dong besok hari pernikahanmu kok malah malas-malasan gitu?” gerutu Mama saat melihatku masih berbalut selimut pagi ini.
“Teruuss?? Aku harus jungkir balik dari menara Eifell gitu?” tanyaku dengan nada datar, tanpa sadar yang aku ajak bicara adalah ibuku.
“Serius Juno!!!” Mama tampak sewot menatapku.
Akhirnya aku terbangun dan kulihat langit hari ini mulai gelap, tak berapa lama hujan pun turun. Saat hujan, aku selalu ingat Rania, gadis bodoh itu entah sedang apa sekarang. Karena biasanya dia akan terpaku di bawah hujan tanpa peduli badan telah basah kuyup. Ah, rasanya tugas hidupku di dunia ini masih belum selesai sebelum kuungkapkan perasaanku padanya.
Kuputar sebuah playlist dari Hp ku.

Coz I was born to tell you I love you...
And I am torn to do what I have to..
To make you mine stay with me tonight..

Spontan aku  beranjak dari tempat tidurku, aku hanya mencuci muka, kuambil jaket yang menggantung di pintu. Dan aku masih dengan tidak karuan berlari menuju taman. Hari ini hujan akan lebat dan entah darimana aku yakin pasti hari ini ia ada di taman itu.
“Rania” lirihku, dia masih berdiri mematung di sana, dengan basah kuyup. Aku menghampirinya. Kulingkarkan tanganku dari belakang seperti biasa yang aku lakukan. Rania, dia selalu pintar menangis di bawah derasnya hujan. Siapapun tak kan melihatnya sedang menangis. Tapi tidak kali ini, ia menangis tersedu-sedu. Aku hanya membiarkannya beberapa saat dalam dekapanku. Ingin rasanya seperti ini saja, biarkan waktu berhenti saat ini juga Tuhan.
“Rania, I love you,” ucapku dengan yakin, tak peduli apapun jawabannya, tugasku dilahirkan ke dunia ini adalah untuk mengatakan bahwa aku mencintainya.

Tatapannya dalam, tak banyak kata yang ia ucapkan dengan mata yang sembab ia hanya mengangguk. Dan aku tahu seharusnya kukatakan itu dari dulu. Rania menyodorkan cincin yang pernah aku berikan dulu, aku meraihnya dan memasangkannya di jari manisnya.
Would you marry me? Please...”
“Yes, I do....” jawabnya lirih.











***

#lagu Secondhand Serenade_ Your Call