“Tak sulit menemukan cinta, jika kamu memiliki sahabat
Yang sulit adalah mencari sahabat yang akan menuntunmu
menemukan cinta...”
Gemuruh
ombak memecah karang di pantai, kicauan burung tak menambah marak suasana hati
yang kelam dan kedinginan. Tak lama terdengar suara telepon genggam berdering
dari dalam sakuku. Ah, biarkan saja kunikmati kesendirian dan menjauh dari
hiruk- pikuk tatanan management bernama
efisiensi waktu. Aku jemu mendengar suara samar dan bisik-bisik lirih tentangku
di setiap garis lempang hidupku.
“Apa yang kurang dari dia? Pintar, cakep, kaya dan
sukses, tapi...”
“Tapi sayangnya, ia memilih hidup sendiri menikmati semua
fasilitas dan kesuksesannya sendiri!”
“Apa ia tidak bosan dengan kehidupan yang seperti itu?”
“Menurutmu? Kebosanan itu akan terbayar saat kita bisa
membeli segalanya dengan uang, termasuk kebahagiaan!”
“Terlalu nge-judge, kamu ngomong kayak gitu...”
“Ah, itu kan kenyataan.”
Dan
celotehan banyak hal tentang kehidupanku. Tak ada yang tahu, mereka hanya
menebak, tak mampu mendengar setiap lolongan hati yang kesepian dariku. Biarkan
mereka berbicara, meracau sepuas yang mereka mau. Biarlah aku hanya menjadi
potongan daging dalam bentuk yang berisi ruh. Ruh suci yang tak pernah tahu,
kapan suara fals yang selama ini
terdengar berubah menjadi alunan musik yang indah dan menyejukkan telingaku.
Kriiinnggg...
Kriiinnnggg...
“Hallo!”
“Kemana
aja sih? Di telepon nggak diangkat, diBBM juga ceklis!” terdengar suara wanita
setengah berteriak dari ujung gagang telepon rumahnya.
“Sorry...”
“Di
mana sekarang?”
“Apartement.”
“Kalau
gitu buka pintu! Aku udah di depan apartement!”
“Hmmm...
ya udah.”
Klek...
telepon ditutup. Ia beranjak dari sofanya menghampiri pintu.
“Riiooo...”
senyum seorang wanita melebar sambil menyebut namanya. Tanpa dipersilakan dia
nyelonong masuk seperti biasa. Seolah telah mengetahui setiap inci rumah ini
dengan detail. Ia menuju dapur, dibukanya pintu kulkas, diambilnya sebotol air
mineral dari dalam. Rio terduduk lagi di sofa tempat ia berbaring tadi.
“Gila!
di luar panas banget!” tapi gak ada respon apapun dari tuan rumah yang diajak
bicara.
“Katanya
kamu gak kerja dah dua hari ini ya? Kenapa? Sakit?” tanyanya bertubi-tubi.
“Malas.”
“What? Seorang manager eksekutif bilang malas? Ini bukan kamu! Kamu pasti sakit!”
Alena
adalah sahabatnya sejak kecil, mereka bertetangga hampir 15 tahun, saat gadis
tomboy itu rebutan layangan dengannya.
Penampilannya masih juga tomboy sampai sekarang, enggak ada manis-manisnya.
Alena gadis mandiri, ia bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah. Bukan
perusahaan besar, tapi ia menikmati pekerjaannya ini. Setelah mengalami degradasi dalam hidupnya. Kuliah jurusan
perbankan bahkan sudah bekerja di bank selama 5 tahun, tapi akhirnya bukan
pekerjaan seperti itu yang ia harapkan. Pura-pura bersikap manis dan selalu
murah senyum pada nasabah yang teriak-teriak di hadapannya. Berpenampilan
feminin, dengan rok selutut, make up
yang sering kali membuatnya gerah, ditambah lagi higheels yang membuatnya kesakitan dan harus diurut sebelum ia
tidur. Dunia yang ini membuat dia merasa terkungkung, hingga akhirnya pilihan
jatuh pada dunia impiannya untuk bebas berekspresi, tentang kehidupan dan
kenyataan. Menuliskan semua buah pikiran dengan fakta yang akurat dan nara
sumber yang dapat dipercaya. Seperti kepercayaannya pada Rio, sahabatnya.
“Ayo
cerita! Kamu kenapa, ada masalah!?”
“Len,
kamu pernah ngerasa jenuh gak dengan kehidupan yang cuma gini-gini aja?”
“Pernah,
makanya kenapa sekarang aku banting setir dan memilih semua yang menjadi impian
aku sejak kecil. Yang penting kan aku melakukan semua yang udah diperintahkan
sama ortu. Kuliah jurusan perbankan, bekerja di bank. Dan sekarang saatnya aku
meraih impian setelah menunaikan kewajibanku sebagai anak yang berbakti. Tapi,
menjadi seorang eksekutif muda kan itu cita-cita kamu sejak kecil!? Kenapa
sekarang mulai jenuh?”
“Iya
itu dia, ternyata pencapaian hidup dan kebahagiaan itu gak bisa diukur dengan
kesusesan aja. Dan aku masih merasa ada yang kurang dalam hidupku. Menurut kamu
apa? Aku cakep, tajir, pintar, sukses apa yang kurang dalam hidup aku, Len?”
Alena
mencibir tingkat kepercayaan diri sahabatnya yang satu ini, tapi demi dewa
apapun ia membenci kebenarannya. Begitu sempurnakah sahabatnya, hingga tak ada
satupun yang bisa melucuti kepercayaan dirinya? Dan taddaaa... Alena tersenyum, seperti mendapat jawaban dari
pertanyaannya.
“Cinta...
satu-satunya masalah dalam hidup kamu. Kamu gak punya cinta!” Alena tersenyum
puas penuh kemenangan.
“Aku!?
kamu, aku.. kita berdua memiliki masalah yang sama, kita kekurangan cinta, Len!”
Rio membalas dengan senyum liciknya.
“Akhh..
sial!” umpat Alena
***
Setelah
pembicaraan beberapa hari yang lalu, seolah Rio mendapatkan PR terbesar dalam
hidupnya. Kesuksesan ini untuk apa? Untuk siapa? Benar, hidup tak sempurna
tanpa cinta. Tuuuutt... tuuutt..
“Apa
Rio?” jawab Alena dari seberang sana.
“Sibuk
nggak? Kita makan siang yuk!”
“Oke!
Setengah jam lagi di cafe biasa, ya!”
Tuuutt..
terdengar sambungan telepon diputus, padahal Rio masih ingin bicara dengannya.
***
“Kenapa
mengajakku makan siang seperti ini? Kehabisan akal untuk menghindari rapat
penting?”
“Tidak!
Aku memang lagi free.”
“Atau
kamu merasa bosan dengan gosip karyawanmu yang bilang bahwa kamu homo? Dan
mencoba menunjukkan pada mereka, kalau kamu bisa jalan, dan makan sama wanita?”
“Hmmm...
dasar jurnalis!! Tapi, entah kenapa setelah pembahasan hari itu aku jadi banyak
bertanya...”
“Tentang?”
“Lima
belas tahun bukan waktu yang singkat, aku pernah jatuh, bangkit, diam dan
berlari. Kamu melihat semua proses itu. Kenapa cuma kamu wanita yang ada selama
itu denganku?”
“Isshh...
menyebalkan! Kamu pikir aku mau menghabiskan semua waktuku dengan kamu!”
“Jawab
saja, kenapa kamu yang hadir dalam hidup aku?”
“Hmmm...
mungkin karena kita berjodoh.”
“Lalu
mengapa kamu peduli padaku?”
“Karena
kita sahabat!”
Rio
tertawa, entah hal lucu apa yang membuatnya tertawa. Dan itu membuat Alena
kesal seolah Rio menertawakannya. Akhirnya Alena membuka mulut.
“Kenapa
kamu menanyakan semua itu?”
“Karena
aku peduli padamu!”
“Ah,
jangan nyontek deh! Lagipula sejak kapan kamu peduli padaku?”
“Sejak
kamu peduli padaku.”
“Kenapa
peduli?”
“Karena
kita sahabat.”
“Kenapa
kita harus bersahabat, sih?” gumam Alena.
“Mungkin
karena kita berjodoh.”
Lagi-lagi
Alena dibuat kesal olehnya, entah apa maksud pembicaraannya waktu itu. Dan
Alena lagi tidak minat bermain-main dengannya. Setelah acara makan siang yang
menyebalkan bagi Alena, dan tentu saja menarik bagi Rio. Karena seharian ini
dia bisa menjaili sahabatnya yang dari dulu selalu menjailinya, rasanya senang
melakukan keisengan itu.
“Ok!
Makasih untuk makan siangnya, aku masih harus cari berita. Dah!”
“Alena
tunggu!” Alena berbalik
“Kamu
mau kan jadi sahabat aku selamanya?”
Alena
tersenyum mengangguk, ia menjinjing tasnya.
“Sampai
tak ada dinding yang memisahkan kita?”
Alena
tertegun, mencoba meyakini pendengarannya. Ada apa dengan Rio? Dan apa maksud
dari perkataannya barusan?
***
Tak
ada yang tahu hubungan apa yang terjalin di antara mereka, bahkan kedua insan
ini. Mereka hanya menjalani kehidupan, dan jika saja di saat bersamaan mereka
merasakan getaran, terdengar debaran, atau gemerisik suara hati yang tak
terungkap dalam kata tapi tersirat dalam mata. Mereka hanya menikmatinya tanpa
perlu menajamkan telinga untuk mendengar detakan jantung mereka. Yang mereka
tahu, diam-diam mereka jatuh cinta. Tak ada yang salah jika dalam persahabatan
tumbuh rasa cinta, kan? Dan tak ada yang tahu sejak kapan mereka jatuh cinta.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar