Sabtu, 04 Oktober 2014

TeAmo Cafe





November, 2010


Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin kukenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tenteram bersamamu...

Lagu “Kemesraan” dari Iwan Fals di TeAmo Cafe mengiringi malam perpisahan kami saat itu. Deni, Risma, Ilham dan aku. Persahabatan yang takkan lekang oleh waktu. Masa SMA itu adalah masa yang indah dan takkan pernah terlupakan. Setiap moment menjadi kenangan yang sangat berarti bagi kami berempat tentunya. Entah bagaimana persahabatan ini bisa terjadi? mungkin karena takdir menyatukan kami di kelas ini. Deni, cowok kalem, bijaksana dan tentu saja pintar, bukan hanya soal akademis, tapi juga pintar menarik simpati orang lain. Nggak heran dengan mudah ia menyabet jabatan ketua OSIS saat kelas 2 SMA waktu itu. Tapi bukan berarti dia cowok sempurna, tiap orang memiliki kekurangan begitu pun dia. Jika aku tak mengenalnya lebih dekat, aku pasti bilang dia arogan, sok jaga gengsi, sok disiplin, sok tegas, sok ketua OSIS.
Lain lagi dengan Risma, cantik, pintar, pandai menyanyi, ramah dan sepintas jika kalian melihatnya maka kalian akan melihat sosok artis Marcella Zalianti di dirinya. Menurutku dia nyaris sempurna, hanya sedikit manja bukanlah hal yang terlalu besar untuk menguliti kekurangannya. Satu lagi sahabatku Ilham, dia tipe cowok slengean, urakan, tapi perhatian.
Dan aku, entah apa yang orang lain pikirkan tentangku, tapi katanya aku tomboy, cerewet, dan ah, sudahlah rasanya enggak ada hal positif dari diriku.

Malam ini, kami sengaja berkumpul untuk membicarakan soal liburan akhir tahun yang pernah menjadi topik pembicaraan kami saat kelulusan. Iya, perjanjian untuk pergi ke pantai bersama waktu itu, kuharap bukanlah sekedar wacana. Mumpung kami masih bisa berkumpul, karena setelah ini tugas kuliah akan memenuhi jadwal kami.
“Jadi, kapan tepatnya kita berangkat?” tanya Ilham memulai topik pembicaraan kami.
“Aku sih pengin akhir tahun, jadi malam tahun baruan di sana.” jawabku penuh antusias.
“Aku jugaaaa...” timpal Risma masih dengan nada manja.
Kami bertiga mengalihkan pandangan ke arah Deni yang masih belum memberikan respon apapun. Dia tampak terkejut melihat kami yang berbarengan menatap ke arahnya. Ia membenahi posisi duduknya yang tampak kurang nyaman saat itu. Tak lama ia berdeham,
“Hmm... kalau itu sudah menjadi keputusan kalian aku ikut saja!” jawabnya dengan senyum manis yang memulas bibirnya. Ah, senyum itu sungguh selalu tampak indah bagiku. Lupakan!

Setelah pembicaraan itu, kami pulang. Seperti biasa, Risma dijemput supirnya, dan aku memilih nebeng ke mobil Risma daripada harus merepotkan dua cowok yang mulai rebutan jadi pahlawan itu buat mengantarku. Di dalam mobil aku dan Risma masih terus bercerita, seolah tak pernah kehabisan topik untuk bahan pembicaraan kami.
“Anak-anak itu lucu, ya? Masih saja kelakuannya kayak anak SMA padahal sekarang kita anak kuliahan,” terangnya dan aku mengangguk setuju.
“Siapa yang kamu suka di antara keduanya?” tanya Risma tiba-tiba.
Tak pernah terbayang olehku dia akan menanyakan hal itu, secara dalam persahabatan semua harus memiliki porsi yang sama, tak ada satu pun yang harus lebih istimewa. Risma tersenyum, lagi-lagi ia berkata semuanya adalah hal yang wajar dan biasa. Walau bagaimanapun kami adalah manusia biasa yang punya hak untuk jatuh cinta pada siapapun termasuk sahabat. Apalagi melihat kedua sahabatku itu memiliki karakter yang berbeda, tak mungkin dari semua kelakuannya tak ada yang tak kusukai.
“Aku suka sama Deni,” tiba-tiba Risma membuka mulutnya. Aku hanya mengangguk, pesona Deni memang sungguh luar biasa.“Kalau kamu?” tanyanya masih belum puas.
“Entahlah, kadang mereka berdua menyenangkan, tapi kadang mereka begitu menyebalkan!” jawabku.
“Tapi, kamu enggak suka Deni, kan? Ehhmm... maksudku ‘suka’?” Risma mengangkat kedua tangannya di atas kepalanya membentuk tanda kutip.
“Maksudnya?” aku masih belum mengerti dengan arah pembicaraan Risma waktu itu.
“Hempth... aku mau jujur sama kamu, aku menyukai Deni lebih dari sahabat. Dan kamu hanya menganggapnya sahabat biasa, kan?” tanyanya lagi. Ah, Risma jika kulihat, dia memang sangat serasi dengan Deni. Deni yang kalem, Risma yang anggun meski sedikit manja keduanya merupakan kolaborasi yang sempurna. Dan aku? Get real Nad!
“Oh ya, sejak kapan? Ah, kenapa kamu enggak bilang dari dulu? Aku tentu saja menganggap kalian semua sahabat dan takkan berubah sampai kapanpun,” jawabku dengan senyum yang kubuat paling lebar saat itu, berusaha antusias dengan kisah cinta Risma. Sekarang aku harus mengubur dalam rasa kagumku pada Deni karena aku takut rasa itu berubah menjadi sesuatu yang tak seharusnya.

Malam itu jam menunjukan pukul 22.30 wib. Aku masih terjaga dan mengingat semua pembicaraanku dengan Risma tadi. Tak lama aku menerima pesan singkat dari Ilham.
·         Wooyy... dah nyampe blm?
·         Udah (balasku tak kalah singkat)
·         Risma gimana?
·         Yee.. meneketehe, dia kan yang nganterin gue! Tapi harusnya sih udah nyampe. Sms gih!
·         Nggak di bls L
·         Hmm.. belom di buka kali
·         Iya, bikin orang khawatir ajah!
·         Ciiee,, sejak kapan lu khawatir sama orang?
·         Hey,, gue kan sahabat yang baik haha...
·         Sahabat apa sahabat?(aku mulai menggodanya)
·         Hmmm.. gue boleh mengatakan pengakuan sama lu?
·         Apa? Lu punya dosa sama gue?!
·         Haha,, ya nggak lah. Gue cuma mau bilang kalau gue.. jatuh cinta.
·         What??? Sama siapa lu? Kok nggak bilang dari tadi sih? (ah, hari ini ternyata banyak orang yang lagi jatuh cinta)
·         Risma
Jawaban sms dari Ilham yang cukup singkat dan membuat aku tertegun untuk beberapa saat. Baru saja Risma bilang kalau dia suka sama Deni. Seharusnya tak ada hubungan seperti ini dalam persahabatan. Jika seperti ini, maka persahabatan pun akan hancur berantakan. Dan aku memilih tidak membalas sms dari Ilham, pura-pura tertidur adalah hal yang terbaik kayaknya.

***

27 Desember 2010

“Aaaakkkkkk.....!!!!”
Teriakan yang nyaring dari kami berempat memecah deburan ombak yang menghantam karang. Pantai Ujung Genteng yang indah, kaki kecil kami yang telanjang meninggalkan jejak di atas pasir putih sepanjang bibir pantai. Sudah lama tak menghirup udara bebas, apalagi di sini semuanya masih alami. Kerang yang berjalan di samping kaki kiri kami mencoba mengajak adu lari. Kulihat bintang laut yang mengingatkanku pada sosok Patrick sahabat Spongebob.
Malam itu, di bawah cahaya api unggun kami berempat membentuk lingkaran. Bercerita tentang cita, dan juga cinta... pita suaraku merasa tersekat. Jantungku berdebar keras, kumohon jangan bahas tentang cinta di sini! Tapi, tak ada yang mendengar jeritan hatiku. Di malam pengakuan itu, semua rahasia tentang cinta terbongkar Risma, Ilham dan Deni. Perpisahan yang diakhiri dengan kata kecewa dan air mata, dan aku hanya bisa memilih bungkam seribu bahasa hingga kini.

***

Bandung, April 2014

Reunian yuk? Kebetulan hari ini aku lagi di Bandung. Kangen gue sama kalian..
-Ilham-

Kuterima sms dari no.baru. Ah rupanya Ilham, dua tahun lalu ia memutuskan pindah ke Jogja dan kuliah di sana. Kupikir melepas ITB adalah hal yang sangat menyayangkan. Tapi, dia bilang dia harus berubah, di sini dia nggak bisa move on. Sejak reunian kami terakhir di pantai itu. Kami semua kehilangan komunikasi, semua telah mengubah persahabatan kami.
Ok! Aku tunggu di cafe biasa.

Pukul 19.00wib aku telah berada di TeAmo Cafe tempat biasa yang sering kita kunjungi dulu. Di meja biasa tempat kami berkumpul, di sudut itu kulihat Risma dan Ilham telah berada di sana. Aku melambaikan tangan ke arah mereka, akankah rasanya sama seperti saat dulu kita bersama? Aku justru merasa canggung dengan keadaan ini setelah malam itu. Tapi, mereka tampaknya anteng-anteng saja dan menikmati setiap kenangan yang terlewat.
“Hai!” sapaku pada Ilham dan juga ciuman pipi kiri kanan yang kudaratkan di pipi Risma. Aku memeluknya erat, sudah lama meski kami tinggal satu kota tapi kami nyaris enggak pernah ketemu. Mungkin ini adalah pertemuan ketiga setelah 2 tahun lalu.

“Jadi yang belum datang Deni, ya?” tanya Ilham, aku menyapukan mataku kesekitar ternyata memang dia belum datang. Eh, ralat! Panjang umur tuh anak, dia baru saja melangkah masuk ke dalam TeAmo Cafe. Sudah lama, dan senyumnya masih nampak luar biasa.
Pembicaraan dimulai seperti biasa, mulai dari pertanyaan dasar apa kabar, bagaimana kuliah, terus rencana kerja setelah kuliah dan bla bla bla... 

“Gue mau nikah akhir tahun ini!” tiba-tiba Risma membungkam kegaduhan. Semua mata tertuju padanya, terutama aku. Dengan siapa dia akan menikah? Deni atau Ilham? Mengingat 2 tahun lalu, saat ia tersedu-sedu mengakui cintanya pada Deni dalam cahaya api unggun yang temaram, dan permintaan maafnya sama Ilham.

“Dia cuma pegawai biasa, tapi dia baik, dewasa, dia tahu banget sama karakterku yang manja, jadi dia bisa mengayomi aku. Akhir bulan lalu, ia dan keluarganya telah resmi meminangku,” terang Risma dengan menunjukan cincin yang melingkar di jari manisnya.
“Wah! selamat ya!” Ilham orang pertama yang menyelamatinya. Diikuti oleh Deni, dan aku masih melongo kayak orang bego. Setelah disikut oleh Ilham baru aku tersadar, aku memeluk Risma sembari mengucapkan selamat padanya. Surprise yang luar biasa setelah lama tak jumpa. 
“Terima kasih semua...,” jawabnya dengan semburat rona di pipinya.
“Terus kalian bagaimana? Sudah bisa move on dari kejadian 2 tahun lalu, kan?” tanyanya membuat darahku mendesir.“Hahaha... gue sih pastinya! Cewek Jogja banyak yang cantik!” seru Ilham.
Akhirnya keduanya memandang kami, pandangan yang ingin kuhindari.
“Kalian? Seingatku kamu nggak mengatakan apapun malam itu, malam kejujuran itu kita tak mendengar satu patah kata pun darimu!” Risma akhir ini kelihatannya sedikit cerewet, sedangkan dulu aku yang terkenal cerewet kini lebih pendiam. Dan satu hal aku nggak setomboy dulu. Minimal aku tahu cara pakai dress dan higheels.
Deni memandang ke arahku, aku sembunyi dari tatapan teman-temanku. Sebenarnya aku menyukai Deni sejak dulu, tapi biarlah ini menjadi rahasia aku. Mungkin saja sekarang Deni pun sudah move on seperti yang lain. Meski rasaku tak berkurang sedikit pun padanya.
“Aku masih mencintaimu Nadya!” tiba-tiba kudengar pengakuan Deni yang membuat jantungku berdegup lebih kencang. Semua orang memandang, aku tersenyum, tapi tetap saja memilih bungkam seperti waktu itu. Biarlah waktu yang bicara...

TeAmo Cafe, mengisahkan banyak hal tentang persahabatan kami dan juga cinta..

*** 

Tidak ada komentar: