Minggu, 28 September 2014

Di Sisi Lainku...





Dalam hidupmu pernahkah sekali saja kamu berpikir, tentang sisi lain dari kehidupan? Jika di sini, saat ini, kau bisa tertawa dan bahagia. Mungkin saja di waktu yang sama dan menit yang sama ada yang berduka dan menangis penuh ratapan kemalangan. Lalu apa itu bahagia?


5 tahun lalu kau tanyakan hal itu padaku, dan aku hanya duduk termangu, menunggu kau sendiri yang akan mejawabnya. Tapi, semua hening, aku, kamu, kita berdua terdiam dan masih belum mengerti apa arti kebahagiaan. Saat itu yang terpikir olehku adalah uang, iya karena uang bisa membeli apapun termasuk kebahagiaan, kan? Tapi, kuurungkan niat untuk mengatakan itu karena akhirnya kau akan mengira bahwa aku gadis yang materialistis. Meskipun kenyataannya iya! Aku gadis matre.
“Hap, lu free kan malam ini?” tanya Desi sambil melongokan kepalanya ke kamar kosan.
Yups! Ada apa?”
Hang out yuk! Dah lama nih kita gak jalan bareng” bujuk Desi dengan senyum yang dibuat paling manis saat itu. Ah, bukan senyum manis, senyum licik dan penuh akal bulus.
“Ok!” jawabku singkat.
Seperti janjiku pada Desi pukul 19.00 wib. Aku telah bersiap-siap menghabiskan malam minggu yang panjang tanpa kekasih. Kekasih? Apakah aku memang punya kekasih? Rasanya iya, tapi mungkin juga tidak! Ah, entahlah aku nggak peduli toh tanpa mereka aku masih bisa hidup, bisa tersenyum bahagia.
“Raka, mana?” tanya Desi.
“Hmmm.. Raka?” siapa yang peduli sama anak mami itu, baru jalan 10 menit pasti udah ada yang nelepon. Raka kamu di mana? Sama siapa? Jangan pulang malam-malam! dan sialnya uang saku Raka dibatasi sama mamanya. Mana bisa aku manfaatin dia untuk membeli semua kebutuhan make up ku! Hanya bertahan dua jam akhirnya aku memutuskannya. Anak yang malang!
“Jadi, siapa sekarang cowok inceran lu?” pertanyaan Desi membuatku bergidik, seakan-akan aku seperti kupu-kupu malam profesional dalam merekrut pelanggan. Tidak! Kalian jangan salah paham menilaiku. Aku hanya gadis biasa, hanya saja aku memiliki kelebihan yang luar biasa. Aku cantik, pipi mulus, kulit halus, leher jenjang, rambut wangi dan lembut, ah, bukan soal fisik saja, tapi pada dasarnya aku memang menyenangkan dan itu semua bukan salahku! Jika pria-pria itu membutuhkan kehangatan dan kenyamanan dariku, aku hanya memanfaatkan anugerah yang ada dalam diriku. Tunggu! Sekali lagi kukatakan aku bukan seperti apa yang kalian pikirkan. Aku hanya menemani mereka ngobrol, makan, jalan-jalan, dan reward-nya mereka memberi apapun yang kuminta. Dan aku bukan pelacur! Apa aku masih dianggap salah juga? Hanya ini caraku berbagi kebahagiaan.
“Hmmm.. terus kabar Radit gimana?” tanya Desi pada akhirnya, jelas sudah maksudnya mengajakku jalan selalu ada tujuan.
“Entahlah, aku udah lama loose contact sama dia.”
“Ah, jangan bohong kalian kan sahabat masa sih enggak pernah chat atau apa kek gitu?!”
“Dia marah padaku, jadi sepertinya dia mulai menghindariku,” tegasku.
“Marah kenapa?”
“Entahlah, itu juga yang aku tanyakan padanya dan nggak pernah ada balasan sampai sekarang.”
Radit sahabatku, pria yang memiliki daya tarik luar biasa. Bukan karena fisiknya, jika soal fisik cowok yang mendekatiku banyak yang lebih sempurna dari Radit. Mereka cakep sampai ke isi dompetnya pun luar biasa cakep. Ah, lagi-lagi ngelantur ke isi dompet! Mungkin karena hal itu juga yang membuat Radit menghindariku. Radit tidak pernah menyukai caraku mencari uang, padahal ini halal. Aku tidak menjual tubuh, aku hanya memaksimalkan kelebihanku, dan satu-satunya kelebihan hanya pada tubuhku.
“Berhenti bermain-main! Dan buatlah harga dirimu tak serendah yang orang kira!”
Itu e-mail terakhir yang aku terima darinya. Puluhan kali aku bertanya, dan meminta kejelasan soal harga diri mana yang dia maksud? Tapi, tetap nggak ada balasan. Dan sejak saat itu pun aku berhenti bertanya.

***

“Kamu bersedia menikah denganku?” tanya Angga malam itu, malam dengan suasana yang romantis, iringan musik, lampu yang dibuat redup, seorang pangeran tampan di hadapanku. Kurang sempurna apalagi coba? Soal duit? Jangan khawatir! Dia bisa menyewa restoran semewah ini cuma untuk berdua bisa dibayangkan berapa tumpuk uang di brangkasnya? Apa lagi yang di tunggu? Hey, kesempatan enggak datang dua kali. Jerit hatiku. Tapi, rasanya ada yang aneh, apa cuma itu ukuran untuk menentukan kebahagiaan seseorang? Cinta? Aku lupa dengan rasanya cinta? Entah kapan aku merasakan degup jantung yang berdebar keras, keringat dingin yang mengucur saat kumenatap sorot mata itu, wajah yang tersipu malu, cinta yang polos tapi tulus. Sudah lama, lama sekali, saat punggung Radit meninggalkanku semakin jauh, dia cinta pertamaku yang hanya menganggapku sebagai adik dan tak lebih. Padahal aku berharap kita lebih, Dit!
Happy, are you ok?” tanya Angga menatapku dengan mengharap jawaban yang masih terus mengawang dalam kenangan. Ia merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari sana. Cincin bermahkotakan permata, indah! Lamaran yang sempurna.
Would you marry me?”
Lidahku kelu, mulut membisu, butiran air mata menetes di pipi. Entah seperti apa rasanya, bahagiakah ini? Angga meraih tanganku lembut, jemari tangannya hangat meski tak kurasakan kehangatan itu menembus dadaku. Ia mencoba meyakinkanku. Apa lagi yang kurang darinya, bukankah ini yang aku harapkan. Bertahun-tahun hidup di panti, membuatku banyak bermimpi tentang keluarga, cinta dan kebahagiaan. Mungkin dari Angga akan kutemukan apa itu bahagia. Maafkan aku Radit...

***

Happy, bahagia itu saat aku bersamamu! Sederhana kan?

Tapi kamu terlalu naif, atau mungkin kamu terlalu realistis melihat arti hidup. Bahwa seeorang hanya akan hidup jika ia memiliki uang. Bahwa uang memiliki segalanya? Dan aku tak memiliki apa yang kamu cari. Jika yang kamu cari hanya uang, maka aku menjadi bagian yang salah dalam hidupmu. Aku tak pernah tahu seberapa besar kamu mengerti tentang arti kehidupan, dan aku benci mengakui apa yang kamu suka adalah sebuah kenyataan. Tapi, aku hanya akan bekerja untuk kamu dan masa depan kita. Setiap hari aku kerja keras dan banting tulang untuk memenuhi apa yang kamu inginkan. Aku seperti robot, pulang malam, lembur selalu jadi santapan. Aku sisihkan uang  makan  untuk menabung, toh aku pun sering lupa kapan seharusnya aku makan. Aku lupa kapan waktunya aku tidur, aku sedang bekerja keras Hap. Bisakah kamu bersabar barang sejenak? Berhentilah bertingkah seperti itu, karena kita tak selayaknya seperti kacang lupa pada kulitnya. Dari mana kita berasal, siapa dan apa kita dahulunya.
Rumah Panti Asuhan Budi Dharma telah menjadi saksi, bahwa kita pernah mengikat janji, sebagai adik kakak. Benarkah? Tapi hatiku dulu tidak berkata demikian. Aku takkan menganggapmu adik sampai kapanpun tidak akan pernah! Karena kamu lebih dari sekedar adik.
“Aku mencintaimu Happy!”

***

Radit masih terbatuk-batuk, saputangan di tangannya meningggalkan bercak darah. Sesuai dugaan, rasa sakit yang ia tahan selama ini bukan hal yang wajar. Kerja kerasnya selama ini, membuatnya lupa dengan kesehatan dirinya sendiri. Tiba-tiba tubuhnya limbung. Semua yang ada di hadapannya kian memudar, ia mencoba meraih gelas di atas meja makan, namun tak berhasil yang ada gelas itu terjatuh dan Praaaannggg... seiring dengan jatuhnya gelas, ia pun terjatuh. Gambaran tentang kenangan di panti berseliweran dalam benaknya. Happy, senyumnya yang riang selalu membuatnya bahagia, itu juga yang membuat dirinya berjanji akan selalu mengukir senyum itu di wajah Happy, bagaimana pun caranya! Radit, merasakan sesak di dadanya, pandangannya semakin kabur, tubuhnya melemah, ia meregang penuh penderitaan...
Tanpa ia tahu di sisi lain, ada yang sedang berbahagia...

***

Tidak ada komentar: