Sabtu, 04 Oktober 2014

The Perfect Friends

 

“Tak sulit menemukan cinta, jika kamu memiliki sahabat
Yang sulit adalah mencari sahabat yang akan menuntunmu menemukan cinta...”

Gemuruh ombak memecah karang di pantai, kicauan burung tak menambah marak suasana hati yang kelam dan kedinginan. Tak lama terdengar suara telepon genggam berdering dari dalam sakuku. Ah, biarkan saja kunikmati kesendirian dan menjauh dari hiruk- pikuk tatanan management bernama efisiensi waktu. Aku jemu mendengar suara samar dan bisik-bisik lirih tentangku di setiap garis lempang hidupku.
“Apa yang kurang dari dia? Pintar, cakep, kaya dan sukses, tapi...”
“Tapi sayangnya, ia memilih hidup sendiri menikmati semua fasilitas dan kesuksesannya sendiri!”
“Apa ia tidak bosan dengan kehidupan yang seperti itu?”
“Menurutmu? Kebosanan itu akan terbayar saat kita bisa membeli segalanya dengan uang, termasuk kebahagiaan!”
“Terlalu nge-judge, kamu ngomong kayak gitu...”
“Ah, itu kan kenyataan.”

Dan celotehan banyak hal tentang kehidupanku. Tak ada yang tahu, mereka hanya menebak, tak mampu mendengar setiap lolongan hati yang kesepian dariku. Biarkan mereka berbicara, meracau sepuas yang mereka mau. Biarlah aku hanya menjadi potongan daging dalam bentuk yang berisi ruh. Ruh suci yang tak pernah tahu, kapan suara fals yang selama ini terdengar berubah menjadi alunan musik yang indah dan menyejukkan telingaku.

Kriiinnggg... Kriiinnnggg...
Hallo!”
“Kemana aja sih? Di telepon nggak diangkat, diBBM juga ceklis!” terdengar suara wanita setengah berteriak dari ujung gagang telepon rumahnya.
Sorry...
“Di mana sekarang?”
Apartement.
“Kalau gitu buka pintu! Aku udah di depan apartement!”
“Hmmm... ya udah.”
Klek... telepon ditutup. Ia beranjak dari sofanya menghampiri pintu.
“Riiooo...” senyum seorang wanita melebar sambil menyebut namanya. Tanpa dipersilakan dia nyelonong masuk seperti biasa. Seolah telah mengetahui setiap inci rumah ini dengan detail. Ia menuju dapur, dibukanya pintu kulkas, diambilnya sebotol air mineral dari dalam. Rio terduduk lagi di sofa tempat ia  berbaring tadi.
“Gila! di luar panas banget!” tapi gak ada respon apapun dari tuan rumah yang diajak bicara.
“Katanya kamu gak kerja dah dua hari ini ya? Kenapa? Sakit?” tanyanya bertubi-tubi.
“Malas.”
What? Seorang manager eksekutif bilang malas? Ini bukan kamu! Kamu pasti sakit!”

Alena adalah sahabatnya sejak kecil, mereka bertetangga hampir 15 tahun, saat gadis tomboy itu rebutan  layangan dengannya. Penampilannya masih juga tomboy sampai sekarang, enggak ada manis-manisnya. Alena gadis mandiri, ia bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah. Bukan perusahaan besar, tapi ia menikmati pekerjaannya ini. Setelah mengalami degradasi dalam hidupnya. Kuliah jurusan perbankan bahkan sudah bekerja di bank selama 5 tahun, tapi akhirnya bukan pekerjaan seperti itu yang ia harapkan. Pura-pura bersikap manis dan selalu murah senyum pada nasabah yang teriak-teriak di hadapannya. Berpenampilan feminin, dengan rok selutut, make up yang sering kali membuatnya gerah, ditambah lagi higheels yang membuatnya kesakitan dan harus diurut sebelum ia tidur. Dunia yang ini membuat dia merasa terkungkung, hingga akhirnya pilihan jatuh pada dunia impiannya untuk bebas berekspresi, tentang kehidupan dan kenyataan. Menuliskan semua buah pikiran dengan fakta yang akurat dan nara sumber yang dapat dipercaya. Seperti kepercayaannya pada Rio, sahabatnya.

“Ayo cerita! Kamu kenapa, ada masalah!?”
“Len, kamu pernah ngerasa jenuh gak dengan kehidupan yang cuma gini-gini aja?”
“Pernah, makanya kenapa sekarang aku banting setir dan memilih semua yang menjadi impian aku sejak kecil. Yang penting kan aku melakukan semua yang udah diperintahkan sama ortu. Kuliah jurusan perbankan, bekerja di bank. Dan sekarang saatnya aku meraih impian setelah menunaikan kewajibanku sebagai anak yang berbakti. Tapi, menjadi seorang eksekutif muda kan itu cita-cita kamu sejak kecil!? Kenapa sekarang mulai jenuh?”
“Iya itu dia, ternyata pencapaian hidup dan kebahagiaan itu gak bisa diukur dengan kesusesan aja. Dan aku masih merasa ada yang kurang dalam hidupku. Menurut kamu apa? Aku cakep, tajir, pintar, sukses apa yang kurang dalam hidup aku, Len?”
Alena mencibir tingkat kepercayaan diri sahabatnya yang satu ini, tapi demi dewa apapun ia membenci kebenarannya. Begitu sempurnakah sahabatnya, hingga tak ada satupun yang bisa melucuti kepercayaan dirinya? Dan taddaaa... Alena tersenyum, seperti mendapat jawaban dari pertanyaannya.
“Cinta... satu-satunya masalah dalam hidup kamu. Kamu gak punya cinta!” Alena tersenyum puas penuh kemenangan.
“Aku!? kamu, aku.. kita berdua memiliki masalah yang sama, kita kekurangan cinta, Len!” Rio membalas dengan senyum liciknya.
“Akhh.. sial!” umpat Alena

***

Setelah pembicaraan beberapa hari yang lalu, seolah Rio mendapatkan PR terbesar dalam hidupnya. Kesuksesan ini untuk apa? Untuk siapa? Benar, hidup tak sempurna tanpa cinta. Tuuuutt... tuuutt..
“Apa Rio?” jawab Alena dari seberang sana.
“Sibuk nggak? Kita makan siang yuk!”
“Oke! Setengah jam lagi di cafe biasa, ya!”
Tuuutt.. terdengar sambungan telepon diputus, padahal Rio masih ingin bicara dengannya.

***

“Kenapa mengajakku makan siang seperti ini? Kehabisan akal untuk menghindari rapat penting?”
“Tidak! Aku memang lagi free.
“Atau kamu merasa bosan dengan gosip karyawanmu yang bilang bahwa kamu homo? Dan mencoba menunjukkan pada mereka, kalau kamu bisa jalan, dan makan sama wanita?”
“Hmmm... dasar jurnalis!! Tapi, entah kenapa setelah pembahasan hari itu aku jadi banyak bertanya...”
“Tentang?”
“Lima belas tahun bukan waktu yang singkat, aku pernah jatuh, bangkit, diam dan berlari. Kamu melihat semua proses itu. Kenapa cuma kamu wanita yang ada selama itu denganku?”
“Isshh... menyebalkan! Kamu pikir aku mau menghabiskan semua waktuku dengan kamu!”
“Jawab saja, kenapa kamu yang hadir dalam hidup aku?”
“Hmmm... mungkin karena kita berjodoh.”
“Lalu mengapa kamu peduli padaku?”
“Karena kita sahabat!”
Rio tertawa, entah hal lucu apa yang membuatnya tertawa. Dan itu membuat Alena kesal seolah Rio menertawakannya. Akhirnya Alena membuka mulut.
“Kenapa kamu menanyakan semua itu?”
“Karena aku peduli padamu!”  
“Ah, jangan nyontek deh! Lagipula sejak kapan kamu peduli padaku?”
“Sejak kamu peduli padaku.”
“Kenapa peduli?”
“Karena kita sahabat.”
“Kenapa kita harus bersahabat, sih?” gumam Alena.
“Mungkin karena kita berjodoh.”
Lagi-lagi Alena dibuat kesal olehnya, entah apa maksud pembicaraannya waktu itu. Dan Alena lagi tidak minat bermain-main dengannya. Setelah acara makan siang yang menyebalkan bagi Alena, dan tentu saja menarik bagi Rio. Karena seharian ini dia bisa menjaili sahabatnya yang dari dulu selalu menjailinya, rasanya senang melakukan keisengan itu.
“Ok! Makasih untuk makan siangnya, aku masih harus cari berita. Dah!”
“Alena tunggu!” Alena berbalik
“Kamu mau kan jadi sahabat aku selamanya?”
Alena tersenyum mengangguk, ia menjinjing tasnya.
“Sampai tak ada dinding yang memisahkan kita?”
Alena tertegun, mencoba meyakini pendengarannya. Ada apa dengan Rio? Dan apa maksud dari perkataannya barusan?

***

Tak ada yang tahu hubungan apa yang terjalin di antara mereka, bahkan kedua insan ini. Mereka hanya menjalani kehidupan, dan jika saja di saat bersamaan mereka merasakan getaran, terdengar debaran, atau gemerisik suara hati yang tak terungkap dalam kata tapi tersirat dalam mata. Mereka hanya menikmatinya tanpa perlu menajamkan telinga untuk mendengar detakan jantung mereka. Yang mereka tahu, diam-diam mereka jatuh cinta. Tak ada yang salah jika dalam persahabatan tumbuh rasa cinta, kan? Dan tak ada yang tahu sejak kapan mereka jatuh cinta.

***

Tidak ada komentar: