Minggu, 26 Oktober 2014

Review SUPERNOVA#2_AKAR






Judul Buku : SUPERNOVA Episode AKAR
Penulis : Dewi Lestari “DEE”
Penerbit : Bentang Pustaka



Engkaulah gulita yang memupuskan segala batasan dan alasan
Engkaulah penunjuk jalan menuju palung kekosongan dalam samudera terkelam
Engkaulah sayap tanpa tepi yang membentang menuju tempat tak bernama namun terasa ada

Ajarkan aku,
Melebur dalam gelap tanpa harus lenyap
Merengkuh rasa takut tanpa perlu surut
Bangun dari ilusi namun tak memilih pergi

Tunggu aku,
Yang hanya selangkah dari bibir jurangmu.

Dengan di re-publishnya buku ini  yang merupakan sequel dari Supernova : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh membuat saya akhirnya merasa berhutang untuk menuliskan kembali review-annya, meskipun telah banyak resensi tentang buku ini. Dan jangan sebut ini review, anggap saja ini hanya celotehan dari pembaca awam.
Saya cukup antusias dengan republishnya, meskipun sejujurnya saya lebih menyukai cover AKAR yang lama terbitan Trudee Books, kereeen binggo! klo kata anak-anak zaman sekarang. Soalnya saya bisa menempel foto di sana :)


Sebenarnya, ketika saya baca dan akhirnya bisa menuntaskan buku ini (dalam satu hari dimulai dari awal) setelah dibiarkan beberapa bulan, saya merasa sedikit kecewa karena mengingat ini sequel saya mengharapkan adanya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang misteri yang belum terkuak di KPBJ. Namun, kenyataannya sampai akhir kalimat pertanyaan saya masih belum terjawab malah saya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan baru. Karena saya membaca dari buku versi lamanya, dan saya membaca sedikit cuap-cuap penulis tentang empat tokoh yang akan disuguhkan yaitu : Bodhi, Elektra, Zarah dan Alfa. Namun, yang dihadirkan di sini baru tentang setengah perjalanan Bodhi yang akhirnya pun entah akan seperti apa? Mari kita buka keping per keping.

Keping 34 :
Bercerita tentang Gio, sebuah misteri tentang keberadaan Diva. Sebuah kabut yang tak tergenggam.
Seorang pria dengan montera merah menyala ia berkata, “akan ada yang membantumu. Orang-orang yang tidak kamu kenal. Mereka sejenis dengan yang hilang. Mereka berempat. Satu akan berangkat dan mungkin tidak kembali. Tapi, kamu tidak perlu mengerti... kamu hanya perlu tahu.”

Entah kenapa saya suka dengan bagian ini, banyak yang belum dimengerti namun semuanya menyiratkan sebuah arti.

Keping 35 :
Di Bab ini kemunculan sosok Bodhi, seseorang yang masih mencari jati diri, darimana dia berasal dan akan seperti apa ia berakhir menjadi misteri kehidupan yang tak mudah terjawab. Kemana pun kaki melangkah, takdir selalu menemukan cara untuk membawa kembali pada kenyataan bahwa manusia hanya mampu menjalani dan menikmati setiap kesempatan yang ada. Cerita hidup Bodhi dapat menjadi inspirasi seumur hidup, sebagaimana yang ia alami.

Kuraih simpul mati bandanaku, menguraikannya perlahan,mengangkatnya hati-hati. Membiarkan orang-orang bergelut dengan badai benak masing-masing. Reaksi semua manusia kala pertama mereka melihatku tanpa penutup kepala. Mereka diam karena meragu....
Adakah anak bernama Bodhi yang mencuci setengah tubuhnya cuma untuk bercerita, bersila sempurna dengan tasbih kayu di tangan kiri, adalah manusia?

Bong, sahabat yang memperkenalkannya pada konsep anarki dan filosofi punk yang ia buat sendiri. Mencoba mencari kebebasan dengan caranya, bukan ia orang yang tak tahu budaya. Justru mindsetnya terlalu realitas melihat kenyataan yang ada, perih! Buku-buku yang dibacanya hanya memberikan teori dan sejarah tanpa bisa menorehkan sejarah kemajuan akan sebuah budaya baru. Pandangan yang berbeda tentang kebebasan hidup.

Guru Liong, Tristan, Kell, dan Star yang mewarnai kehidupan barunya dengan seribu pengalaman demi menemukan jati diri, bahkan yang pada akhirnya pencarian itu masih juga belum selesai.

“Tugasku menabur, tugasmu mengakar”
Quote Kell yang cukup keren. Suka... suka... suka! 

Keping 36 :

Untuk : Akar
Di mana pun kamu berada

Lama tidak bertemu bukan berarti saya lupa.
Berjalan 2500 tahun bukan sekedar sebentar, saya harap kamu mengerti. Asko sangat dingin dan tempat ini sangat asing. Padahal ini tempat kita biasa belajar tapi sudah tidak sama, ya?

Akar, matahari kelima akan terbenam tidak lama lagi.
Saya ingin optimis tapi sulit. Mereka masih mengira mereka terpisah. Saya cemas matahari tenggelam sebelum semua frekuensi lepas landas. Tapi mereka seperti bertahan. Sengaja bertahan.

Jangan takut, Akar. Kebenaran yang tak bernama tak pernah terputus. Datang sebelum waktu. Hadir sebelum ruang. Kamu selalu bercermin. Poros keempat yang tidak terlihar, jangan lupa itu.

Salam saya untuk tiga teman kamu. Petir harus dibuat lebih percaya diri.
Selamat menjadi:
S

Bodhi tercenung, sebuah surat rupanya. Surat janggal yang tak ia mengerti. Bodhi merasa surat itu mengarah padanya. Tapi siapa “S”? Petir, Asko, matahari kelima, poros keempat, tiga teman? Dan siapa AKAR?

~o~


Terlalu banyak pertanyaan yang disisakan.
Sayangnya beberapa hal yang membuat saya jenuh adalah narasi yang cukup panjang, selain itu kemunculan banyak tokoh di Keping ke 35. Entah berapa mulai dari pemilik kos-kosan Pak Yunus, warung rokok si Gombel, ojek si Kimun, Bong sebagai bos punk, Tristan teman dari Australia, Kell seorang tattooist dan hidup untuk menunaikan tugasnya menggenapi simbol tatto ke 618. Entah ada arti apa di balik nomor itu? Jan, Clark, Heldegaard, teman kosan yang lebih sering berganti-ganti, juga Ishtar Summer cinta pertama Bodhi. Keo seorang guide, Luca seorang rastafara, Dieth supir penyelundup, sampai Georgy pembantu rumah Bob Marley yang masih ingin melihat dunia di usianya yang menginjak 72 tahun dengan kursi roda yang setia menemani. Gloria, Epona, Neang Ry, dan seabreg tokoh lain, ehmmm... banyak, kan???
Ayoo... siapa lagi yang mau menambahkan tokoh yang belum saya sebutkan? Hihihi... 

Indonesia, Myanmar, Laos, Thailand perjalanan panjang melewati setiap perbatasan negara. Meskipun tidak terlalu banyak istilah sains seperti pada KPBJ namun, kebanyakan tokoh dan setting tempat yang cukup banyak membuat saya bingung. Mungkin satu-satunya cara agar saya tidak bingung adalah memiliki peta dan menyusuri setiap tempat yang dikunjungi Bodhi kecuali beberapa daerah yang bukan tempat wisata, apalagi melewati hutan dimana kelompok Khmer Merah berada, karena nasib saya tidak ingin seperti Dieth dan tanah penuh ranjau (abaikan bagian ini) karena saya cukup terhanyut saat Kell harus meninggal dengan cara dan di tempat seperti itu.

Di buku ini, mungkin di awal akan merasa ketidak sinambungan antara Keping 34, 35 dan 36 apalagi dengan KPBJ. Bukan TIDAK! Mungkin belum, karena benang merahnya masih berupa jaring laba-laba bening yang tak kasatmata. #halah

Well, diakhir ocehan saya ini, Supernova bukanlah buku yang bisa dinikmati oleh pecinta genre romance apalagi teenlit jangan berharap menemukan pangeran ganteng yang bertemu dengan Cinderella dan akhirnya menikah lalu hidup bahagia selamanya. Lupakan dengan cerita kacangan kayak gitu #eh... Yang kacangan itu lebih mirip naskah novel saya??? #ampuuunnn....

 Jika kalian mencari sesuatu yang berbeda, maka Supernova menjadi salah satu resensi buat kalian. (catatan : bacalah dengan sabar, jangan diPRkan beberapa hari apalagi berbulan-bulan. Jika masih belum mengerti maka baca ulang... hihihi :P #betapa karya yang tak biasa, kan?)
Selamat membaca!

Tunggu celoteh saya selanjutnya dalam SUPERNOVA Episode PETIR!              

Jumat, 24 Oktober 2014

Why Love is So Unfair?




Ketika aku mulai berjalan ‘tuk merengkuh satu hati
Ketika aku mulai merangkai cinta pertama
Engkau semakin jauh mneinggalkan asa

Kucoba lagi menganyam serpihan hati
Yang telah kau cabik dalam
Kucoba lagi merenda hari penuh mimpi
Yang tak kuharap pergi
Sekali lagi, engkau hancurkan semua tanpa ampun

Aku menapaki jejak langkahmu yang tertinggal
Namun sakit terasa menghujam
Hatiku tak sekuat jantungku
Saat kau lukai, seketika itu pula aku MATI!

My first love, why love is so unfair?
Kubentangkan sayap-sayap cinta yang membara
Kukecup cita dalam biasan bianglala
Kuterbang jauh menuju tempat tak berpenghuni
Kini kuterperangkap dan tak bisa kembali
Dalam cintamu akhirnya aku mati!

Pria seribu pesona
Pada siapa cintamu sebenarnya?
Aku terluka tapi tetap bahagia
Meski cinta is not fair!

Cianjur, 16 Oktober 2014

Rabu, 22 Oktober 2014

Sunrise in Your Eyes



“Jangan mengasihaniku!” seruku yang entah mengapa hari itu aku begitu sensitif.
Padahal, aku tahu tak ada sedikit pun niat Dirga menyakiti. Tubuhku terlalu lemah, meski Dirga memberi pundaknya untuk bersandar, namun aku takut akan terus bergantung padanya.
“Apakah kau berteman denganku karena kasihan?” tanya Dirga membalikkan semua pernyataanku. “Entah bagaimana cara meyakinkan kamu!? Bukan karena kasihan atau simpati, tapi ini tentang cinta... hanya hati yang bisa menjelaskan semua ketidak logisan ini. Jika menurutmu aku tak layak di sampingmu, maka aku akan pergi.” Jawab Dirga cukup menyesakkan dada.
“Apa karena aku tak bisa berjalan normal, lantas kamu tidak ingin berteman denganku?” tanyanya lagi sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya yang pertama.

Satu-satunya kekurangan dia adalah tak bisa berjalan dengan sempurna. Cuma tidak bisa berjalan normal, bukan karena ia tak memiliki hati. Hatinya luar biasa luas, ia tak pernah mau menyerah pada keadaan. Selalu tersenyum dalam menghadapi setiap ujian bahkan cemoohan.

Matahari Dirga, tak ada yang membuatku merasa seberuntung ini bisa mengenalnya. Tak mudah mengenal sosok luar biasa, motivator yang mampu menginspirasi banyak orang terutama penyandang cacat. Yang istimewa darinya, ia adalah motivator yang sama-sama memiliki kekurangan dengan mereka yang diberi motivasi. Sebelah kakinya diamputasi sejak usia 7 tahun karena kecelakaan. Apalagi yang membuatku tak bisa mengaguminya? Bukan karena dia yang nggak layak,  tapi karena aku.
Satu hal yang kutakutkan ‘aku takut jatuh cinta pada Matahari Dirga’.

***

Sunset yang indah,” gumam Dirga.

Sang surya kian tenggelam di balik bukit tempat kami biasa bertemu. Bukan terang, namun warna sendu dengan lembayung jingga, perlahan rembang petang mulai menepi. Aku masih termangu di sudut mimpi, tentang cerita Dirga dan warna yang bermain indah menghiasi cakrawala. Tak banyak kata terucap, airmata tak sanggup kubendung, terlalu cepat menggelinding lancar dari kedua bola mataku.
“Jangan menangis! Sunset itu bukan berarti sunset terakhir yang akan kita nikmati bersama,” ucap Dirga seraya menggenggam tanganku erat. Meski aku tahu ia tak bisa menjanjikan kapan bisa menikmati lagi kebersamaan ini.

Seperti halnya matahari tak lelah berbagi, tetap setia memberi sinar kehidupan, meski tak jarang orang berkeluh kesah karenanya, dikasih hujan salah, dikasih panas pun masih salah. Ya, begitulah manusia yang tak pernah puas akan satu kenikmatan. Coba bayangkan, bagaimana jadinya jika satu saja kenikmatan itu dicabut!?

Aku bahkan tak ingin membayangkannya saat ini karena aku cukup berkaca diri, satu kenikmatan yang dimiliki orang pada umumnya tidak aku miliki.
Dirga, matahari yang mengajariku bertahan meski gelap menggantikan. Aku tak pernah tahu terang itu seperti apa? Mau fajar atau senja bagiku sama saja.

“Aku ingin melihat cahaya matahari dari matamu, Dirga!” kurasakan hangatnya tautan jemari Dirga, tanpa perlu berucap aku yakin ia akan mampu menunjukkan dunia lewat matanya.
Besok... ah, terlalu lama, tak sabar menunggu matahari terbit....

***

Sabtu, 18 Oktober 2014

Cinta yang Terabaikan


Kemarin ...
Aku menunggumu di balik lentik jemari dedaunan menetes basah,
seraut wajah menengadah, membendung telaga yang hampir pecah.

Sekarang ...
Aku masih menunggumu hingga senandung langit terbias kabut gelap,
nyanyian semesta hilang-senyap, membawa angan kian melesap,
menjauh bersama logika yang lingkap.

Esok ...
Aku akan menunggumu meski empat musim lelah berganti,
tak peduli pada perih di hati,
lalau kusadari sekelilingku adalah sepi; hanya berteman mimpi

Dan seterusnya ...
Aku tetap menunggumu tanpa mengenal jemu,
lantas teringat kisah lalu, tentang rindu yang menggebu dikhianati cinta palsu,
sial! Tubuh dan hati telah membeku

ingatan yang datang terlambat
hidup ini memang keparat!

Cianjur, April 2016

*revisi :)



SOULMATE




“Ayo! siap untuk hari ini?” tanyanya padaku, dengan mantap aku siap menemani.
Ia menggamitku, sungguh nyaman bersamanya dan tak ada yang salah dengan hubungan kami.
                                                         
Kekurangan yang ada pada dirinya membuat ia terbatas dalam gerak. Indonesia? Perusahaan mana yang bisa menerima orang cacat? Jika mereka masih bisa berkoar tentang moral, pendidikan dan perekonomian maka berikan kesempatan bagi penyandang cacat mendapatkan pekerjaan yang layak.
Batas usia 25 tahun bagi yang normal saja nggak masuk akal! mereka masih produktif. Lalu, di mana mereka bisa mencari nafkah dengan cara halal tanpa mengharap belas kasih? Semua butuh modal, butuh keahlian. Nyatanya di negara ini orang lebih ahli berkomentar.
Ah, sudahlah... pagi itu, kami berdua berangkat untuk mengais rezeki, mencari sesuap nasi.

“Sayang anak... sayang anak! Ayo, Bu beli buat oleh-oleh anak di rumah,” ucapanya.
“Berapa, Mang?” tanya ibu muda sambil berjongkok memilih mainan anak.
“Cuma lima ribu aja, Bu.”
“ Jangan segitu, Mang! Dua ribu, ya!?” tawarnya.
“Yah, Bu modalnya saja nggak segitu,” jawabnya lagi.
“Ah, sudahlah nggak jadi!” ibu itu pergi. Ia mengusap dada. Rezeki akan datang tekadnya.

“Astagfirullah!” ia bergumam, matanya tertuju pemandangan di depan.
Satpol PP dan petugas keamanan melakukan razia pedagang kaki lima di emperan jalan. Aku ingin memapahnya, aku ingin membantunya berlari kencang, namun sulit baginya berjalan apalagi berlari.
“Ayo! Lari jangan menyerah!” teriakku lebih keras di telinganya.
Ia mempercepat langkah, namun terkantuk batu. “Arrgghh...,” aku meringis, ia pun mengaduh. Kami berdua jatuh. Seorang petugas menghampiri kami. Tak kuasa menolak tanpa daya upaya, kami digiring.

***

Setelah interogasi yang panjang, kulihat ia duduk termenung. Di tangannya menghitung receh hasil jerih payah hari ini. Bukan menghitung laba, tapi modal yang belum kembali. Peluh mengucur, aku tetap membisu. Ia diam dalam luka. Mengingat anak, istri dan si bungsu yang masih dalam kandungan.
“Huffthh...,” ia menghela napas berat.
“Bapak ngelamun, ya?” tanya Dian Ambarwati seperti yang tertera jelas di seragam bagian kanannya.
“Barang dagangan saya gimana ya, Bu? Hancur semua...,” ujarnya dengan nada sedih.
“Maaf ya Pak, padahal kalau Bapak tidak lari, tadi masih bisa meminta membereskan barang dagangannya. Razia ini memang untuk merapikan tatanan kota, makanya kami butuh dukungan dari semua pihak karena rencana Gubernur Bandung akan memberikan modal dan tempat bagi pedagang kaki lima. Tadi, Bapak sudah mengisi formulir, kan? Insya Allah semua yang sudah terdata akan segera mendapat bantuan dalam waktu satu minggu ini. Jadi, Bapak jangan putus asa!”
“Tapi sebelum seminggu saya dan keluarga makan apa, Bu?” tanyanya dengan kerut menggurat dahi.
Ia berpikir sejenak, “baiklah, Bapak bisa bersih-bersih di tempat ini, ya!? Nanti saya dan teman-teman akan membantu sebisa kami.”
“Alhamdulillah...,” kami berdua mengucap syukur.

Dua kakiku bersandar lelah, setia menemani langkahnya, tanpa mata, tanpa telinga, hati yang bungkam tak ada yang peduli. Semua berbeda dengannya memiliki segala yang tak aku punya, namun kami bisa seiring sejalan. Ia membutuhkan aku, dan hadirku takkan berarti tanpa orang seperti dia.
Sungguh aku iri, tapi ini takdir dan aku terima menjadi penopang hidupnya. Tidak sia-sia keberadaanku di sini, meski wujudku hanya tongkat penyangga tubuh.



***

Sabtu, 04 Oktober 2014

The Perfect Friends

 

“Tak sulit menemukan cinta, jika kamu memiliki sahabat
Yang sulit adalah mencari sahabat yang akan menuntunmu menemukan cinta...”

Gemuruh ombak memecah karang di pantai, kicauan burung tak menambah marak suasana hati yang kelam dan kedinginan. Tak lama terdengar suara telepon genggam berdering dari dalam sakuku. Ah, biarkan saja kunikmati kesendirian dan menjauh dari hiruk- pikuk tatanan management bernama efisiensi waktu. Aku jemu mendengar suara samar dan bisik-bisik lirih tentangku di setiap garis lempang hidupku.
“Apa yang kurang dari dia? Pintar, cakep, kaya dan sukses, tapi...”
“Tapi sayangnya, ia memilih hidup sendiri menikmati semua fasilitas dan kesuksesannya sendiri!”
“Apa ia tidak bosan dengan kehidupan yang seperti itu?”
“Menurutmu? Kebosanan itu akan terbayar saat kita bisa membeli segalanya dengan uang, termasuk kebahagiaan!”
“Terlalu nge-judge, kamu ngomong kayak gitu...”
“Ah, itu kan kenyataan.”

Dan celotehan banyak hal tentang kehidupanku. Tak ada yang tahu, mereka hanya menebak, tak mampu mendengar setiap lolongan hati yang kesepian dariku. Biarkan mereka berbicara, meracau sepuas yang mereka mau. Biarlah aku hanya menjadi potongan daging dalam bentuk yang berisi ruh. Ruh suci yang tak pernah tahu, kapan suara fals yang selama ini terdengar berubah menjadi alunan musik yang indah dan menyejukkan telingaku.

Kriiinnggg... Kriiinnnggg...
Hallo!”
“Kemana aja sih? Di telepon nggak diangkat, diBBM juga ceklis!” terdengar suara wanita setengah berteriak dari ujung gagang telepon rumahnya.
Sorry...
“Di mana sekarang?”
Apartement.
“Kalau gitu buka pintu! Aku udah di depan apartement!”
“Hmmm... ya udah.”
Klek... telepon ditutup. Ia beranjak dari sofanya menghampiri pintu.
“Riiooo...” senyum seorang wanita melebar sambil menyebut namanya. Tanpa dipersilakan dia nyelonong masuk seperti biasa. Seolah telah mengetahui setiap inci rumah ini dengan detail. Ia menuju dapur, dibukanya pintu kulkas, diambilnya sebotol air mineral dari dalam. Rio terduduk lagi di sofa tempat ia  berbaring tadi.
“Gila! di luar panas banget!” tapi gak ada respon apapun dari tuan rumah yang diajak bicara.
“Katanya kamu gak kerja dah dua hari ini ya? Kenapa? Sakit?” tanyanya bertubi-tubi.
“Malas.”
What? Seorang manager eksekutif bilang malas? Ini bukan kamu! Kamu pasti sakit!”

Alena adalah sahabatnya sejak kecil, mereka bertetangga hampir 15 tahun, saat gadis tomboy itu rebutan  layangan dengannya. Penampilannya masih juga tomboy sampai sekarang, enggak ada manis-manisnya. Alena gadis mandiri, ia bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah. Bukan perusahaan besar, tapi ia menikmati pekerjaannya ini. Setelah mengalami degradasi dalam hidupnya. Kuliah jurusan perbankan bahkan sudah bekerja di bank selama 5 tahun, tapi akhirnya bukan pekerjaan seperti itu yang ia harapkan. Pura-pura bersikap manis dan selalu murah senyum pada nasabah yang teriak-teriak di hadapannya. Berpenampilan feminin, dengan rok selutut, make up yang sering kali membuatnya gerah, ditambah lagi higheels yang membuatnya kesakitan dan harus diurut sebelum ia tidur. Dunia yang ini membuat dia merasa terkungkung, hingga akhirnya pilihan jatuh pada dunia impiannya untuk bebas berekspresi, tentang kehidupan dan kenyataan. Menuliskan semua buah pikiran dengan fakta yang akurat dan nara sumber yang dapat dipercaya. Seperti kepercayaannya pada Rio, sahabatnya.

“Ayo cerita! Kamu kenapa, ada masalah!?”
“Len, kamu pernah ngerasa jenuh gak dengan kehidupan yang cuma gini-gini aja?”
“Pernah, makanya kenapa sekarang aku banting setir dan memilih semua yang menjadi impian aku sejak kecil. Yang penting kan aku melakukan semua yang udah diperintahkan sama ortu. Kuliah jurusan perbankan, bekerja di bank. Dan sekarang saatnya aku meraih impian setelah menunaikan kewajibanku sebagai anak yang berbakti. Tapi, menjadi seorang eksekutif muda kan itu cita-cita kamu sejak kecil!? Kenapa sekarang mulai jenuh?”
“Iya itu dia, ternyata pencapaian hidup dan kebahagiaan itu gak bisa diukur dengan kesusesan aja. Dan aku masih merasa ada yang kurang dalam hidupku. Menurut kamu apa? Aku cakep, tajir, pintar, sukses apa yang kurang dalam hidup aku, Len?”
Alena mencibir tingkat kepercayaan diri sahabatnya yang satu ini, tapi demi dewa apapun ia membenci kebenarannya. Begitu sempurnakah sahabatnya, hingga tak ada satupun yang bisa melucuti kepercayaan dirinya? Dan taddaaa... Alena tersenyum, seperti mendapat jawaban dari pertanyaannya.
“Cinta... satu-satunya masalah dalam hidup kamu. Kamu gak punya cinta!” Alena tersenyum puas penuh kemenangan.
“Aku!? kamu, aku.. kita berdua memiliki masalah yang sama, kita kekurangan cinta, Len!” Rio membalas dengan senyum liciknya.
“Akhh.. sial!” umpat Alena

***

Setelah pembicaraan beberapa hari yang lalu, seolah Rio mendapatkan PR terbesar dalam hidupnya. Kesuksesan ini untuk apa? Untuk siapa? Benar, hidup tak sempurna tanpa cinta. Tuuuutt... tuuutt..
“Apa Rio?” jawab Alena dari seberang sana.
“Sibuk nggak? Kita makan siang yuk!”
“Oke! Setengah jam lagi di cafe biasa, ya!”
Tuuutt.. terdengar sambungan telepon diputus, padahal Rio masih ingin bicara dengannya.

***

“Kenapa mengajakku makan siang seperti ini? Kehabisan akal untuk menghindari rapat penting?”
“Tidak! Aku memang lagi free.
“Atau kamu merasa bosan dengan gosip karyawanmu yang bilang bahwa kamu homo? Dan mencoba menunjukkan pada mereka, kalau kamu bisa jalan, dan makan sama wanita?”
“Hmmm... dasar jurnalis!! Tapi, entah kenapa setelah pembahasan hari itu aku jadi banyak bertanya...”
“Tentang?”
“Lima belas tahun bukan waktu yang singkat, aku pernah jatuh, bangkit, diam dan berlari. Kamu melihat semua proses itu. Kenapa cuma kamu wanita yang ada selama itu denganku?”
“Isshh... menyebalkan! Kamu pikir aku mau menghabiskan semua waktuku dengan kamu!”
“Jawab saja, kenapa kamu yang hadir dalam hidup aku?”
“Hmmm... mungkin karena kita berjodoh.”
“Lalu mengapa kamu peduli padaku?”
“Karena kita sahabat!”
Rio tertawa, entah hal lucu apa yang membuatnya tertawa. Dan itu membuat Alena kesal seolah Rio menertawakannya. Akhirnya Alena membuka mulut.
“Kenapa kamu menanyakan semua itu?”
“Karena aku peduli padamu!”  
“Ah, jangan nyontek deh! Lagipula sejak kapan kamu peduli padaku?”
“Sejak kamu peduli padaku.”
“Kenapa peduli?”
“Karena kita sahabat.”
“Kenapa kita harus bersahabat, sih?” gumam Alena.
“Mungkin karena kita berjodoh.”
Lagi-lagi Alena dibuat kesal olehnya, entah apa maksud pembicaraannya waktu itu. Dan Alena lagi tidak minat bermain-main dengannya. Setelah acara makan siang yang menyebalkan bagi Alena, dan tentu saja menarik bagi Rio. Karena seharian ini dia bisa menjaili sahabatnya yang dari dulu selalu menjailinya, rasanya senang melakukan keisengan itu.
“Ok! Makasih untuk makan siangnya, aku masih harus cari berita. Dah!”
“Alena tunggu!” Alena berbalik
“Kamu mau kan jadi sahabat aku selamanya?”
Alena tersenyum mengangguk, ia menjinjing tasnya.
“Sampai tak ada dinding yang memisahkan kita?”
Alena tertegun, mencoba meyakini pendengarannya. Ada apa dengan Rio? Dan apa maksud dari perkataannya barusan?

***

Tak ada yang tahu hubungan apa yang terjalin di antara mereka, bahkan kedua insan ini. Mereka hanya menjalani kehidupan, dan jika saja di saat bersamaan mereka merasakan getaran, terdengar debaran, atau gemerisik suara hati yang tak terungkap dalam kata tapi tersirat dalam mata. Mereka hanya menikmatinya tanpa perlu menajamkan telinga untuk mendengar detakan jantung mereka. Yang mereka tahu, diam-diam mereka jatuh cinta. Tak ada yang salah jika dalam persahabatan tumbuh rasa cinta, kan? Dan tak ada yang tahu sejak kapan mereka jatuh cinta.

***