Jumat, 26 September 2014

Semangkuk Es Krim






Gemericik suara air hujan yang terjatuh dari dahan pohon tempat berteduh menemani sepi. Setetes air terjatuh dari dahan tepat di pelipisku. Aku masih menggenggam semangkuk es krim dari tadi siang yang sudah hampir meleleh.
“Sungguh aku benci es krim!!!” teriakku di tengah kegaduhan suara guntur. Sembari menyuapkan satu sekop es krim ke mulut. Iya, es krim di bawah rinai hujan.

Teringat satu tahun lalu saat aku berteriak penuh emosi padanya.
“Pokoknya aku mau es krim!!” teriakku pada Juno yang akhirnya membuat hari itu menjadi hari terburuk yang kuingat. Ia menatap dengan perasaan bersalah karena hanya bisa datang dengan tangan kosong. Sementara ia mengembuskan napasnya,  meminta pengertian dari sorot matanya. Tapi, aku enggan menatap mata sayu itu, aku tak ingin luluh melihatnya. Ia memegang pundakku, lalu berkata.
“Maaf, aku tak sempat mampir ke toko,” ucapnya masih dengan nada menyesal, kutepiskan tangannya dan nggak mau mendengar alasan klisenya.
“Bisakah tidak marah-marah padaku? Aku bingung dengan kaum wanita yang membuat kaum kami selalu salah dimata kalian.”
“Kamu memang salah!” seruku lebih sewot.
“Jika aku datang terlambat kamu pasti marah, sekarang aku datang tepat waktu pun kamu masih marah, aku sudah minta maaf, lalu apa yang harus aku lakukan?” tanyanya sedikit membuatku tergelitik benarkah wanita serumit ini bagi pria?
“Pokoknya mending kamu datang terlambat, tapi membawa es krim dari pada tidak membawa apapun!” seruku lagi. Wanita memang selalu seperti itu, bagaimana caranya mencari perhatian dari seseorang yang disayangi. Sayang? Benarkah aku menyayanginya? Entahlah rasanya aku membutuhkan banyak alasan untuk mengartikan apa yang aku rasakan saat itu.

“Padahal cinta tak butuh alasan sayang,” bisik Juno lirih di telingaku suatu saat.
“Mulai dari titik ini aku menyukaimu, maka aku berharap bisa berhenti di titik ini saat aku menyukaimu agar rasaku tak berubah padamu.” Juno melanjutkan lagi perkataannya, aku terdiam menatap wajah sendunya.
“Kamu menyukaiku, kan?” tanyanya.
“Jangan berharap!” seruku tak ingin salah mengartikan candaannya.
“Jika cinta katakan saja,” ujarnya lagi.
Aku terdiam, jantungku terasa berdetak lebih cepat, ada apa dengannya, kenapa dia bertingkah seperti itu. Ingin berteriak dan memuku-mukul bahunya yang cukup kekar. Tak lama terdengar gelak tawanya. Aku membenci kelakuannya saat itu.
“Kena kau!!!” ucapnya masih dengan menahan tawanya, membuatku speechless dengan kelakuannya.

***

“Kamu suka Juno?” tanya Fara tiba-tiba, ia adalah teman kuliahku kebetulan kami satu fakultas, sebenarnya tidak begitu dekat hanya kenal saja.
“Ya enggaklah Juno itu cuma sahabatku” terangku dengan senyum pasti.
“Cuma sahabat?” tanyanya lagi seolah-olah ia tidak percaya dengan apa yang kukatakan.
“Iya, kenapa? Lu suka sama Juno?” tanyaku tiba-tiba entah bagaimana pertanyaan itu yang melintas dibenakku. Fara tersenyum malu, wajahnya merona tanpa harus ia jawab aku pun telah mengetahui jawabannya. Fara gadis yang cantik, banyak cowok yang sebenarnya suka sama dia. Tapi, kenapa justru ia malah menyukai Juno? Aku terdiam, mungkin karena Juno anak yang  luar biasa menarik dan juga supel. Banyak cewek dan cowok yang menyukainya, termasuk aku, benarkah aku menyukainya?

Di bawah hujan ini aku bisa mengingat semua kenangan dengannya, saat itu selepas pulang kuliah Juno berjanji akan menemuiku di taman. Katanya ada hal yang ingin ia bicarakan. Aku memaksanya untuk mengatakan hal yang ingin ia katakan di telepon saja. Tapi Juno bersikeras untuk bertemu denganku langsung. Telah lama aku menunggunya di taman itu, lebih dari jam yang kita sepakati bersama. 15 menit bukan waktu yang mudah ditolelir, dan aku pasti akan mengutuk dia habis-habisan setelah kami bertemu.
“Maaf, aku terlambat!” aku tak menoleh padanya sedikit pun, aku masih memainkan layar Hp ku.
“Ini untukmu!” ia menyodorkan satu mangkuk es krim Vanila kesukaanku, di atasnya taburan cochochips yang menggugah selera, saat itu terik matahari begitu membakar kulit. Dadaku berdebar melihat semangkuk es krim itu, tapi demi menjaga gengsi yang sedang marah, aku bahkan tak menghiraukannya.
“Ayolah jangan marah ini untukmu,” ulangnya sekali lagi. Tapi, entah bagaimana tiba-tiba refleks saja tanganku menepis mangkuk es krim itu hingga tumpah ke tanah. Juno menatap lama es krim yang terjatuh, aku sungguh menyesal telah melakukan itu. Mata Juno begitu sendu, terlihat kekecewaan yang jelas disorot matanya. Sebelum aku sempat meminta maaf, Juno telah meninggalkanku, aku berlari mengejarnya. Tapi, dengan mengendarai motornya, dia telah cepat menghilang di tikungan jalan itu.
“Juno!!!”  aku berteriak.
Aku kembali ke tempat semula, semangkuk es krim telah mencair. Tak seharusnya aku lakukan itu padanya, ia telah merasakan kecewa yang begitu dalam. Aku mengangkat mangkuk es krim lalu kumasukan ke dalam kantong plastik agar tak menyisakan sampah di taman ini.  Tapi tunggu dulu, ini apa? Aku menemukan sesuatu yang berkilau di atasnya.
“Cincin?” aku memastikan dugaanku seolah tak percaya dengan penglihatanku. Cincin yang berhiaskan batu permata, untuk apa dia memberikan cincin ini? Apakah memang ini cincin darinya atau hanya suatu kebetulan saja.

***

“Juno,cincin itu darimu bukan?” tanyaku keesokan harinya setelah seharian ia me-reject semua panggilanku, dan enggak membalas smsku.
“Bukan!” jawabnya asal.
“Ayolah Juno jangan kayak anak kecil, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Tapi, aku menemukan ini diatasnya. Benar dari kamu, kan?” Aku masih terus nyerocos tanpa memperhatikan ekspresi wajahnya secara detail. Aku hanya penasaran dengan semua yang ia berikan.
“Aku mau menikah...,” tiba-tiba Juno bergumam, tapi begitu jelas ditelingaku yang jaraknya tak begitu jauh denganku.
“Menikah?” tanyaku, ia begitu serius kali ini bukan seperti Juno yang aku kenal.
“Iya,” ia jawab singkat.
“Terus...?” aku mengharapkan dia menjelaskan semuanya secara detail.
“Mama berharap aku segera berumah tangga, karena Tiara telah dilamar oleh pacarnya,” terang Juno. Ah, Tiara rasanya anak itu baru kemarin merengek-rengek minta dibeliin boneka ternyata sekarang sudah mau menikah.
“Sebenarnya yang mau nikah itu, lu atau Tiara sih Jun?” tanyaku tak habis pikir dengan tujuan pembicaraan ini.
“Karena Tiara mau nikah, Mama berharap Tiara tak melangkahiku. Makanya aku akan segera menikah.” Dadaku berdebar keras, secepat ini dia akan menikah.
“Dengan siapa?” tanyaku to the point tak ingin mencoba menebak-nebak hal yang belum pasti.
“Itu dia masalahnya dengan siapa aku akan menikah?”
“Hahaha...” aku tertawa terbahak-bahak diikuti olehnya yang juga tertawa lebar. Padahal dalam hati aku berteriak.“Aku saja! Aku mau menikah denganmu Juno!” tapi tentu saja aku takkan sebodoh itu menjatuhkan harga diriku sendiri.
“Kamu mau?” tanyanya setelah tawa kami reda. Aku terkesiap sekali lagi.
“Maksudnya, mau?” tanyaku tak bisa mengartikan pertanyaannya yang gak pernah tuntas dalam satu kalimat.
“Menikah denganku?” akhirnya ahh.. serasa dibawa terbang melayang.
Lalu teringat kembali kejadian beberapa bulan lalu, ia pernah menggodaku dan untuk kali ini aku tak kan terjebak begitu saja dalam permainannya.
No way! Lu harus cuci otak lu dulu sebelum mengatakan itu padaku!” aku berteriak ditelinganya.
“Haha, tentu saja aku harus mengistall otak jika ada sedikit aja dalam otakku pikiran seperti itu denganmu!”
Ah, Juno pandai sekali dia menyakiti hatiku. Dan ia tak pernah mengakui cincin itu darinya. Kami akhiri pembicaraan kali itu dengan tawa, iya tawa kami berdua yang cukup getir dalam hati.

***

“Apa kamu tidak pernah menyukaiku?” tanya Juno disuatu senja.
Nup!” jawabku
“Baiklah gadis manja, aku berharap akan ada pria yang tahan dengan kelakuan busukmu!” jawabnya sambil melingkarkan tangannya ke bahuku. Aku ingin seperti ini selamanya, dalam kehangatan dada Juno.
“Dan jangan menyesal jika suatu hari nanti aku tak berada lagi disisimu,” terangnya lagi.
“Kenapa?” tanyaku masih bersandar di dadanya yang cukup bidang.
“Karena aku akan segera menikah dengan Fara.”
Tiba-tiba warna senja memudar kini yang bersisa hanya gelap, butiran air jatuh dari atas langit, aku tak rasakan apapun, aku tak mendengar apapun, jantungku tak berpacu sedikit pun, termangu aku dalam basah.
“Ngapain lu bengong sendiri? Enggak kerasa ya badan basah kuyup?” teriak Juno sambil berlari ke arahku yang masih berdiri mematung di bawah pohon ini. Entah itu kabar baik atau kabar buruk bagiku tak ada artinya. Juno mendekapku dalam basah kami berdiri berdua mematung di bawah hujan.
“Maaf,” ucapnya di telingaku, entah maaf untuk apa yang pasti saat itu aku menangis terguguk dan ia takkan pernah tahu itu.

***

Dan kini, di bawah rinai hujan yang sama aku sendiri dengan semangkuk es krim. Jika saja saat itu aku tak egois,  jika saja saat itu aku tak menumpahkannya, mungkin hari ini aku yang akan bersanding di pelaminan itu dengannya. Karena aku masih yakin cincin itu pemberian darinya. Tapi, kini tak ada artinya karena besok adalah hari pernikahannya dengan Fara. Dan aku di sini masih dengan semangkuk es krim yang kubenci.

***

Tidak ada komentar: