Rabu, 22 Oktober 2014

Sunrise in Your Eyes



“Jangan mengasihaniku!” seruku yang entah mengapa hari itu aku begitu sensitif.
Padahal, aku tahu tak ada sedikit pun niat Dirga menyakiti. Tubuhku terlalu lemah, meski Dirga memberi pundaknya untuk bersandar, namun aku takut akan terus bergantung padanya.
“Apakah kau berteman denganku karena kasihan?” tanya Dirga membalikkan semua pernyataanku. “Entah bagaimana cara meyakinkan kamu!? Bukan karena kasihan atau simpati, tapi ini tentang cinta... hanya hati yang bisa menjelaskan semua ketidak logisan ini. Jika menurutmu aku tak layak di sampingmu, maka aku akan pergi.” Jawab Dirga cukup menyesakkan dada.
“Apa karena aku tak bisa berjalan normal, lantas kamu tidak ingin berteman denganku?” tanyanya lagi sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya yang pertama.

Satu-satunya kekurangan dia adalah tak bisa berjalan dengan sempurna. Cuma tidak bisa berjalan normal, bukan karena ia tak memiliki hati. Hatinya luar biasa luas, ia tak pernah mau menyerah pada keadaan. Selalu tersenyum dalam menghadapi setiap ujian bahkan cemoohan.

Matahari Dirga, tak ada yang membuatku merasa seberuntung ini bisa mengenalnya. Tak mudah mengenal sosok luar biasa, motivator yang mampu menginspirasi banyak orang terutama penyandang cacat. Yang istimewa darinya, ia adalah motivator yang sama-sama memiliki kekurangan dengan mereka yang diberi motivasi. Sebelah kakinya diamputasi sejak usia 7 tahun karena kecelakaan. Apalagi yang membuatku tak bisa mengaguminya? Bukan karena dia yang nggak layak,  tapi karena aku.
Satu hal yang kutakutkan ‘aku takut jatuh cinta pada Matahari Dirga’.

***

Sunset yang indah,” gumam Dirga.

Sang surya kian tenggelam di balik bukit tempat kami biasa bertemu. Bukan terang, namun warna sendu dengan lembayung jingga, perlahan rembang petang mulai menepi. Aku masih termangu di sudut mimpi, tentang cerita Dirga dan warna yang bermain indah menghiasi cakrawala. Tak banyak kata terucap, airmata tak sanggup kubendung, terlalu cepat menggelinding lancar dari kedua bola mataku.
“Jangan menangis! Sunset itu bukan berarti sunset terakhir yang akan kita nikmati bersama,” ucap Dirga seraya menggenggam tanganku erat. Meski aku tahu ia tak bisa menjanjikan kapan bisa menikmati lagi kebersamaan ini.

Seperti halnya matahari tak lelah berbagi, tetap setia memberi sinar kehidupan, meski tak jarang orang berkeluh kesah karenanya, dikasih hujan salah, dikasih panas pun masih salah. Ya, begitulah manusia yang tak pernah puas akan satu kenikmatan. Coba bayangkan, bagaimana jadinya jika satu saja kenikmatan itu dicabut!?

Aku bahkan tak ingin membayangkannya saat ini karena aku cukup berkaca diri, satu kenikmatan yang dimiliki orang pada umumnya tidak aku miliki.
Dirga, matahari yang mengajariku bertahan meski gelap menggantikan. Aku tak pernah tahu terang itu seperti apa? Mau fajar atau senja bagiku sama saja.

“Aku ingin melihat cahaya matahari dari matamu, Dirga!” kurasakan hangatnya tautan jemari Dirga, tanpa perlu berucap aku yakin ia akan mampu menunjukkan dunia lewat matanya.
Besok... ah, terlalu lama, tak sabar menunggu matahari terbit....

***

Tidak ada komentar: