Jumat, 26 September 2014

Semangkuk Es Krim (part2)





“Mulai dari titik ini aku menyukaimu, maka aku berharap bisa berhenti di titik ini agar rasaku tak berubah padamu.”




Bodoh!!! Saat aku menyatakan hal itu padamu artinya adalah aku rela mati untukmu detik ini juga. Tapi apalah arti kata itu, karena Rania enggak pernah memahami perasaanku.
“Juno, mama tadi ketemu sama Tante Sari lho!” tiba-tiba Mama menyela saat acara makan malam.
“Tante Sari mana, Ma?” tanyaku sedikit mengerutkan kening untuk mengingat seseorang yang rasanya belum aku kenal.
“Itu lho, mamanya Fara yang satu fakultas juga sama Rania, Fara pernah cerita soal Rania, masa kamu enggak kenal Fara, sih?” tanya Mama dengan nada kecewa.
“Ah, Ma, kan banyak kali yang namanya Fara di dunia ini. Lagian aku ke kampus untuk belajar bukan cari cewek,” terangku sambil memasukan satu sendok penuh makanan ke mulutku.
“Fara itu anaknya baik lho, dia juga cantik, rajin, ramah, cewek mana lagi yang bisa jadi istri yang sempurna buatmu.” Ah, Mama lagi-lagi  ia berbicara tentang pernikahan, jika Tiara memang mau menikah aku takkan menentangnya, dia perempuan wajar saja kalau dia menikah terlebih dahulu.  Mama mencoba menggambarkan sosok Fara yang kelihatannya menjadi istimewa baginya akhir-akhir ini. Padahal tentu saja aku mengenal Fara, secara dia termasuk cewek populer di kampus, banyak juga anak-anak cowok yang kelepek-kelepek melihatnya. Sejujurnya sebagai pria normal, secara fisik aku memang suka dengan bodinya yang tinggi semampai, kulit putih, matanya yang bulat indah itu membuat semua mata terjerat dalam tatapannya.

Teringat beberapa bulan lalu, saat Fara mendekati mejaku di kantin.
“Juno, ya?” tanyanya tiba-tiba.
“Iya,” jawabku masih dengan memasang tampang heran, seorang Fara yang menjadi bahan rebutan di kampus malah mendekatiku.
“Kamu temannya Rania, ya?” tanyanya lagi.
“Iya,” lagi-lagi aku hanya bisa menjawab singkat.
“Aku Fara, temannya kebetulan kita satu kelas,” ia masih mencoba menjawab seramah mungkin.
“Terus...?” tanyaku dengan nada datar.
“Ehhmmm... Mama aku sering cerita tentang kamu, katanya Mama kamu temenan sama Mama aku lo!” ceritanya lagi, dan sumpah banget aku nggak peduli sebenarnya tentang emak-emak yang suka banget bergosip itu.
“Kamu sama Rania punya hubungan, ya?” tanyanya lagi membuatku tiba-tiba mengalihkan perhatian padanya. Aku rada heran juga sejak kapan dia mulai kepo sama hubungan orang lain. Bukannya selama ini lebih banyak orang yang kepo-in dia.
Aku hanya tersenyum, tak ingin terlalu mengumbar sebenarnya ada hubungan apa antara aku dan Rania. Biarkan semua mengalir apa adanya.
Rania sahabatku sampai kini dan entah sampai kapan status itu akan berubah, anak manja itu selalu membuat mati kutu dan tak pernah bisa menjadikan aku sosok pria sejati di hadapannya. Dia sungguh keras kepala, dia tak kan bisa jujur dengan perasaannya semudah itu, begitupun aku. Tapi, apakah dia tidak bisa melihat gelagatku selama ini?

Aku ingat satu tahun lalu, satu tahun yang merupakan awal perubahan hidupku. Saat itu tiba-tiba ia berteriak padaku, “pokoknya aku mau es krim!!”
Dengan perasaan bersalah aku sungguh menyesal telah datang ke tempat itu dengan tangan kosong, aku lupa dengan permintaannya untuk membawakan semangkuk es krim hari itu. Sebenarnya aku enggak begitu suka es krim, tapi aku berusaha menyukai es krim karena aku menyukai Rania. Saat itu aku hanya bisa minta maaf, entahlah kaum wanita begitu rumit. Jika aku datang terlambat pasti ia ngomel-ngomel, kali ini aku berlari tak karuan agar bisa datang tepat waktu sesuai keinginannya. Tapi bodohnya, aku lupa dengan pesanan es krimnya.
“Kamu memang salah!” dia berteriak lagi padaku, saat aku mencoba menjelaskan dan mencari alibi saat itu. Dan kami lebih sering beradu argument setiap kali bertemu.

***

Mama terus membujukku sampai sebulan lalu aku putuskan mengikuti kemauan Mama. Setelah aku mengalami putus asa, dan rasa kepercayaan diriku berkurang, sudah saatnya aku menjadi anak yang berbakti untuk Mama. Entah ini sebagai tanda bakti atau ini hanya alasan atas ketidak mampuanku sebagai pria untuk menyatakan cintanya pada wanita yang aku cintai. Tapi tunggu, aku pernah berusaha melakukannya, saat itu setelah pulang kuliah aku mengajak Rania bertemu di taman. Dia begitu bersikeras untuk berbicara di telepon saja, tapi untuk hal ini aku akan lebih keras kepala darinya. Aku melajukan motorku menuju taman dengan semangkuk es krim vanilla kesukaannya, tiba-tiba tengah jalan aku melihat anak kecil menyeberang jalan sendirian, dan Braaakkkk!!! Tanpa terkendali motorku menabraknya tepat di waktu yang tak seharusnya terjadi.
Aku berlari menghampiri anak kecil ini yang mulai dikerumuni orang-orang. Banyak wajah-wajah dengan ekspresi kasihan dan getir menatap anak tanpa nama, bahkan mungkin tanpa keluarga. Akhirnya dengan mengedepankan rasa kemanusiaanku dan tentu saja rasa bersalahku, akhirnya aku membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Beruntungnya ternyata anak itu baik-baik saja, tak terbayang jika hal buruk terjadi padanya. Iya, karena kejadian itu, akhirnya aku kehilangan moment yang mungkin takkan pernah kudapatkan lagi, mengingat Rania bukan tipe gadis yang bisa dengan mudah mentolelir sebuah keterlambatan.
Dengan sisa waktu yang tersisa aku segera berlari ke taman, dengan semangkuk es krim yang mulai mencair. Aku berlari tak karuan menuju taman, dengan napas terengah-engah akhirnya aku menemui dia.

“Maaf, aku terlambat!” masih dengan mengatur napasku yang masih terbatuk-batuk. “Ini untukmu!” tapi Rania seperti dugaanku, dia marah. Aku berusaha menjelaskan, tapi sepertinya ia nggak peduli. Aku benar-benar berusaha saat itu, hingga akhirnya ia menepis tanganku, dan satu mangkuk es krim yang kubawa tumplak di atas tanah.

Perasaanku hancur saat itu, andai dia tahu apa yang ingin aku katakan dengan es krim itu, andai dia bisa mengerti keadaanku mungkin aku pun takkan seegois itu  meninggalkannya di sana seolah-olah aku tidak peduli padahal kenyataannya aku sangat peduli. Aku berlari menuju parkiran dan mendapatkan motorku di sana, masih kudengar suaranya memanggil, tapi emosi telah menguasai egoku. Aku pun pergi meninggalkannya. Semangkuk es krim diwaktu yang salah!
Setelah kejadian siang itu, semalaman dia menelepon, tapi aku tak mengindahkannya, sms darinya masih kuabaikan. Aku tertidur, mataku terpejam, tapi pikiran dan hatiku masih terus menerawang tentang  yang terjadi hari ini. Keesokan harinya ia menghampiriku, dasar gadis bodoh bahkan dia enggak minta maaf atas kejadian kemarin. Malah dia menanyakan cincin, dan aku kehilangan mood untuk membahasnya.

“Aku mau menikah” akhirnya kata-kata itu terlontar dari mulutku juga. Dia sempat terdiam, lalu bertanya aku akan menikah dengan siapa? Tentu saja aku telah berteriak ribuan kali kalau aku ingin menikah denganmu Rania. Tapi, kamu terlalu jauh untuk kurengkuh, hingga akhirnya aku harus tahu diri untuk tak berani mengharapkanmu lagi. Oke! Untuk hal ini aku memang seorang pecundang.

***

“Juno!!! Ayo dong besok hari pernikahanmu kok malah malas-malasan gitu?” gerutu Mama saat melihatku masih berbalut selimut pagi ini.
“Teruuss?? Aku harus jungkir balik dari menara Eifell gitu?” tanyaku dengan nada datar, tanpa sadar yang aku ajak bicara adalah ibuku.
“Serius Juno!!!” Mama tampak sewot menatapku.
Akhirnya aku terbangun dan kulihat langit hari ini mulai gelap, tak berapa lama hujan pun turun. Saat hujan, aku selalu ingat Rania, gadis bodoh itu entah sedang apa sekarang. Karena biasanya dia akan terpaku di bawah hujan tanpa peduli badan telah basah kuyup. Ah, rasanya tugas hidupku di dunia ini masih belum selesai sebelum kuungkapkan perasaanku padanya.
Kuputar sebuah playlist dari Hp ku.

Coz I was born to tell you I love you...
And I am torn to do what I have to..
To make you mine stay with me tonight..

Spontan aku  beranjak dari tempat tidurku, aku hanya mencuci muka, kuambil jaket yang menggantung di pintu. Dan aku masih dengan tidak karuan berlari menuju taman. Hari ini hujan akan lebat dan entah darimana aku yakin pasti hari ini ia ada di taman itu.
“Rania” lirihku, dia masih berdiri mematung di sana, dengan basah kuyup. Aku menghampirinya. Kulingkarkan tanganku dari belakang seperti biasa yang aku lakukan. Rania, dia selalu pintar menangis di bawah derasnya hujan. Siapapun tak kan melihatnya sedang menangis. Tapi tidak kali ini, ia menangis tersedu-sedu. Aku hanya membiarkannya beberapa saat dalam dekapanku. Ingin rasanya seperti ini saja, biarkan waktu berhenti saat ini juga Tuhan.
“Rania, I love you,” ucapku dengan yakin, tak peduli apapun jawabannya, tugasku dilahirkan ke dunia ini adalah untuk mengatakan bahwa aku mencintainya.

Tatapannya dalam, tak banyak kata yang ia ucapkan dengan mata yang sembab ia hanya mengangguk. Dan aku tahu seharusnya kukatakan itu dari dulu. Rania menyodorkan cincin yang pernah aku berikan dulu, aku meraihnya dan memasangkannya di jari manisnya.
Would you marry me? Please...”
“Yes, I do....” jawabnya lirih.











***

#lagu Secondhand Serenade_ Your Call

Tidak ada komentar: