Sabtu, 18 Oktober 2014

SOULMATE




“Ayo! siap untuk hari ini?” tanyanya padaku, dengan mantap aku siap menemani.
Ia menggamitku, sungguh nyaman bersamanya dan tak ada yang salah dengan hubungan kami.
                                                         
Kekurangan yang ada pada dirinya membuat ia terbatas dalam gerak. Indonesia? Perusahaan mana yang bisa menerima orang cacat? Jika mereka masih bisa berkoar tentang moral, pendidikan dan perekonomian maka berikan kesempatan bagi penyandang cacat mendapatkan pekerjaan yang layak.
Batas usia 25 tahun bagi yang normal saja nggak masuk akal! mereka masih produktif. Lalu, di mana mereka bisa mencari nafkah dengan cara halal tanpa mengharap belas kasih? Semua butuh modal, butuh keahlian. Nyatanya di negara ini orang lebih ahli berkomentar.
Ah, sudahlah... pagi itu, kami berdua berangkat untuk mengais rezeki, mencari sesuap nasi.

“Sayang anak... sayang anak! Ayo, Bu beli buat oleh-oleh anak di rumah,” ucapanya.
“Berapa, Mang?” tanya ibu muda sambil berjongkok memilih mainan anak.
“Cuma lima ribu aja, Bu.”
“ Jangan segitu, Mang! Dua ribu, ya!?” tawarnya.
“Yah, Bu modalnya saja nggak segitu,” jawabnya lagi.
“Ah, sudahlah nggak jadi!” ibu itu pergi. Ia mengusap dada. Rezeki akan datang tekadnya.

“Astagfirullah!” ia bergumam, matanya tertuju pemandangan di depan.
Satpol PP dan petugas keamanan melakukan razia pedagang kaki lima di emperan jalan. Aku ingin memapahnya, aku ingin membantunya berlari kencang, namun sulit baginya berjalan apalagi berlari.
“Ayo! Lari jangan menyerah!” teriakku lebih keras di telinganya.
Ia mempercepat langkah, namun terkantuk batu. “Arrgghh...,” aku meringis, ia pun mengaduh. Kami berdua jatuh. Seorang petugas menghampiri kami. Tak kuasa menolak tanpa daya upaya, kami digiring.

***

Setelah interogasi yang panjang, kulihat ia duduk termenung. Di tangannya menghitung receh hasil jerih payah hari ini. Bukan menghitung laba, tapi modal yang belum kembali. Peluh mengucur, aku tetap membisu. Ia diam dalam luka. Mengingat anak, istri dan si bungsu yang masih dalam kandungan.
“Huffthh...,” ia menghela napas berat.
“Bapak ngelamun, ya?” tanya Dian Ambarwati seperti yang tertera jelas di seragam bagian kanannya.
“Barang dagangan saya gimana ya, Bu? Hancur semua...,” ujarnya dengan nada sedih.
“Maaf ya Pak, padahal kalau Bapak tidak lari, tadi masih bisa meminta membereskan barang dagangannya. Razia ini memang untuk merapikan tatanan kota, makanya kami butuh dukungan dari semua pihak karena rencana Gubernur Bandung akan memberikan modal dan tempat bagi pedagang kaki lima. Tadi, Bapak sudah mengisi formulir, kan? Insya Allah semua yang sudah terdata akan segera mendapat bantuan dalam waktu satu minggu ini. Jadi, Bapak jangan putus asa!”
“Tapi sebelum seminggu saya dan keluarga makan apa, Bu?” tanyanya dengan kerut menggurat dahi.
Ia berpikir sejenak, “baiklah, Bapak bisa bersih-bersih di tempat ini, ya!? Nanti saya dan teman-teman akan membantu sebisa kami.”
“Alhamdulillah...,” kami berdua mengucap syukur.

Dua kakiku bersandar lelah, setia menemani langkahnya, tanpa mata, tanpa telinga, hati yang bungkam tak ada yang peduli. Semua berbeda dengannya memiliki segala yang tak aku punya, namun kami bisa seiring sejalan. Ia membutuhkan aku, dan hadirku takkan berarti tanpa orang seperti dia.
Sungguh aku iri, tapi ini takdir dan aku terima menjadi penopang hidupnya. Tidak sia-sia keberadaanku di sini, meski wujudku hanya tongkat penyangga tubuh.



***

Tidak ada komentar: