Sabtu, 01 April 2017

Writing Camp 3





Hai ... Guys.
Serasa punya PR besar kalau belum bisa berbagi cerita. Ini kelanjutan cerita saya selama di Gunung Puntang. Ngapain di sana? Lho, masih ada yang belum tahu? Jadi, tanggal 10 Oktober itu, anak-anak KBM Bandung mengadakan kopdar, lebih tepatnya mengadakan Big Writing Camp. Kemping di gunung? Yoi, keren nggak tuh. Yang nggak ikut nyesel deh hehe ....

Nah, selain kopdar bertemu teman yang awalnya cuma bisa menyapa dalam maya, tapi juga kita dibekali ilmu kepenulisan. Kan acaranya juga writing camp. Makanya nggak baik rasanya kalau ilmu yang didapat cuma dikenyam sendiri tanpa mau berbagi. Semoga bermanfaat.

Kebetulan hari ini membaca cerpen seorang teman, jadi ingat sama acara bedah cerpen bareng Pak Isa. #Catatan : Saya coba tulis di sini sebanyak yang saya ingat dan catat, maaf kalau tidak berurutan. Sebenarnya cara penuturan Pak Isa nggak gitu, kurang lebihnya mohon maaf, sedikit improvisasi :D

Saat acara bedah cerpen, banyak kendala atau kesalahan yang dilakukan penulis pemula, sama seperti saya :D Misalnya : Pembuka salah, karakter kurang, dialog datar, konflik hambar, ending hancur!

Pertanyaan 1 : Pak, maksudnya kalimat pembuka yang salah itu seperti apa? (Lalu membuka cerpen milik peserta)

Jawab : Kalimat pembuka itu harus ada kepentingan dengan isi cerita. Hindari membuka cerita dengan unsur alam, seperti bulan, bintang, langit, matahari, angin, senja, hujan, dll.

#Lho, kenapa? (Jreng ... jreng ... karena e karena ... itu termasuk salah satu dosa penulis :D)

Contoh : Lembayung senja menghiasi cakrawala, bilur-bilur jingga menjadi saksi cinta kedua insan yang dilanda panah asmara bla bla bla. (bagian ini saya ngarang sendiri karena lupa contohnya)

Berasa 'kan nggak penting banget kalimat di atas. Hehe ... Sebenarnya boleh aja sih, memasukkan unsur alam asal ada hubungan sama ceritanya.

Misal : Panas terik matahari mengantar Bapak mengayuh sepeda lagi. "Hari ini harus dapat penumpang," katanya penuh semangat. Beberapa hari, beliau mengumpulkan uang hasil menarik becak untuk membeli sepatu anak bungsunya.

(Semoga contoh kalimatnya termasuk dosa yang bisa dimaafkan)

Nah, kalau unsur alam seperti ini diperbolehkan karena ada hubungan dengan cerita. Bagaimana usaha si bapak itu dalam kerasnya kehidupan, baik panas maupun hujan ia tetap berjuang.

Contoh dosa lain :

Hari itu Senin, tanggal 10 Oktober, aku setengah berlari menyibak kerumunan orang di sekitar. Perasaanku was-was ... dst

Ø  Pak Isa : Ini nih, kenapa harus hari Senin, tanggal 10 Oktober? Apa ada hubungannya dengan jalan cerita?

Ø  Pemilik naskah : Ada, Pak. Ceritanya si tokoh mau upacara, biasanya 'kan upacara hari Senin.

Ø  Pak Isa : Oh, hari Senin mau upacara. Ok! Tapi kenapa 10 Oktober? Ada yang spesial di tanggal itu?

Ø  Pemilik naskah : tidak, ada sih.

Ø  Pak Isa : Nah, itu. Itu tanggal yang sia-sia. Kecuali kalau ada moment di 10 Oktober yang membuat tokoh nggak bisa move on dari tanggal itu. Misalnya : hari kelahiran, kematian ibunya, atau sesuatu yang menjadi benang merah cerita. Kalau cuma tempelan doang, buat apa? Apa bedanya dengan hari Senin, tanggal 5 Januari?

(terus kami manggut-manggut)

Pertanyaan 2 : Pak, bagaimana sih cara membangun karakter?

Jawab : Untuk membangun karakter agar benar-benar riil, maka penulis harus mengetahui siapa tokoh yang dia tulis. Mulai dari nama, umur, hobi, cita-cita, pendidikan, kesehatan, latar belakang, apa yang dia suka, apa yang dia tidak suka.

·        Kalau Caca (panggilan kesayangan untuk Putri Salsabila, mau deh jadi Caca) menulis buku Cool Skool, dia menggambarkan ketiga tokohnya dengan melihat artis. Misalnya untuk Gen, Niki, Kate, jadi semua karakter itu benar-benar nyata/ hidup. Makin unik karakter lo makin gereget ceritanya. ( Dan baru tahu kalau Pak Isa ngomongnya gaul euy, elo-gue :D)

·       Kalau Asma Nadia, dia banyak bertemu orang. Pintarnya Asma, untuk menghidupkan ayahnya Rania, tokoh dalam novel Love Spark in Korea. Ia menggabung 2 karakter orang yang berbeda, gabungan dari Camile (ayah angkat Asma dari Perancis) dan bapaknya di rumah.

Pertanyaan 3 : Bagaimana dialog yang bagus? Dan seberapa banyak porsi yang harus disuguhkan antara dialog dan narasi?

Jawab : Tidak ada aturan baku, dialog berapa persen atau narasi berapa persen. Cuma gunakan dialog sesuai kebutuhan. Terkadang ada banyak orang yang mudah bosan dengan narasi/ dialog yang panjang-panjang. (Terus Pak Isa membaca lagi cerpen peserta yang tidak ada titik koma dalam satu kalimat. Heuheu ... lucu lihat Pak Isa kehabisan napas :D )

Maka gunakanlah kalimat pendek atau secukupnya.  Usahakan membuat kalimat dalam satu tarikan napas. Jangan menggunakan kata yang sama dalam satu kalimat, carilah padanan kata biar variatif.
Contoh : sebenarnya, sesungguhnya, sejatinya, sebetulnya, dll ...

Bagian ini saya ingat dengan permainan memperkaya diksi.
Pas malam api unggun, Pak Isa ngasih permainan kata dan kita harus mencari sinonim. Tapi hati-hati juga memilih kata, contoh : pembaringan. Jika mau digunakan untuk mengganti kasur atau ranjang tetap tidak sesuai tempatnya, karena pembaringan biasanya identik dengan pembaringan terakhir.

Contoh narasi yang salah (lagi-lagi karangan sendiri, maaf naskah teman2 aku lupa detailnya):

Kemarin, Bunda berjanji mau mengajak jalan-jalan ke taman bunga sebagai hadiah menang lomba mewarnai. Aku tak bisa tidur nyenyak meski berulang kali kupejamkan mata. Suasana taman terbayang dalam benak, bermain bola sambil berkejaran, ada angin sepoi menyelusup menyibak rambut panjangku. Pagi itu cahaya matahari jatuh tepat di atas kelopak netra, membuatku terjaga dari indahnya mimpi.

“Eh, anak cantik udah bangun, ayo! Kita mandi!” tutur Bunda sambil mengangkat tubuhku.

Ada yang salah?
Dari segi diksi mungkin menarik, tapi kalau kita telaah lebih dalam siapa tokohnya maka ini tidak realistis.

Sesuaikan narasi atau dialog dengan umur tokoh. POV-aku di sini seorang anak kecil mungkin sekitar usia 5 tahun, apakah mungkin penuturannya seindah itu? Kosakata seorang anak kecil masih minim, seperti contoh di atas : Kupejamkan, dalam benak, angin sepoi menyelusup menyibak rambut, netra, terjaga dari mimpi, dll. Kata-kata tersebut tidak realistis untuk seorang anak kecil. Makanya ketika jadi penulis apalagi dengan POV 1, usahakan menjadi tokoh dalam cerita yang kamu buat. Jangan menjadi diri penulis.

Kalau pun ingin seperti itu maka lebih baik ganti POV 3.


Pertanyaan 4 : Bagaimana cara menggali konflik biar lebih gereget?

Jawab : Buatlah konflik yang pembaca tidak tahu dan carilah solusinya, tapi jangan dibuat-buat.

#Bagian ini saya lupa penuturan Pak Isa gimana, ya? Heuheu ... tapi saya ingat kata-kata Raditya Dika di blog seseorang:

Konflik itu tipis aja, nggak harus mendayu-dayu yang penting kuat. Setiap adegan harus punya karakter yang konfliknya tabrakan.

Nah, gitu deh pokoknya. Cara membangun konflik adalah hadirkan karakter yang berlawanan. Jangan biarkan tokohmu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah.

Pertanyaan 5 : Pak, bagaimana cara membuat ending yang berkesan?

Jawab : Hadirkan twist, beri kejutan di akhir cerita biasanya ini yang membuat cerita membekas lebih lama. Jadi, ending itu membuat pembaca merasa nggak sia-sia membeli buku ini. Ingat pengalaman Asma Nadia dengan tukang pel?

Pertanyaan 6 : Last but not least, dari semua masalah teknik kepenulisan apa sih yang paling penting bagi seorang penulis?

Jawab : Branding nama!

Lihat Eyang Wiro (lagi-lagi saya melirik si kumis tipis dengan rambut sebahu) dia siapa? Tapi untuk membranding nama dia mau di-bully habis-habisan sebagai jones. Meninggalkan tanah kelahiran, datang ke Jakarta dengan segala ke-katrok-annya. Tapi dia berhasil menyedot perhatian seluruh anggota KBM, bahkan sekarang telah membuat komunitas khusus wikiplak.com untuk nge-bully dirinya.

#Yang tidak tahu Wiro abaikan contoh absurd itu. Percayalah, dia bukan orang tenar dan tidak perlu dicari di sosmed mana pun. Hahaha.

Nah, itulah sekelumit pengalaman berharga di Gunung Puntang. Padahal masih banyak cerita lain, hanya saja kelemahan saya melawan rasa malas untuk menulis :D

Kurang lebihnya saya mohon maaf, terima kasih kepada Pak Isa, jajaran admin, semua panitia dan peserta BWC. Juga kakak-kakak dan teman-teman yang bersedia menerima saya di komunitas ini, salam kenal, salam santun.

Semoga apa yang disampaikan bisa bermanfaat.

SATU BUKU SEBELUM MATI? BISA!!!

 Note :
Dan saya baru nyadar sekarang sudah out dari KBM, mungkin karena kecewa dengan beberapa postingan member yang "nyampah".

#repost : Cianjur, 02 April 2017 

Writing Camp 2




#Plak
Tamparan keras mendarat di pipi. Selama kurang lebih setahun di KBM apa yang sudah dilakukan? Karya apa yang sudah kamu sumbangkan ke Frankfurt, Jerman? (Mengingat momen saat Bunda Asma mengikuti acara kepenulisan di sana, alhamdulillah beberapa antologi dibawa di Hall of Fame KBM. Yuhuu ....

Baiklah, belum banyak sih, tapi setidaknya ada beberapa karya pernah kita torehkan bersama. Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada kakak-kakak senior telah berbagi ilmu yang sangat bermanfaat, saling memberi semangat, oh, bagian ini tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Pokoknya, sebuah pengalaman dan pembelajaran luar biasa menjadi bagian dari keluarga KBM. Kepada para panitia yang sukses dengan acara kemarin terima kasih Ketum Pardiman, Teteh Ingeu, Teh Desi, Teh Hafidah, Teh Yu, Teh Risma, dll

Berdasarkan hasil Writing Camp kemarin bersama Pak Isa Alamsyah. Saya ingin berbagi sedikit pengalaman. Sebelumnya kita sudah ditugaskan untuk membuat cerpen yang akan dibedah. Sayangnya, tidak semua sempat dibedah. Namun, dari karya teman-teman kita banyak belajar.

Inilah beberapa hasil diskusi bersama Pak Isa (pertanyaan saya buat sendiri, jawabannya sesuai penyampaian Pak Isa, cuma karena lupa-lupa ingat ini pakai bahasa saya yee ... mohon dimaafkan kurang dan lebihnya.

#Pertanyaan 1 : Pak, bagaimana sih membuat karya yang bagus?

Jawab : Gampang banget! Milikilah buku 101 Dosa Penulis (Haha ... promo nih Pak Isa.)
Sebenarnya buku ini bisa menjadi salah satu panduan dalam menulis, cukup banyak membantu, tapi bukan berarti kalian tidak boleh melanggar (bukan Al-Quran kok :D).
Hanya saja langgarlah dosa-dosa itu asal tulisan kalian dijamin bagus dan lebih baik.

#Well ... kebanyakan sih, nggak lebih baik.

#Pertanyaan 2 : Dosa-dosa apa saja sih yang sangat berpengaruh terhadap kualitas buku?

Jawab : 1. Dosa dalam ide
            2. Dosa dalam judul
            3. Dosa dalam opening
            4. Dosa dalam konflik
            5. Dosa dalam ending

Kelimanya adalah intisari cerita. Soal teknik dan detail menulis masih bisa diperbaiki. Tapi jika kelimanya salah menggarap, maka mengurangi kualitas. Kualitas sebuah buku akan berpengaruh terhadap minat pembaca.

#Pertanyaan 3 : Bagaimana sih cara Bunda Asma membuat buku yang berkualitas?

Jawab : Asma Nadia tahu bahwa uang 50 ribu bagi kebanyakan orang sangat berharga.
Pengalaman Asma ketika mengisi acara di sebuah stasiun radio. Ada seorang tukang pel, menghampiri : “Mbak, saya sudah membaca dan saya nabung untuk beli bukunya, lho.”
Nah, jika buku kita jelek, maka dosa membuat orang lain kecewa. Karena peduli, tidak ingin membuat kecewa menulislah dengan niat baik, membahagiakan orang dengan tulisan kita. Maka hasilnya akan lebih dan mereka pun puas, tidak merasa sia-sia telah mengeluarkan atau menyisihkan uangnya.

Intermezzo :  Pas bagian ini tiba-tiba sekelebat bayangan cowok-cowok kece lewat, ada yang pake jaket ijo sangat kontras dengan warna kulitnya :D Terus seseorang dengan rambut yang hampir menyerupai Edi Brokoli, pakai jaket levis dalemnya kaos KBM.

Teteh Erie bisik-bisik itu Eyang Wiro sama Kang Dana, kepala jadi ikut muter 180˚.
#Gagal fokus ... terus lupa sama pembahasan selanjutnya.

Itu dulu ya, sebenarnya masih banyak pelajaran yang bisa diambil dari camp kemarin. Insya Allah kapan-kapan dilanjut lagi.

Writing Camp






Gaeesss, sebenarnya ini catatan lama di akhir tahun 2015 yang tersimpan di laptop dan baru dibuka lagi ha-ha. Lupa kalau saya pernah punya pengalaman ini. Beberapa catatan memang ditulis lalu dilupakan, tapi akan ada suatu masa ketika menemukan tulisan lama, kita akan tersenyum sambil mengingat-ingat kekonyolan yang pernah terjadi. Saya pernah share tulisan ini dalam rangka memenuhi challange #bigwritingcamp di grup FB KBM (Komunitas Bisa Menulis) yang digawangi Pak Isa dan Bunda Asma Nadia. Let's check this out!

Di Oktober 2015, KBM Bandung mengadakan acara Big Writing Camp. Berawal dari nekat, seumur-umur belum pernah mengikuti writing camp. Ini adalah pengalaman pertama meskipun bukan pertama mengikuti workshop, tapi camping? Sedikit khawatir mengingat belum pernah kopdar, apalagi di KBM termasuk newbie belum mengenal banyak orang. Tepatnya, orang-orang tidak mengenal saya meskipun sudah gabung sekitar satu tahun, maklum silent reader. :D

Alasan mengikuti BWC adalah :
1.      Sejujurnya saya kurang piknik  #halah
2.      Kangen suasana workshop, apalagi camping. Bayangan aku sih tadinya bakalan ada renungan malam terus nyanyi deh lagu wajib, yang lupa judulnya apa ... pokoknya liriknya ada kalimat ini, “Baru gelap dunia beginilah rasanya ....”
3.      Kopdar teman-teman KBM membuat antusias, hampir setahun gabung cuma mengenal di dunia maya. Silaturahmi adalah cara alami untuk memperpanjang umur katanya, insyaallah. Apalagi yang datang ternyata dari berbagai kota: Aceh, Makasar, Sidoarjo, Depok, Tangerang, Bogor, dll.

Perjalanan Cianjur-Bandung pagi itu mulus tanpa hambatan, sampai terminal Lw. Panjang sekitar pukul 08.30 tidak jauh dari prediksi. Masih dengan tampang bego celingak-celinguk kayak orang bingung, beberapa calo malah menawari ke tempat lain sambil menarik-narik tas. Wuuttsss ... situ calo atau jambret? Aku kan unyu, gimana kalau ada yang nyulik?

Untungnya panitia sigap menelepon dan menunjukkan lokasi. Oya, saya cukup berterima kasih kepada bapak tukang becak telah menunjukkan jalan yang benar. Pelajaran pertama, tidak semua orang asing bahaya, Vroh 😁
Jejeran toko oleh-oleh khas Bandung hampir saja mengubah arah perjalanan, untung kuat iman dan tipis dompet 😂

Hal pertama yang dilakukan adalah mencari sekumpulan orang-orang dengan tas besar atau ransel. Dan tadda ... lagi jalan gitu, saya menemukan dua sosok dengan tas segede gaban, tanpa pikir panjang mengikuti langkah mereka. Bodoh, ya? Gimana coba kalau tersesat? Tapi itulah intuisi, naluri seorang penulis yang bisa membaca karakter dan bahasa tubuh seseorang #ceilehahay

Yups! Si pemilik ransel segede gaban itu mendekati beberapa orang membawa kertas dan daftar hadir peserta. Tuh, kan bener, gumamku. Itulah kali pertama bertemu dengan Teteh Hafidah Bintang Kecil, satu-satunya panitia yang namanya tidak asing :D Terus si cantik Chabella yang super riweuh bin centil, tapi selalu menebar senyum. Teh Ayu, terima kasih senyummu menyejukkan perjalanan akibat jetlag #eh? Anggaplah naik pesawat :D

Lima belas menit sedikit melar dari jadwal karena beberapa peserta belum datang. Teh Asih, orang pertama yang ngajak kenalan, bertukar cerita seputar dunia menulis. Dua cowok kece di belakang Kang Hamdy Vn dan Nurbagus, tidak kalah seru obrolannya. Jadi malu, aku mah apa atuh? Cuma sekadar penulis status facebook. Tiba-tiba perempuan ransel gaban pengin difoto sambil gelantungan di pintu mobil. Akhirnya tahulah namanya Teh Linda. Kehkehkeh ...

Berangkatlah mini bus yang kami tumpangi. Busyeettt ... ternyata dari terminal hampir 3 jam, berarti duduk di mobil 6 jam dari Cianjur hayduuhhh ... biasanya saya tipe orang yang nggak bisa diajak jalan jauh naik bus, kudu siap-siap keresek, tapi niat memang menguatkan langkah, ya. Cuma ngakalin banyak tidur :P Memasuki daerah Pangalengan sudah terasa hawa pegunungan, pedesaan, hamparan sawah yang alhamdulillah masih membentang. Mobil semakin naik, rumah-rumah semakin berkurang di kiri-kanan banyak tanaman sayuran. Jadi ingat Cipanas-Cibodas, sayuran dan bunga menjadi pemandangan paling menyejukkan, apalagi hawa dingin menyelingkupi. Bukan maksud membandingkan sih, (sedikit promo) kalau soal udara dingin kayaknya Cibodas tetep nyess ... mau siang apalagi malam. Kalau Gn. Puntang siang hot, malem cold.

Jajaran pohon pinus menjulang, setelah salat zuhur dan makan siang acara dimulai dengan presentasi buku. Ini nih, salah satu yang bikin menarik. Bagi anggota KBM yang telah memiliki buku, baik solo maupun antologi diperbolehkan untuk mempresentasikan bukunya masing-masing. Sayang, saat itu saya nggak bawa buku apa pun.

“Memangnya, kamu dah punya buku, Nae?”
#Plak!

To be continued ... jangan lewatkan setiap bagian ceritanya karena ada ilmu dari Pak Isa yang belum saya share :P